tirto.id - Perbedaan asuransi syariah dan asuransi konvensional cukup signifikan meskipun keduanya sama-sama memberikan manfaat berupa perlindungan atas risiko. Perbedaan utama dua jenis asuransi di Indonesia tersebut terletak pada pengelolaan dananya.
Dalam definisi umum, asuransi adalah perjanjian antara perusahaan asuransi dengan pemegang polis yang menjadi dasar penerimaan premi oleh pihak pertama (perusahaan) sebagai imbalan untuk jasa perlindungan atas berbagai risiko.
Perlindungan asuransi itu biasanya berupa penggantian dana yang diberikan pada pemegang polis untuk kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, atau hilangnya keuntungan akibat peristiwa yang bersifat tidak pasti. Penggantian dana itu juga bisa untuk asuransi jiwa (kematian/kecelakaan).
Jadi, keuntungan perusahaan asuransi diperoleh dari pengelolaan dana iuran para pemegang polis. Pengelolaan dana itu harus dilakukan dengan memenuhi prinsip-prinsip keuangan sesuai ketentuan perundang-undangan.
Dalam asuransi syariah, mengutip laman Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pengelolaan dana tersebut juga harus sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam (syariah). Maka, dana dari pemegang polis tidak boleh diinvestasikan untuk saham atau instrumen investasi lainnya yang memiliki hubungan dengan kegiatan usaha yang dilarang oleh prinsip syariah, ataupun dinyatakan haram oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Perbedaan Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional
Apa saja perbedaan asuransi syariah dan asuransi konvensional? Menukil dari Buku 8 Industri Jasa Keuangan Syariah: Seri Literasi Keuangan Perguruan Tinggi [PDF] terbitan OJK (2019), berikut ini daftar perbedaan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional.
1. Konsep
a. Asuransi Konvensional: Transfer of risk, yakni perjanjian 2 pihak atau lebih yang membuat pihak penanggung mengikatkan diri dengan pihak tertanggung, sehingga bisa menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian biaya (klaim) kepada tertanggung.
b. Asuransi Syariah: Sharing of risk, yakni usaha saling tolong-menolong (ta’awun) serta saling melindungi (takaful) di antara para peserta (pemegang polis), lewat pembentukan kumpulan dana tabbaru’ (setoran peserta asuransi syariah) yang dikelola sesuai prinsip syariah untuk menghadapi risiko tertentu.
2. Akad
a. Asuransi Konvensional: Tidak ada akad.
b. Asuransi Syariah: Pakai akad tabarru’ (hibah) dan akad tijarah (wakalah, bil ujrah, mudharabah, dan mudharabah musytarakah).
Maksud dari akad-akad tersebut sebagai berikut:
-Akad tabarru’ adalah akad hibah dalam bentuk pemberian dana dari peserta kepada pengelola Dana Tabarru’ untuk tujuan tolong-menolong di antara para peserta asuransi syariah, yang tidak bersifat dan bukan untuk tujuan komersial.
-Akad tijarah adalah akad antara peserta (secara kolektif ataupun individu) dengan perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah dengan tujuan komersial.
-Akad tijarah terdiri atas: Akad Wakalah bil ujrah (ada imbalan untuk perusahaan asuransi); Akad Mudharabah (ada bagi hasil pengelolaan dana yang nilainya sesuai kesepakatan); dan Akad Mudharabah Musytarakah (ada bagi hasil pengelolaan dana yang nilainya sesuai komposisi kekayaan yang digabung berdasarkan kesepakatan).
3. Kepemilikan Dana
a. Asuransi Konvensional: Dana premi seluruhnya menjadi milik perusahaan asuransi. Perusahaan asuransi bebas menggunakan dan menginvestasikan dana premi. Dana premi adalah uang setoran dari peserta asuransi.
b. Asuransi Syariah: Dana kontribusi, sebagian merupakan milik peserta asuransi (shahibul maal), dan sebagian milik perusahaan selaku pemegang amanah (mudharib) untuk mengelola dana itu.
4. Investasi
a. Asuransi Konvensional: Perusahaan asuransi bebas melakukan investasi sesuai ketentuan yang berlaku dan tidak dibatasi ketentuan halal dan haramnya instrumen investasi yang digunakan.
b. Asuransi Syariah: Perusahaan asuransi hanya bebas melakukan investasi di instrumen syariah sesuai ketentuan, yang selaras dengan prinsip syariah (terbebas dari riba dan tempat investasi yang terlarang).
5. Sumber Pembayaran Klaim
a. Asuransi Konvensional: Sumber pembayaran klaim (kepada peserta) dari rekening perusahaan, sebagai konsekuensi penanggung terhadap tertanggung.
b. Asuransi Syariah: Sumber pembayaran klaim dari rekening tabarru’ yang merupakan rekening para peserta asuransi yang saling menanggung risiko.
6. Suplus Underwriting
a. Asuransi Konvensional: Surplus underwriting seluruhnya menjadi milik perusahaan.
Di asuransi konvensional, surplus underwriting adalahselisih lebih dari pengurangan premi bersih (netto) pada akhir tahun dengan nilai total klaim peserta asuransi.
b. Asuransi Syariah: Surplus underwriting dapat dibagi untuk cadangan dana tabarru’, perusahaan, dan peserta, apabila kondisi perusahaan memenuhi ketentuan berlaku.
Di asuransi syariah, surplus underwriting adalah selisih lebih dari total kontribusi peserta ke dalam Dana Tabarru' ditambah kenaikan aset reasuransi setelah dikurangi pembayaran santunan/klaim, kontribusi reasuransi, dan kenaikan cadangan teknis dalam satu periode tertentu.
7. Asal Usul Konsep
a. Asuransi Konvensional: Berasal dari masyarakat Babilonia (4000-3000 SM) yang dikenal dengan sebutan perjanjian Hammurabi. Dari konsep itu, pada 1668 M, muncullah bursa asuransi bernama Lloyd of London di Coffee House London (Inggris) yang jadi cikal bakal asuransi konvensional.
b. Asuransi Syariah: Berakar dari konsep al-Aqilah, kebiasaan suku Arab yang kemudian disahkan oleh Rasulullah SAW jadi bagian dari hukum Islam.
Aqilah merupakan tradisi kesukuan di Arab yang berlaku ketika muncul kasus pembunuhan. Dalam tradisi ini, pihak kerabat pembunuh diharuskan membayar diyat (denda atau uang darah) sebagai kompensasi untuk pewaris korban. Tradisi kesiapan membayar diyat dianggap mirip pembayaran premi di asuransi. Sementara itu, kesediaan membayar diyat mirip praktik pembayaran klaim oleh perusahaan asuransi.
8. Sumber Hukum
a. Asuransi Konvensional: Bersumber dari pikiran manusia dan kebudayaan berdasarkan hukum positif, hukum alam, dan contoh dari era sebelumnya.
b. Asuransi Syariah: Bersumber dari Al-Qur’an, Hadis, Ijma’ ulama, dan hukum positif.
9. Misi
a. Asuransi Konvensional: Secara garis besar misi utama asuransi konvensional adalah kepentingan ekonomi dan sosial
b. Asuransi Syariah: Misi yang diemban dalam asuransi syariah adalah misi akidah, misi ibadah (ta’awun/tolong-menolong), misi ekonomi (iqtishad), dan misi pemberdayaan umat (sosial).
10. Dewan Pengawas Syariah
a. Asuransi Konvensional: Tidak ada, sehingga dalam praktiknya berpotensi terdapat hal yang bertentangan dengan prinsip hukum Islam (syariah).
b. Asuransi Syariah: Terdapat Dewan Pengawas Syariah (DPS) untuk menjamin agar pelaksanaan kegiatan perusahaan asuransi sesuai dengan prinsip syariat Islam.
Contoh Asuransi Syariah dan Konvensional di Indonesia
Jika menilik sejarahnya, perusahaan asuransi konvensional yang pertama kali berdiri di Indonesia bernama Bataviasche Zee End Brand Asrantie Maatscappij pada tahun 1843. Jasa asuransi tersebut mencakup segala risiko akibat kecelakaan saat pengangkutan hasil perkebunan. Hingga kini, sudah banyak perusahaan asuransi di Indonesia, baik asing maupun dalam negeri, termasuk milik BUMN.
Sementara itu, perusahaan asuransi syariah yang pertama di Indonesia adalah PT Syarikat Takaful Indonesia (Takaful Indonesia). Perusahaan ini berdiri pada 24 Februari 1994.
Merujuk penjelasan di laman OJK, pada akhir dekade 70-an, jasa asuransi yang secara operasional mengacu kepada nilai-nilai syariah mulai tumbuh di beberapa negara Islam.
Bermula dari Faisal Islamic Bank of Sudan memprakarsai perusahaan asuransi syariah di Sudan, Islamic Insurance Co. Ltd pada tahun 1979. Bank yang sama lantas membentuk Islamic Insurance Co. Ltd di Arab Saudi.
Kemudian, muncul perusahaan-perusahaan serupa di negara-negara lainnya, seperti Dar al-Mam al-Islami (Swiss), Takaful Islami (Luxemburg), Takaful Islam Bahamas (Bahama), dan Al-Takaful Al-Islami di Bahrain pada 1983.
Di Asia, perusahaan asuransi syariah pertama kali diperkenalkan Malaysia pada tahun 1985 melalui perusahaan bernama Takaful Malaysia. Brunei, Singapura, dan Indonesia mengikuti jejak Malaysia, pada beberapa tahun kemudian.
Kemunculan sejumlah perusahaan asuransi syariah di Indonesia sejak tahun 1990-an disikapi oleh MUI dengan menerbitkan Fatwa Nomor 21/DSN-MUI/X/2001. Fatwa MUI itu menyatakan kehalalan asuransi syariah.
Selanjutnya, dalam UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian [PDF], tidak hanya diatur perihal asuransi konvensional. UU tersebut juga mengatur tata kelola asuransi syariah di Indonesia.
Sebagaimana asuransi konvensional, produk-produk asuransi syariah juga mencakup asuransi jiwa (kematian, kesehatan, kecelakaan) dan asuransi kerugian (harta atau benda, kendaraan bermotor, kesehatan, kecelakaan, tanggung gugat, dan lain sebagainya).
Adapun contoh asuransi syariah dan asuransi konvensional di Indonesia adalah sebagai berikut.
1. Contoh perusahaan asuransi syariah di Indonesia:
- PT Asuransi Takaful Umum
- PT Asuransi Chubb Syariah
- PT Asuransi Sonwelis Takaful
- PT Asuransi Jasindo Syariah
- PT Asuransi Askrida Syariah
- Sejumlah perusahaan asuransi konvensional juga memiliki produk atau unit usaha asuransi syariah. Contohnya: Asuransi BNI Syariah (BNI Life), AXA Mandiri Syariah (AXA Mandiri), Asuransi Astra Syariah (Asuransi Buana Astra), dan lain sebagainya.
2. Contoh perusahaan asuransi konvensional di Indonesia:
- PT Asuransi BRI Life
- PT Asuransi Jiwa Central Asia Raya
- PT Equity Life Indonesia
- PT Asuransi Simas Jiwa
- PT Asuransi Jiwa Taspen
- PT Asuransi Jiwa BCA
- PT Asuransi Allianz Life Indonesia
- PT Asuransi Astra Buana
- PT Asuransi Kredit Indonesia
- PT MNC Asuransi Indonesia
- BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan (bukan perusahaan tetapi badan hukum publik milik negara).
Penulis: Nirmala Eka Maharani
Editor: Addi M Idhom