tirto.id - Pernah merasa deg-degan saat bertemu polisi padahal tidak melakukan pelanggaran apa pun? Mungkin selintas terpikir, “kenapa sih Satpol PP galak banget?” Atau, heran terhadap fenomena bangga berfoto bareng pria berseragam?
Apa keistimewaan di balik seragam mereka yang lazim terbuat dari poliester, panas, dan terlihat tidak nyaman dipakai tersebut?
Stereotip yang berkembang tentang petugas berseragam adalah mereka punya kekuasaan sekaligus citra negatif. Misalnya polisi. Mereka bertugas untuk mengayomi masyarakat, tapi anekdot yang berkembang justru sebaliknya, apalagi jika sudah urusan dengan tilang atau bikin pelaporan. Sampai-sampai ada candaan, “lebih gugup ketemu polisi di belokan jalan ketimbang gebetan.” Soal laporan, banyak orang yang mengeluhkan ribetnya birokrasi, uang jalan, atau kasus yang harus dibikin viral lebih dulu baru mendapat prioritas penanganan.
Demikian pula citra Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP): kasar, arogan, tidak berperikemanusiaan. Tak perlu jauh-jauh mengambil contoh kasus, belakangan saja aksi Satpol PP Pontianak dikritik karena mematahkan ukulele hasil sitaan.
Meski citra para aparat itu negatif, dalam balutan seragam, mereka tetap punya otoritas dan kekuatan yang dilegalkan negara. Jadi, sebagai masyarakat biasa, kita seolah tersihir takluk dan bahkan ada yang memandang tinggi derajat orang-orang berseragam ini.
Kekuatan dahsyat seragam yang memengaruhi psikologis pernah juga membikin Leonard Bickman, seorang peneliti asal Amerika, penasaran. Bickman kemudian menguji asumsi-asumsi soal kepatuhan dan rasa hormat kepada petugas berseragam yang berkembang di masyarakat.
“Secara psikologis, seragam memang memengaruhi persepsi orang. Masyarakat memandang ‘orang berseragam’ sangat berbeda,” tulis Bickman dalam laporan ilmiah “The Social Power of a Uniform” yang dimuat Journal of Applied Social Psychology(1974).
Bickman membuat tiga permodelan busana untuk diamati: busana kasual sebagai representasi warga sipil, busana yang biasa dipakai pekerja seperti tukang susu, dan baju seragam abu-abu seperti polisi. Ketiga model lalu diminta memberi perintah kepada sampel acak untuk memungut kertas, berderma kepada orang tak dikenal, dan menjauh dari halte.
Hasilnya, orang-orang yang jadisampel lebih patuh pada perintah dari model yang berseragam mirip polisi ketimbang warga sipil atau tukang susu. Studi tersebut menguatkan asumsi bahwa pakaian memiliki dampak kuat pada persepsi orang.
Walaupun petuah bijak meminta kita tidak menilai sesuatu hanya dari tampilan luarnya, tapi penampilan memang selalu memunculkan kesan pertama—bukan kepribadian. Jadi, busana bisa jadi gerbang untuk mencari latar belakang dan identitas seseorang.
Busana bisa menjadi petunjuk kuat untuk mengidentifikasi jenis kelamin, status, keanggotaan kelompok, legitimasi, otoritas, dan pekerjaan seseorang. Dalam stereotipnya, seragam aparat memunculkan kesan-kesan tentang status, otoritas, ketegasan, dan motivasi.
Orang berseragam dinilai sebagai representasi kekuasaan negara untuk menangkap, menggunakan kekuatan, hingga membangun ketertiban dengan menekan individualitas.Jadi, wajar saja jika Anda gugup meski cuma bertemu patung polisi di perempatan.
Warna Seragam yang Membosankan
Bila seragam aparat punya semacam kekuatan psikologis, pengejawantahannya tak luput dari filosofi warna. Di belahan bumi mana pun, warna seragam aparat hampir selalu terlihat membosankan. Ia didominasi warna-warna gelap: kalau tidak coklat, hitam, biru, hijau, ya, abu-abu.
Salah satu alasan sederhana yang biasa diajukan adalah warna-warna gelap terkait dengan teknik bersembunyi atau mengelabui musuh, terutama di malam hari. Penggunaan warna terang dinilai bakalterlalu menarik perhatian. Namun, lebih dari itu, pilihan warna tertentu juga bisa memengaruhi pikiran bawah sadar seseorang dalam memandang suatu objek.
Hampir di semua kebudayaan, warna terang konsisten menggambarkan kebaikan dan kelemahan. Sementara itu, warna gelap kerap dijadikan simbol kekuatan atau bahkankejahatan. Begitu pula warna-warna dasar yang diaplikasikan pada seragam aparat yang merepresentasikan beragam emosi. Seturut peneliti dari University of Perugia Jodi L. Standford, warna seragam aparat identik dengan representasi emosi marah, dingin, bosan, kelelahan, iri, dan bangga.
“Hubungan antara warna dan emosi didasarkan pada pengalaman pribadi (sampel) sebagai faktor tunggal,” tulis Sandford dalam artikelnya yang terbit di Journal of the International Colour Association (2014, PDF).
Studi psikologi lain mengasosiasikan warna dengan suasana hati tertentu. Misalnya, merah dikaitkan dengan antusiasme dan rangsangan sehingga sering menjadi warna lampu darurat atau penanda lalu lintas. Biru muda menimbulkan perasaan aman dan nyaman, sementara hitam lagi-lagi memunculkan kesan berkuasa dan kuat.
Studi bertajuk “The Effects of Color on the Moods of College Students” (2014) menguraikan suasana hati dapat ditangkap dari warna. Sampel penelitian ini adalah para mahasiswa di suatu kampus tertentu. Mereka diberikan set pertanyaan tertentu tentang persepsinya terhadap warna-warna latar dari suatu gedung atau ruang tertentu yang telah dikunjungi.
“Warna yang banyak mendapat persepsi negatif adalah coklat (26 persen), oranye (21 persen), dan abu-abu (13 persen). Sementara itu, tanggapan positif didapat warna biru muda (28 persen), hijau (19 persen), dan kuning (17 persen),” demikian ringkasan kesimpulan studi tersebut.
Pada berbagai tes, warna yang lebih terang dianggap lebih menyenangkan dan kurang dominan. Di sisi lain, warna gelap—yang biasanya menjadi warna dasar seragam aparat—menimbulkan kesan kemarahan, permusuhan, dominasi, dan agresi. Abu-abu menjadi satu-satunya warna yang tidak memiliki sifat psikologis langsung, tapi dianggap memberi tekanan.
Jadi, berdasarkan studi tersebut, wajar saja jika sebagian orang merasa tak nyaman ketika berhadapan dengan aparat dengan warna seragam gelap. Agaknya, alasan ini pula yang membuat warna seragam satpam diubah, dari putih menjadi coklat laiknya warna seragam polisi.
Memengaruhi Agresivitas
Analisis warna tak berhenti hanya pada representasi emosi semata, tapi juga pengaruhnya terhadap sikap individu. Orang bisa merasa marah, hangat, bersahabat, santai, atau agresif hanya dengan mengenakan busana warna tertentu. Lihat saja hasil pengamatan yang dilakukan M.G. Frank dan T. Gilovich untuk membuktikan teori ini.
Dalam publikasinya di Journal of Personality and Social Psychology (1998), Frank dan Gilovich membandingkan perubahan sikap pada tim sepak bola dan hoki es saat berganti seragam. Yang teramati kemudian, perubahan seragam pemain ke warna hitam disertai peningkatan jumlah penalti. Jadi, kedua peneliti ini menyimpulkan bahwa seragam hitam kemungkinan membawa efek agresif bagi penggunanya.
Tak ada penelitian lanjut soal jumlah penalti pada warga gelap lainnya, tapi kemungkinan hasilnya tak jauh berbeda—jika mempertimbangkan dari dimensi warna dan refleksi emosi dasar.
Analisis ini mendukung temuan dalam percobaan sebelumnya terhadap warna terang. Pada 1979, seorang peneliti bernama Schauss dikenal dengan percobaan “penjara merah jambu”. Schauss mengamati terjadinya perubahan sikap narapidana ketika sel mereka diubah warnanya menjadi warna tersebut.
“Narapidana semula merasa sedikit kepanasan dan gelisah kemudian berubah jadi kurang agresif,” ungkap Schauss.
Schauss menyimpulkan, jika diterapkan secara tepat, efek warna merah muda bisa mereduksi perasaan marah atau gelisah sekitar 10-15 menit.
Jika para aparat ingin melepaskan diri dari stereotip galak, angkuh, dan agresif, mungkin mereka perlu mempertimbangkan opsi untuk mengganti warna seragamnya ke warna yang lebih cerah.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi