tirto.id - Tingkat kebebasan pers di Indonesia dinilai sudah membaik sepanjang tahun 2016 dengan Nilai Indeks Kemerdekaan Pers sebesar 68,95 dibanding tahun sebelumnya hanya 63,44. Menurut anggota Dewan Pers Ratna Komala, kemerdekaan pers Indonesia dapat dikatakan “mendekati bebas," tetapi dalam praktiknya jurnalisme anarkis masih marak.
“Namun kebebasan pers ini masih menyisakan kekhawatiran maraknya praktik bisnis media yang tidak profesional dan penyalahgunaan profesi wartawan atau bisa disebut jurnalisme anarkis,” kata Ratna, melalui rilis yang diterima Tirto, Jumat (19/1/2018).
Ratna menjelaskan kemerdekaan pers Indonesia pada tahun 2016 sebetulnya mengalami defisit dalam hal kebebasan-untuk (freedom for). Hal ini terindikasi dari beberapa masalah, misalnya masih terjadinya intimidasi oleh aparat atas jurnalis yang sedang menjalankan tugas meliput berita, praktik konglomerasi media yang cenderung dimanfaatkan untuk kepentingan pemilik modal.
“Indikasi lainnya terkait ketergantungan media yang berlebihan pada anggaran belanja media pemerintah daerah, serta sikap toleran atas praktik amplop bagi wartawan,” tambahnya.
Selain itu, praktik jurnalisme anarkis tercermin dari masih tetap maraknya pengaduan masyarakat atas produk pemberitaan yang dihasilkan pers nasional, baik yang berplatform cetak, elektronik, maupun digital.
Selama 2017, Dewan Pers menyelesaikan pengaduan melalui mediasi dan ajudikasi yang dituangkan dalam 51 Risalah Penyelesaian Pengaduan ke Dewan Pers (Risalah). Risalah itu menyangkut 23 media cetak, 2 media elektronik dan 26 media online (siber).
Pada kurun waktu yang sama, Dewan Pers mengeluarkan Pernyataan Pernilaian dan Rekomendasi (PPR) terhadap 41 media dengan rincian 16 media cetak dan 25 media siber.
Pelanggaran umum, seperti tercermin dalam Risalah, dapat dirinci bahwa sebanyak 39 media melanggar Pasal 1 KEJ dan 43 media melanggar Pasal 3 KEJ, sisanya melanggar Pasal 11 media melanggar Pasal 2 KEJ. “Pelanggaran terhadap Pasal 1 dan Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik merupakan gambaran dari wartawan yang tidak pernah mendapat pelatihan,” jelas Ratna.
Selain itu, ada media-media yang terindikasi melanggar asas praduga tak bersalah (Pasal 5) dan tanpa mengumumkan pertanggungjawaban medianya (Pasal 12) UU No 40/1999 tentang Pers.
Dalam PPR tersebut, Dewan Pers juga menunjuk beberapa media terindikasi melanggar Undang-Undang Pers Pasal 3 (11 media), Pasal 2 (media), Pasal 6 (11 media) dan Pasal 12 (2 media).
Sepanjang 2017, Dewan Pers juga telah mencatat 950 perusahaan pers terverifikasi administrasi. Sedangkan yang telah lolos verifikasi administrasi dan faktual berjumlah 171 perusahaan pers, terdiri dari media cetak sebanyak 101, media televisi 22, media radio 8, dan media online 40.
Dari sisi perkembangan uji kompetensi wartawan, terjadi peningkatan yang cukup signifikan sepanjang tahun 2017. Hingga saat ini, Dewan Pers telah mengeluarkan 11.811 nomor ID sertifikat kompetensi wartawan dan selama tahun 2017 Dewan Pers telah memberikan pengesahan 2.551 Sertifikat Kompetensi Wartawan.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri