tirto.id - Presiden AS Donald Trump akhirnya memberikan pernyataan pers pertamanya sejak aksi demonstrasi menuntut keadilan bagi George Floyd bergulir. Trump menyatakan diri sebagai “presiden patuh hukum dan aturan”, serta menyebut kerusuhan dalam aksi tersebut sebagai "tindakan teror domestik", demikian seperti dilansir dari APNews.
Lebih jauh, dalam pernyataan pers di Rose Garden, Gedung Putih pada Senin (1/6/2020) tersebut, ia menyebut jika aksi tidak segera berakhir maka dirinya akan mengerahkan pasukan militer dan mengatakan “pelaku ‘teror’ akan menghadapi hukuman pidana berat dan hukuman yang lama di penjara” sambil mengklaim kelompok Antifa berada di balik aksi kerusuhan itu.
Presiden Trump juga mengatakan, bahwa para gubernur negara bagian harus lebih “mendominasi" demonstrasi.
"Saya sangat merekomendasikan kepada setiap gubernur untuk mengerahkan Garda Nasional dalam jumlah yang cukup sehingga kita mendominasi jalanan," kata Trump.
Garda Nasional adalah pasukan cadangan militer yang dapat dipanggil untuk campur tangan dalam keadaan darurat domestik. Sekitar 16.000 tentaranya telah dikerahkan untuk menangani kerusuhan sejauh ini.
Trump menambahkan: "Jika sebuah kota atau negara menolak untuk mengambil tindakan yang diperlukan ... maka saya akan mengerahkan militer Amerika Serikat dan dengan cepat menyelesaikan masalah bagi mereka."
Dikutip dari The New York Times, domontrasi meletus semenjak kematian pria berkulit hitam George Floyd pada Senin (25/5/2020) malam waktu setempat, usai ia ditangkap pihak kepolisian karena laporan penggunaan uang palsu.
Sementara itu, kematian George Floyd yang memicu protes luas di seluruh AS, dinyatakan sebagai tindak pembunuhan, merujuk pada hasil autopsi resmi. Pria berusia 46 tahun itu menderita serangan jantung ketika ditahan oleh polisi Minneapolis.
Sebuah video memperlihatkan, seorang perwira polisi kulit putih terus “berlutut” di leher Floyd, bahkan setelah dia mengatakan bahwa dia “tidak bisa bernapas”. Kejadian tersebut lantas memicu kembali kemarahan yang mendalam terhadap pembunuhan polisi terhadap orang kulit hitam Amerika, yang disebut sebagai tragedi rasial.
Kemarahan itu telah menyebabkan aksi protes selama enam hari berturut-turut di Amerika Serikat dan dianggap sebagai salah satu kekacauan sipil dan rasial terburuk dalam tempo puluhan tahun terakhir.
Aparat polisi, Derek Chauvin, telah didakwa dengan pembunuhan tingkat tiga dan akan disidang minggu ini. Tiga petugas polisi lainnya telah dipecat.
Demo di Berbagai Negara
Aksi kritik tak hanya terjadi dan meluas di AS saja. Di berbagai belahan dunia, seperti dilaporkan The Guardian, kematian Floyd kemudian memicu demonstrasi di berbagai negara seperti Selandia Baru dan Australia.
Di Selandia Baru, tepatnya di Auckland, ribuan orang berdemo pada Senin (1/6/2020) sebagai aksi solidaritas untuk memprotes pembunuhan George Floyd di AS serta melawan kekerasan polisi dan rasisme di negara mereka sendiri.
Menurut laporan APNews, para pengunjuk rasa di Selandia Baru berdemo di depan Konsulat AS. Mereka berlutut sambil memegang beberapa seruan.
"I can't breathe" tulis salah satu seruan, seperti ucapan terakhir Floyd kala dibunuh polisi.
Selain di Selandia baru, aksi juga terjadi di Kanada, yang mana protes anti-rasialisme berubah menjadi bentrokan antara polisi Montreal dan beberapa demonstran.
Polisi menyatakan pertemuan itu ilegal setelah mereka mengatakan proyektil dilemparkan ke petugas yang menanggapi dengan semprotan merica dan gas air mata. Beberapa jendela hancur dan beberapa kebakaran terjadi.
Sementara ratusan orang di Brasil juga memprotes kejahatan yang dilakukan oleh polisi terhadap orang kulit hitam di lingkungan kelas pekerja Rio de Janeiro, yang dikenal sebagai favelas.
Polisi menggunakan gas air mata untuk membubarkan mereka, dengan beberapa demonstran mengatakan: "I can't breathe," mengulangi kata-kata Floyd.
Sedangkan di negara-negara yang otoriter, kerusuhan menjadi kesempatan untuk membuat “bumerang” dan melemahkan kritik AS atas situasi mereka sendiri.
Televisi pemerintah Iran misalnya, yang berulang kali menayangkan gambar-gambar kerusuhan AS. Sementara Rusia mengatakan, bahwa AS memiliki masalah hak asasi manusia yang sistemik.
Cina pun membalikkan propaganda AS mengenai demonstrasi anti-pemerintah Hong Kong, yang telah lama dikatakan pemerintah di negara itu didukung oleh AS.
Dalam sebuah komentar kepada surat kabar Global Times, Partai Komunis Tiongkok mengatakan, para pengamat Cina telah berpesan bahwa politikus AS seharusnya berpikir dua kali sebelum berkomentar lagi tentang Hong Kong, mengetahui: "Kata-kata mereka mungkin menjadi bumerang."
Surat kabar resmi Korea Utara Rodong Sinmun pada Senin (1/6/2020) juga melaporkan tentang demonstrasi. Disebutkan media itu, bahwa pengunjuk rasa "dengan keras mengutuk" seorang polisi kulit putih atas pembunuhan tanpa hukum dan secara brutal terhadap seorang warga kulit hitam.
Olok-olok “Bunker Boy”
Setelah membuat pernyataan pers, Trump dikabarkan sempat dilarikan ke bunker bawah tanah ketika massa yang protes soal kematian George Floyd mulai menyerbu Gedung Putih . Kejadian itu memicu reaksi para netizen dan ramai menyuarakan #BunkerBoy.
#BunkerBoy adalah olok-olok terhadap tindakan Trump yang bersembunyi di bunker bawah tanah untuk mengantisipasi amarah massa berdemo karena kematian George Floyd.
Bahkan media besar The New York Times membuat headline soal #BunkerBoy pada Selasa (2/6/2020), mengkritik Trump yang mengunakan kekerasan untuk hadapi pendemo tetapi takut dan bersembunyi di bunker.
Netizen lain juga menyuarakan #bunkerboy sebagai kritikan terhadap kebijakan Trump yang turunkan militer hadapi pendemo.
Di Twitter, sejumlah netizen mengatakan tindakan tersebut memalukan seraya mamasang tagar #DictatorTrump. Banyak juga yang menyindir dengan menulis “berharap Trump bahagia” dalam persembunyiaannya.
Sebelum ini, CGTN melaporkan, seorang pejabat Gedung Putih mengatakan tindakan membawa Trump bersama Ibu Negara, Melania Trump serta putra mereka, Barron dilakukan Jumat (29/5/2020). Mereka diungsikan di dalam bunker selama beberapa waktu.
Sumber tersebut juga mengatakan, jika eskalasi di Gedung Putih meningkat menjadi "merah" maka Trump, dan keluarga akan dipindahkan ke Pusat Operasi Darurat. Bahkan staf yang harus bekerja wajib menyembunyikan identitas mereka sampai tiba mendekati pintu masuk.
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Yantina Debora