Menuju konten utama

Deklarasi Jakarta dan Hubungan Dagang Indonesia-Israel

Deklarasi Jakarta, yang disepakati negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-5, menjadi pijakan Indonesia untuk menutup hubungan dagang dengan Israel, namun juga masih menyisakan ruang tanya sejauh mana Indonesia, sebagai negara anggota OKI, akan menjalankan komitmen tersebut.

Deklarasi Jakarta dan Hubungan Dagang Indonesia-Israel
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo (tengah) bersama Kapolri jenderal Polisi Badrodin Haiti (kiri) berbincang dengan Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Tito Karnavian saat meninjau pengamanan ktt luar biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di JCC, Jakarta, senin (7/3). [Antara Foto/OIC/Akbar Nugroho Gumay]

tirto.id - Deklarasi Jakarta, yang disepakati negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-5, menjadi pijakan Indonesia untuk menutup hubungan dagang dengan Israel, namun juga masih menyisakan ruang tanya sejauh mana Indonesia, sebagai negara anggota OKI, akan menjalankan komitmen tersebut.

Seperti dikutip dari kantor berita Antara pada hari Senin, (7/3/2106), dalam 23 butir deklarasi yang diinisiasi oleh Indonesia itu, terdapat beberapa poin penting yang dihasilkan. Salah satunya adalah aksi boikot semua negara anggota OKI dan masyarakat internasional terhadap produk yang dihasilkan di Israel dan atau oleh Israel.

Aksi yang tercantum dalam poin ke-16 deklarasi itu bertujuan menghentikan insentif yang diperoleh pemukim ilegal Israel yang berada di lahan pendudukan Israel atas Palestina.

Indonesia sendiri dalam konferensi tersebut berkali-kali menegaskan akan mendukung langkah tersebut. Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri RI Hasan Kleib dengan jelas mengatakan bahwa aksi boikot itu merupakan poin krusial yang dapat secara efektif memberikan tekanan terhadap Israel yang masih menduduki Palestina hingga saat ini.

“Kalau tidak diboikot, kita akan tetap memberi insentif kepada pemukim ilegal untuk semakin maju dan berkembang di wilayah yang bukan miliknya. Itu berpotensi pada meluasnya pendudukan lahan Palestina oleh Israel,” ujar Hasan di Balai Sidang Jakarta, Senayan, Senin malam.

Ia menambahkan bahwa boikot terhadap produk-produk Israel, terutama pertanian dan perkebunan, sebenarnya telah dimulai oleh negara-negara anggota OKI sekitar dua hingga tiga tahun lalu.

Dalam ranah politik, Indonesia mungkin secara tegas memberikan dukungan terhadap Palestina dan mengecam Israel, seperti yang ditunjukkan dengan keputusan untuk tidak memberikan bebas visa bagi Israel pada Desember 2015 lalu dan tidak dibukanya hubungan diplomatik dengan negara tersebut. Namun demikian, sikap tegas Indonesia itu tidak tampak dalam hubungan dagangnya dengan Israel.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat adanya kenaikan impor sebesar 459 persen menjadi USD 77,7 juta pada tahun 2015 jika dibandingkan tahun 2014 sebesar USD 13,89 juta.

Sementara untuk ekspor, meski menunjukkan penurunan sebesar 16 persen menjadi USD 116,7 juta pada tahun 2015 jika dibandingkan tahun 2014 sebesar USD 138,9 juta, nilai ekspor Indonesia ke Israel selalu konsisten di atas USD 100 juta setiap tahunnya sejak tahun 2011.

Melihat data tersebut, komitmen Indonesia dalam memboikot produk-produk Israel masih membutuhkan uji waktu untuk melihat sejauh mana pemerintah akan bergerak menerapkan komitmen itu.

Pemerintah Indonesia sendiri masih tidak 100 persen yakin sejauh apa hasil KTT OKI ini akan membantu Palestina meraih independensinya, namun masih tetap menyerukan optimisme. Hal itu seperti yang dikemukakan oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang mengatakan bahwa hasil KTT tersebut tidak serta-merta menyelesaikan masalah Palestina, namun dapat mendorong upaya-upaya yang serupa di masa mendatang.

Baca juga artikel terkait DEKLARASI JAKARTA atau tulisan lainnya

tirto.id - Politik
Reporter: Ign. L. Adhi Bhaskara