Menuju konten utama

Debat Capres Jokowi dan Prabowo Soal HAM Ditanggapi Pesimistis

Isu HAM dalam debat perdana Pilpres 2019 dikhawatirkan cuma formalitas belaka. Rasa pesimistis itu disampaikan para pegiat HAM.

Debat Capres Jokowi dan Prabowo Soal HAM Ditanggapi Pesimistis
Ketua KPU Arief Budiman (ketiga kanan) bersama Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik (kedua kanan), Kepala Biro Teknis KPU Nur Syarifah (kanan), Komisioner KPU Wahyu Setiawan (ketiga kiri), Hasyim Asyari (kedua kiri) dan Anggota Bawaslu Rahmat Bagja (kiri) mengikuti pengundian dan penetapan penyiaran debat pasangan calon presiden dan wakil presiden pemilu 2019 di Kantor KPU, Jakarta, Rabu (26/12/2018). ANTARA FOTO/Reno Esnir

tirto.id - Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan debat perdana Pilpres 2019 yang akan digelar 17 Januari 2019 mendatang akan menyoal seputar hukum, korupsi, teorisme, dan hak asasi manusia (HAM).

Namun, masuknya isu HAM dalam materi debat tidak disambut antusias oleh para pegiat HAM. Mereka justru pesimistis materi HAM akan didebatkan dan ditindaklanjuti secara serius.

Koordinator KontraS Yati Andriany menilai debat HAM hanya akan keluar sebagai ucapan-ucapan retoris belaka karena tidak ada jaminan bahwa HAM akan menjadi agenda prioritas kedua kubu.

"Masuknya agenda ini masih sebatas formalitas untuk meramaikan gelaran debat capres semata, mengingat sejauh ini dari dua kubu yang berkontestasi tidak memiliki jejak rekam pemenuhan HAM yang signifikan dan subtantif terutama untuk agenda HAM pada ranah perlindungan, pemenuhan hak sipil, dan politik," kata Yati saat dihubungi Tirto, Jumat sore (28/12/2018).

Yati memandang Jokowi sebagai petahana sampai jelang akhir periode jabatannya gagal memenuhi janji menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu.

"Contohnya hal-hal fundamental, di antaranya hak untuk hidup, bebas dari penyiksaan, perlindungan kelompok rentan, hak atas kebebasan beragama, berkeyakinan, beribadah. Ruang demokrasi semakin menyempit, seperti kebebasan berkumpul, berekspresi masih belum terjamin dan terlindungi," kata Yati.

Menyoal Prabowo, Yati juga sama ragunya, dan bahkan mempertanyakan dugaan keterlibatan calon presiden nomor urut 02 itu dalam kasus pelanggaran HAM masa lalu.

"Antara lain kasus penculikan dan penghilangan paksa 1997/1998. Hal-hal di atas menunjukkan agenda HAM kerap hanya dijadikan formalitas dan 'komoditas' pilpres," imbuhnya.

Direktur Amnesty International Usman Hamid juga menyatakan pendapat senada. Ia menilai debat soal HAM hanya akan menjadi formalitas karena ia melihat, selama masa kampanye, kedua pasangan capres-cawapres belum menyampaikan program-program konkret terkait dengan penuntasan kasus pelanggaran HAM.

Menurut Usman, kemungkinan isu HAM menjadi formalitas belaka dikarenakan banyaknya tantangan isu-isu HAM di wilayah domestik yang kerap dikesampingkan, misalnya perlindungan warga bagi kaum minoritas.

"Dengan bertarungnya dua kubu politik pada April 2019 mendatang yang nyaris tanpa agenda HAM sebagai prioritas utama, maka masa depan HAM semakin menghadapi tantangan besar," kata Usman melalui sambungan telepon kepada Tirto, Jumat (28/12/2018) siang.

Perlu Pertanyaan Tajam

Agar isu HAM tidak berakhir sebagai formalitas dalam debat, Yati memberi saran, khususnya kepada para penanggap dan penanya saat debat berlangsung, agar melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang tajam.

"Ke Jokowi, misalnya, apakah ia bersedia dan berani memerintahkan Jaksa Agung memeriksa Prabowo, termasuk Wiranto dan Hendropriyono?" kata Yati.

"Kalau ke Prabowo, misalnya, jika ia terpilih apakah ia bisa menjamin tidak menculik dan menghilangkan orang lagi? Apakah ia bersedia mengungkap kebenaran orang-orang yang ia culik dan keberadaan mereka yang masih hilang?" Yati.

Pertanyaan-pertanyaan tajam seperti itu menurut Yati penting agar para kedua pasangan kandidat tidak hanya menjawab pertanyaan yang normatif saja. Selain itu, kedua kandidat juga perlu ditantang soal kebijakan politik apa yang akan dikeluarkan dan dilakukan secara lebih detail menyangkut HAM.

"Karena sebagus apapun pertanyaan jika kebijakan politik yang diambil tidak sejalan, maka semua mekanisme legal dan implementasi kebijakan yang positif tidak akan terjadi," kata Yati.

Mengenai penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, Yati menyarankan agar kedua kandidat diberi pertanyaan soal kebijakan seperti apa yang akan dilakukan jika terpilih.

"Apa yang akan dilakukan jika Jaksa Agung menolak melakukan penyidikan? Apakah mengangkat orang-orang yang patut diduga terlibat dalam pelanggaran HAM dianggap tepat?" terang Yati.

"Cara apa atau kepemimpinan politik seperti apa yang akan ditempuh dalam memastikan tidak adanya penolakan penyelesaian pelanggaran HAM berat oleh pihak TNI dan atau purnawirawan? Apakah pantas atau layak seseorang yang diduga terkait dengan pelanggaran HAM berat menjadi presiden atau menjadi menteri?" lanjutnya.

Tak hanya dalam lingkup elite, para capres kata Yati juga perlu dipertanyakan secara tajam terkait isu-isu HAM akar rumput. Misalnya, "Langkah apa yang akan dilakukan untuk memastikan jaminan perlindungan hak atas hidup [ketika hukuman mati masih diterapkan], hak untuk bebas dari penyiksaan, kebebasan beragama, beribadah, berkeyakinan, perlindungan kelompok rentan, minoritas dan lain lain. Itu perlu," ujar Yati.

Komisioner KPU Ilham Saputra enggan berkomentar sikap pesimistis terhadap materi HAM dalam debat Pilpres mendatang. Ia hanya menyampaikan keyakinan bahwa debat perdana Pilpres 2019 tak bakal berjalan sekadar formalitas. Ia beralasan karena KPU turut mengundang perwakilan lembaga yang fokus di bidang HAM sebagai panelis, serta lembaga swadaya dan individu masyarakat yang fokus pada isu HAM.

"Kami mengundang Ketua Komnas HAM sebagai panelis. Semoga pembahasan akan lebih substantif," kata Ilham singkat saat dihubungi Tirto, Minggu (30/12/2018) pagi.

Baca juga artikel terkait DEBAT PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hard news
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abul Muamar