tirto.id - Dasar hukum asuransi syariah berasal dari Al-Qur’an, hadis, ijma’ ulama, dan hukum positif. Maka itu, dasar hukum asuransi syariah di Indonesia adalah fatwa MUI dan undang-undang RI tentang perasuransian.
Konsep asuransi syariah berakar kepada sistem al-Aqilah, kebiasaan suku di Arab yang kemudian disahkan oleh Rasulullah SAW jadi bagian dari hukum Islam. Aqilah merupakan tradisi kesukuan di Arab yang berlaku di kasus pembunuhan.
Dalam tradisi sistem Aqilah, kerabat pelaku pembunuhan diharuskan membayar diyat (denda atau uang darah) sebagai kompensasi untuk pewaris korban. Tradisi kesiapan membayar diyat dianggap mirip pembayaran premi dalam asuransi. Sementara itu, kesediaan membayar diyat mirip praktik pembayaran klaim penggantian risiko kepada pemegang polis oleh perusahaan asuransi.
Mengutip laman OJK, usaha asuransi syariah mulai mengemuka pada akhir tahun 1970-an. Periode ini ditandai dengan langkah Faisal Islamic Bank of Sudan membentuk usaha asuransi syariah yang menyediakan layanan di Sudan dan Arab Saudi.
Keberhasilan Faisal Islamic Bank of Sudan menginspirasi kemunculan usaha asuransi syariah lain di sejumlah negara, terutama di Eropa dan Asia. Di kawasan Asia tenggara, asuransi syariah pertama kali terselenggara di Malaysia pada tahun 1985, yakni Takaful Malaysia.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 24 Februari 1994, berdiri perusahaan asuransi syariah di Indonesia untuk pertama kalinya, yakni PT Syarikat Takaful Indonesia.
Pembentukan perusahaan ini diinisiasi oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia, PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, dan Departemen Keuangan RI.
Kini, berdasarkan data Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), ada lebih dari 50-an jasa asuransi syariah di tanah air yang telah mendapatkan rekomendasi syariah.
Definisi Asuransi Syariah
Definisi asuransi syariah adalah bentuk asuransi yang diselenggarakan berdasarkan prinsip usaha saling melindungi dan tolong-menolong antara sejumlah pihak, lewat investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ untuk menghadapi resiko tertentu, dengan akad yang sesuai syariah yaitu tidak mengandung maghrib; masyir (perjudian), gharar (penipuan), dan riba.
Rumusan definisi di atas membedakan secara tegas model usaha asuransi syariah dengan asuransi konvensional. Perbedaan utamanya adalah asuransi syariah tidak bertujuan bisnis belaka seperti di asuransi konvensional (non-syariah).
Konsep yang mendasari asuransi syariah ialah usaha saling tolong-menolong (ta’awun atau sharing of risk) serta saling melindungi (takaful) untuk menghadapi risiko tertentu.
Kegiatan tolong-menolong dan saling melindungi itu dilakukan oleh para peserta (pemegang polis) asuransi syariah, dengan pengumpulan dana tabbaru’ (setoran asuransi) yang dikelola oleh pihak penyelenggara (perusahaan) sesuai prinsip syariah. Investasi dana asuransi syariah harus sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
Dasar Hukum Asuransi Syariah di Indonesia
Penyelenggaraan asuransi syariah di Indonesia beralas pada beberapa dasar hukum. Berikut dasar-dasar hukum asuransi syariah di Indonesia beserta penjelasannya.
1. Al-Qur’an dan Hadis
QS al-Maidah (5:2), yang berarti:
“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan”
QS. an-Nisa’ (4:9), yang berarti:
“Dan hendaklah takut (kepada Allah Swt.) orang-orang yang sekiranya meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) nya. Oleh sebab itu hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar”
Hadis Riwayat Muslim dari Abu Hurairah RA, yang berarti:
“Nabi Muhammad Saw. bersabda: Barang siapa yang menghilangkan kesulitan duniawi seorang mukmin, maka Allah SWT akan menghilangkan kesulitannya pada hari kiamat. Barangsiapa yang mempermudah kesulitan seseorang, maka Allah Swt. akan mempermudah urusannya di dunia dan di akhirat” (HR. Muslim).
2. Pendapat Ulama Fuqaha
Di kalangan ulama fikih (fuqaha) terdapat beberapa perbedaan pendapat tentang hukum asuransi. Ada golongan fuqaha yang menyatakan bahwa hukum asuransi adalah mubah, dan sebagian lain menyatakan hukumnya adalah haram.
Perbedaan pendapat tersebut didasarkan dari status hukum asuransi syariah. Bahkan di Indonesia ada ulama yang punya pendapat bahwa, asuransi konvensional maupun syariah sama-sama haram karena dikhawatirkan mengandung riba dan gharar.
Namun dalam fikih klasik tidak ditemukan pembahasan soal asuransi. Karena itu, tidak ditemukan pula rumusan hukum fikih dari masa lalu yang melarang praktik asuransi.
Sebagian besar ulama fikih di era sekarang berpendapat bahwa asuransi yang komersial dan profit oriented hukumnya haram. Sementara itu, asuransi berbasis ta’awun atau tabarru’ yang dilandasi prinsip tolong-menolong dan tata kelolanya sesuai syariah hukumnya mubah atau boleh.
3. Fatwa MUI
Kemunculan sejumlah perusahaan asuransi syariah di Indonesia sejak tahun 1990-an disikapi oleh MUI dengan menerbitkan Fatwa Nomor 21/DSN-MUI/X/2001. Fatwa MUI itu menyatakan kehalalan asuransi syariah.
Melalui fatwa itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat menyatakan bahwa asuransi syariah secara sah diperbolehkan dalam Islam. Di fatwa ini, MUI menegaskan kehalalan asuransi syariah terlihat dari prinsip umum dalam penyelenggaraannya dan akad (transaksi) yang diterapkan.
4. UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian [PDF], tidak hanya mengatur usaha asuransi konvensional. UU 40/2014 juga mengatur tata kelola asuransi syariah di Indonesia. UU ini sudah memuat ketentuan terperinci mengenai penyelenggaraan asuransi syariah di tanah air.
Penulis: Muhammad Iqbal Iskandar
Editor: Addi M Idhom