tirto.id - Pada 21 Oktober 1967, tepat hari ini 54 tahun yang lalu, masyarakat Amerika Serikat tumpah ruah di Lincoln Memorial, Washington D.C. Orang-orang berkumpul untuk menyuarakan protes terhadap keterlibatan militer AS di Asia Tenggara, terutama dalam Perang Vietnam.
Kumpulan orang yang mencapai seratus ribu itu terdiri dari pekerja golongan menengah, mahasiswa, pendeta, dan mereka yang tergabung dalam gerakan kebudayaan tandingan seperti kelompok hippie. Terlibat pula para pemikir penting seperti Noam Chomsky dan para dosen-dosen tersohor lain dari berbagai perguruan tinggi—baik negeri dan swasta. Bahkan sejarawan kondang ahli Jawa, Peter Carey, juga turut dalam gelombang protes lanjutan pada 1970 saat dia belajar pascasarjana di Universitas Cornell.
Demonstrasi dimotori terutama oleh kaum muda. Dekade 1960-an memang dekade aktivisme atau pergerakan pemuda di seluruh dunia.
Salah satu pemicunya adalah kebijakan wajib militer. Para pemuda menolak terlibat dalam sebuah perang yang mereka tentang alasannya. Faktor lainnya adalah gerakan seni dan kebudayaan tandingan yang dimotori antara lain oleh pelukis Michael Bowen dan penyair Allen Ginsberg. Keduanya merupakan tokoh penting kebudayaan tandingan yang menyapu kaum muda AS pada dekade 1960-an.
Usai berkumpul di Memorial Presiden Abraham Lincoln, setengah dari massa—50.000 orang—kemudian berbaris ke markas Departemen Pertahanan AS, Pentagon. Di sana, berbagai elemen dari budaya tandingan di AS disuarakan lewat retorika yang terdengar tidak masuk akal.
Laporan The Washington Post21 Oktober 1967berjudul'The day anti-Vietnam War protesters tried to levitate the Pentagon' menyebutkan salah seorang pemimpin massa, aktivis nyentrik Abbie Hoffman, berjanji mereka akan “[…] membakar pohon-pohon ceri, […] anak-anak perempuan akan berlari telanjang dan mengencingi tembok Pentagon, para penyihir, pemantra, dan penyembuh akan menggunakan sihir mereka untuk meruntuhkan tembok-tembok [Pentagon].” Ia juga yakin barisan pemrotes, dengan kekuatan metafisika, akan dapat “melayangkan Pentagon.”
Tentu hanya sebagian kecil massa yang meyakini kata-kata Hoffman secara harfiah. Selebihnya menganggap sekadar metafora yang menggambarkan betapa protes itu akan menjungkirbalikkan kebijakan Pentagon terhadap Vietnam.
Di muka tembok Pentagon, barisan massa diadang oleh pagar betis tentara Angkatan Udara. Beberapa demonstran tetap berusaha masuk ke Pentagon, namun sebagian besar lain menjalankan aksi teatrikal di depan para tentara—di sini, diambil sebuah foto terkenal yang memperlihatkan seorang demonstran perempuan menawarkan bunga kepada tentara di hadapannya.
Protes berlangsung relatif singkat dan dibubarkan total pada tengah malam menjelang pergantian hari.
Dekade Kaum Muda
Aksi protes ini mengandung makna penting tak hanya di AS tapi juga di belahan dunia lain. Ia mencerminkan semangat zaman. Pemuda di AS dan banyak negara lain seperti Inggris, Prancis, dan Jerman dipersatukan dalam isu Perang Vietnam dan mampu menghasilkan protes lewat budaya tandingan dalam skala raksasa.
Lalu, apa yang membuat dekade 1960-an menjadi tahun yang penuh pergerakan kaum muda di AS dan dunia?
Satu perubahan penting yang terjadi di dunia pada awal dekade tersebut adalah mulai terjangkaunya televisi. Televisi masih menjadi barang langka dua puluh tahun sebelumnya. Di pelosok dunia ketiga seperti Hindia Belanda, gawai yang lebih kuno seperti radio bahkan hanya dimiliki oleh sebagian kecil orang. Residen Madiun Lucien Adam (menjabat 1934–1938) dalam Antara Lawu dan Wilis (2021) menceritakan bagaimana ia harus pergi ke rumah tetangga Eropa yang memiliki radio untuk dapat mendengarkan hasil pertandingan sepak bola antara Belanda dan Belgia.
Keadaan di kota metropolitan Eropa atau AS memang jauh lebih baik, namun televisi tetaplah kemewahan yang ada pada tingkat lain dan tetap tidak menjamur.
Berakhirnya Perang Dunia II (1939–1945) menyediakan waktu yang ideal untuk perkembangan teknologi dan ekonomi di AS. Akhirnya, pada 1960, hampir setiap rumah di negara itu setidaknya telah memiliki satu televisi. Fenomena ini menghasilkan pandangan baru rakyat AS tentang perang.
Perang bagi orang AS sebelumnya selalu merupakan “konflik yang jauh di sana”, termasuk Perang Dunia II di mana mereka bergabung dalam Blok Sekutu. Kita melihat dalam karya Kenichi Goto, Jepang dan Pergerakan Indonesia (1998), bahwa Jepang tidak berhasil mewujudkan keinginannya untuk “membawa perang ke kampung halaman Amerika.”
Merasa diberkati karena jauh dari teater perang, sebagian besar rakyat AS mendukung intervensi negaranya dalam perang besar itu. Memang protes dalam skala terbatas muncul, tapi itu pun hanya dalam konteks penggunaan nuklir sebagai senjata pemungkas perang.
Rakyat AS didekatkan kepada teater perang dalam taraf yang tak pernah terbayangkan sebelumnya saat negara mereka turut campur di Vietnam. Orang dapat menyaksikan secara jelas perkembangan perang lewat televisi. Informasi yang mulai digenggam rakyat itu kemudian menyulut jurang pemisah antara kelompok pro dan anti-Perang Vietnam.
Faktor lain yang mendorong aktivisme anak muda masa itu adalah perubahan generasi. Orang-orang yang terlibat dalam aksi protes 1960-an lahir sekitar 1940-an. Mereka memang anak-anak yang lahir di zaman Perang Dunia II, tapi tidak merasakan langsung perang tersebut dan tidak sama sekali berbagi sentimen patriotik tentang bela negara dengan generasi ayah-ibu mereka.
Dekade 1960-an juga menyajikan pertumbuhan ekonomi yang pesat di AS. Inilah satu lagi pembeda tegas dengan generasi penyintas krisis antarperang—ayah dan ibu generasi aktivis muda itu—yang mendukung intervensi AS di Vietnam.
Bagaimana pertumbuhan ekonomi—yang mengasumsikan orang-orang hidup makmur—justru mendorong lahirnya pergerakan kaum muda?
Kita mungkin pernah mendengar ungkapan yang menjadi tren dalam studi isu sosial yang menyebut bahwa pergerakan politik disebabkan oleh krisis ekonomi. Namun, aktivisme di AS telah memberi cahaya lain pada ungkapan itu dengan membuktikan bahwa perkembangan pesat ekonomi juga punya efek yang sama.
Kemapanan ekonomi menghadirkan rasa percaya diri massa. Sangat sedikit—atau bahkan mungkin tidak ada—ketakutan bahwa mereka akan mengalami kesulitan ekonomi karena terlibat dalam protes menentang kebijakan pemerintah. Kemapanan ekonomi itu menghindarkan massa dari ketakutan persekusi atau kehilangan sumber penghasilan. Terbukti, pada masa krisis ekonomi 1980 sampai 1983, gelombang pergerakan pemuda atau pekerja pada umumnya merosot.
Sebab lain yang tidak kalah penting adalah perkembangan budaya tandingan itu sendiri. Salah satu dari banyak cabang budaya tandingan itu adalah spiritualisme timur di Dunia Atlantik (Eropa Barat dan Amerika Utara). Buddhisme mendapat perhatian besar dalam tubuh massa aksi protes anti-Perang Vietnam setelah aksi bakar diri dari biksu Mahayana Thích Quảng Đức pada 1963.
Di depan Kedutaan Besar Kamboja di Saigon, biksu Đức duduk tanpa bergerak dan bersuara setelah memantik sendiri api ke tubuhnya yang telah dibasahi oleh minyak tanah. Diungkapkan Marilyn B. Young dalam The Vietnam Wars: 1945–1990 (1990),hal ini dilakukan untuk memprotes kebijakan Presiden Vietnam Selatan Ngô Đình Diệm yang diskriminatif terhadap Buddhis dan terlalu pro-Katolik. Diệm adalah presiden yang didukung oleh AS.
Sebelum memantik api, Đức—lewat sebuah surat—mengajak Presiden Diệm “yang terhormat untuk sejenak memikirkan dengan cinta kasih tentang rakyat dan mendukung kesetaraan beragama.”
Foto tubuhnya yang berkobar kemudian dimuat dalam berbagai surat kabar di seluruh dunia.
Pengaruh Buddhisme—atau setidaknya spiritualisme Asia—dalam aksi protes di Pentagon pada 21 Oktober sangat kentara dalam aksi yang dilakukan oleh penyair Allen Ginsberg. Ginsberg, untuk mendukung Hoffman yang berniat “membuat Pentagon melayang,” mengiringinya dengan menyerukan doa-doa Buddhis Tibet.
Protes anti-Perang Vietnam terus berlanjut di AS sampai penghujung dekade dan orang-orang muda dari berbagai kampus semakin banyak terlibat dalam gerakan tersebut. Tidak hanya mahasiswa, bahkan, seperti kita lihat dalam kesaksian Peter Carey, guru besar sekelas sejarawan tersohor George McTurnan Kahin juga turut berpidato menentang kegilaan perang di Asia Tenggara.
Editor: Rio Apinino