tirto.id - Partai Demokrat menilai pernyataan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto yang membantah keterlibatan Pramono Anung dan Puan Maharani dalam kasus korupsi e-KTP sebagai upaya politik cuci tangan.
"Hasto ingin mengesankan ke publik bahwa posisi PDIP saat kejadian korupsi e-KTP adalah oposisi yang tidak mungkin terlibat korupsi," kata Ketua Divisi Hukum Demokrat, Ferdinand Hutahaean saat dihubungi, Kamis (22/3/2018).
Ferdinand menyatakan posisi politik partai bukan berarti membebaskan kader mereka dari perilaku korup. Karena, menurutnya, korupsi merupakan tindakan individu yang bisa dilakukan kader partai apapun, termasuk PDIP.
Sehingga, menurut Ferdinand, Hasto tidak bisa menjadikan posisi PDIP sebagai partai oposisi di saat rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkuasa untuk membantah keterlibatan Pramono dan Puan dalam korupsi proyek e-KTP.
Lagi pula, kata Ferdinand, di saat rezim SBY berkuasa kader PDIP juga terjerat berbagai kasus korupsi. Pada 2010, anggota DPR Fraksi PDIP, Max Moein, Agus Condro, Ruchimat Sudjana, Willem Tutuarima, Rusman Lumbatoruan, Panda Nababan, Poltak Sitorus, Engelina Patiasina, Budiningsih, Ni Luh Mariani, Sutanti Pranoto, Soewarni, dan Marhoea Pormes menjadi tersangka kasus korupsi suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) Miranda Goeltom di Komisi IX DPR.
"Ini fakta, jadi tesis Hasto yang menyatakan seolah oposisi tidak mungkin korupsi adalah sesat, salah dan bentuk politik cuci tangan,” ungkapnya.
Ferdinand menyatakan lebih baik Hasto membantah pernyataan Setya Novanto di sidang Tipikor dengan bukti-bukti yang menyatakan Puan dan Pramono tidak terlibat kasus korupsi e-KTP. Bukan dengan membuat opini yang menurutnya seolah-olah menyatakan Demokrat sebagai pendesain korupsi e-KTP.
"Jika memang Pramono dan Puan tidak terlibat, nyatakan tidak terlibat dengan bukti-bukti dan bukan dengan opini," kata Ferdinand.
Sebelumnya, Hasto membantah pernyataan Setya Novanto dalam sidang kasus korupsi e-KTP yang menyebut Pramono dan Puan menerima aliran dana kotor kasus tersebut.
Hasto menyatakan tidak mungkin Pramono dan Puan terlibat kasus korupsi proyek e-KTP karena PDIP merupakan partai oposisi yang tidak turut mendesain berlangsungnya proyek tersebut.
“Kami bukan dalam posisi designer, kami bukan penguasa. Dengan demikian atas apa yang disebutkan oleh Bapak Setnov, kami pastikan tidak benar, dan kami siap diaudit terkait hal tersebut”, kata Hasto dalam keterangan tertulisnya yang diterima Tirto, Kamis (22/3/2018).
Dalam persidangan, Setya Novanto menyebut Puan dan Pramono menerima uang sebesar 500 ribu dolar AS dari proyek KTP-el. Uang tersebut diberikan oleh Made Oka Masagung.
Saat ini, Pramono Anung menjabat sebagai Menteri Sekretaris Kabinet. Sementara Puan Maharani adalah Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Mantan ketua DPR tersebut mengaku mengetahui pemberian uang itu setelah Oka dan Andi Agustinus alias Andi Narogong berkunjung ke rumahnya. Mereka memberitahukan kepadanya uang dari proyek e-KTP sudah di eksekusi kepada beberapa pihak di DPR RI.
"Oka menyampaikan, dia menyerahkan uang ke dewan, saya tanya, 'Wah untuk siapa?' Disebutlah, tidak mengurangi rasa hormat, saya minta maaf, waktu itu ada Andi untuk Puan Maharani 500 ribu dolar AS dan Pramono 500 ribu dolar AS," kata Setya Novanto dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, Kamis (22/3/2018).
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Alexander Haryanto