tirto.id - Sebelum 2004, pemilihan langsung bukanlah format untuk pemilihan Presiden/Wakil Presiden di Indonesia. Sementara itu, debat kandidat Presiden/Wakil Presiden sebagai ajang "debat" baru benar-benar terlaksana pada 2009.
Beberapa debat dengan beberapa format pun telah dijalankan oleh penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU). Bagaimana persepsi masyarakat soal penyelenggaraan debat kandidat pilpres?
Debat Capres Baik atau Kurang Menarik?
Mayoritas menyebutnya sebagai kegiatan yang baik, tapi ada juga yang berpandangan lain. Dari sebanyak 1.509 responden di seluruh Indonesia yang kami survei pada 25 Oktober 2018, 85 persennya bersuara bahwa kegiatan tersebut dianggap ‘baik untuk masyarakat’.
Mereka menganggap debat dapat membantu mengenalkan profil kandidat. Ada pula alasan bahwa debat membuat mereka jadi tahu program apa saja yang kandidat tawarkan.
Namun, ada pula yang berpandangan debat kandidat pilpres tidaklah menarik. Alasannya sederhana. Bagi mereka, kegiatan itu cenderung menjadi "ajang debat kusir" antar-kandidat. Sebanyak 17 persen responden survei menyatakan hal itu.
Temuan lainya adalah kritik kepada KPU yang dinilai buruk sebagai panitia penyelenggara kegiatan. Pada survei ini, sebanyak 12 persen responden menyatakan bahwa debat kandidat pilpres yang pernah terjadi sebelumnya berlangsung "buruk dan kurang menarik".
Debat Dianggap Saluran Kampanye yang Efektif
Survei ini juga turut menemukan hasil bahwa "debat kandidat" dilihat oleh responden sebagai saluran efektif kedua dalam kampanye pemilu. Sebanyak 52 persen responden menyatakan hal itu. Dengan jawaban ini, dapat dilihat juga bahwa masyarakat memberi atensi cukup besar terhadap pelaksanaan debat kandidat pilpres 2019 nanti.
Studi Pembanding
Seberapa besar dampak debat pada pembentukan perilaku dalam memilih?
Temuan Pew Research pada pemilihan presiden 2008 di AS menyatakan bahwa perdebatan antara Barack Obama dan John McCain yang terjadi kala itu "sangat atau agak membantu" dalam menentukan siapa calon yang akan dipilih. Kesimpulan itu didapat dari 67 persen suara responden survei setelah pemilihan berlangsung.
Studi lawas Thomas M. Holbrook (Political Behavior Vol. 21, No. 1, Mar., 1999) atas 10 penyelenggaraan debat presiden di AS (1976-1996) memang pernah menyatakan bahwa debat kandidat adalah faktor penting, terutama dalam pembentukan citra, perubahan sikap, dan perilaku dalam memilih. Holbrook bahkan menggarisbawahi bahwa debat penting bagi kandidat yang belum terlalu dikenal secara luas.
Meski demikian, kalangan ilmuwan politik tampaknya masih ragu jika debat kandidat menjadi satu-satunya faktor dalam pembentukan perilaku memilih. Pada beberapa kasus, justru cara media berbicara tentang perdebatan itulah yang bisa jadi membantu mengarahkan preferensi terbentuk ataupun berubah.
Kasus 2014 di Indonesia
Lembaga survei Indikator Politik Indonesia pernah melakukan survei terkait dengan kegiatan debat kedua pilpres 2014 berlangsung. Dengan melakukan telesurvei kepada 466 responden, didapatkan hasil bahwa debat bertemakan ‘Pembangunan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial’ terbukti sama-sama mendongkrak elektabilitas masing-masing kandidat.
Kandidat Jokowi-JK yang mendapatkan 47,6 persen elektabilitas sebelum debat berlangsung lantas melonjak menjadi 51,4 persen setelah acara. Begitu pula dengan kandidat Prabowo-Hatta yang berubah dari 36,2 persen sebelum debat menjadi 40,9 persen setelah debat. (PDF) Angka elektabilitas dalam telesurvei tersebut punya catatan: jika pemungutan suara dilaksanakan pada saat itu.
Dari margin proporsi peningkatan elektabilitas, memang Prabowo-Hatta yang mendapatkan kenaikan lebih tinggi setelah pelaksanaan debat kedua itu, meski dalam hasil akhir pemilu pasangan tersebut kalah.
Menariknya, dalam telesurvei itu pula, perubahan margin proporsi terhadap responden yang menjawab TT/TJ (tidak tahu/tidak jawab) cukup signifikan. Sebelum debat, suara ini tercatat sebesar 16,1 persen dan turun menjadi 7,7 persen setelah kegiatan debat berlangsung.
Dalam tafsiran sederhana, responden TT/TJ ini dapat disebut sebagai kelompok yang mewakili mereka yang belum menentukan pilihan, masih ragu-ragu, ataupun swing voters (massa pemilih yang mengambang). Bagi kelompok ini, debat kandidat bisa menjadi salah satu pedoman untuk memilih.
Kesimpulan
Studi yang lebih mendalam dan lengkap masih dibutuhkan dalam membaca momen debat kandidat pilpres, terutama survei yang bisa menguji secara empiris dampaknya terhadap perilaku memilih di Indonesia.
Sekalipun hasil studi secara akademis (dalam contoh kasus di negara tertentu) menunjukkan hasil bervariasi ihwal dampak debat kandidat pilpres terhadap perilaku memilih, umumnya memandang debat sebagai ajang yang penting untuk diselenggarakan.
Hal yang sama turut terlihat dalam survei yang dilakukan Tirto ini: mayoritas responden di Indonesia melihat kegiatan tersebut sebagai sesuatu yang baik untuk masyarakat dan menjadi saluran kampanye yang efektif.
Meski demikian, sebagian masyarakat yang terwakili dalam survei itu juga memberi pandangan bahwa ajang debat hanya berujung pada saling debat kusir ataupun persoalan penyelenggaraan yang masih buruk. Tentu, persoalan ini perlu mendapat perhatian khusus dan catatan tersendiri dari KPU.
Editor: Maulida Sri Handayani