Menuju konten utama

DCDC Yogyes in Absurdum: Perjalanan Artistik Farid Stevy

Selain Pidi Baiq dan Farid Stevy, seniman yang bakal tampil di pameran DCDC Bandung antara lain adalah Ahmad Oka, Ajeng Pratiwi, Alga Indria, Arian13.

DCDC Yogyes in Absurdum: Perjalanan Artistik Farid Stevy
Farid Stevy lagi wefi di depan Enam Lima is Absurdum. (Foto/Dok. Panitia DCDC Yogyes in Absurdum).

tirto.id -

Karya-karya yang ditampilkan Farid Stevy di pameran DCDC Yogyes in Absurdum: Believe It or Yes! pada 21-23 November tahun lalu meninggalkan kesan mendalam di diri saya. Padahal, kalau boleh terus terang—dan ini cukup memalukan—dari semua seniman yang terlibat di pameran tersebut hanya Farid yang namanya bagi saya tidak familiar.

“Farid, mas,” sapa sesosok laki-laki gondrong-jangkung yang ujug-ujug menyalami saya sambil sedikit membungkukkan punggung, di depan “Once Upon a Time Nyantrik in Absurdum”.

Itulah karya Farid yang dikemas dengan pendekatan interaktif berupa satu set kursi, meja, dan sofa—pengunjung bisa duduk-duduk santai bahkan leyeh-leyeh di atasnya. Sebagai latar, sebentang dinding putih tinggi lebar dihiasi tulisan merah yang menyala: KUBANGUN MESINNYA DARI LOGAM SENJATAMU YANG MENYAYAT-NYAYAT. Di bawah tulisan, bersandar satu kanvas besar sedang dicorat-coret Gilang Ramadhan Ruslan.

“Ini artisannya Mas Farid. Tulisan besar itu Gilang yang bikin. Coba lihat, sama, kan, font tulisan dia dengan semua font di karya-karya Mas Farid yang lain?” beber Sigit, pemandu dadakan yang menemani saya menikmati karya-karya Sirin Farid Stevy.

“Once Upon a Time Nyantrik in Absurdum” (Farid Stevy X Gilang Ramadhan Ruslan) adalah karya yang langsung membetot perhatian dan membuat saya betah berlama-lama memandanginya, mengaguminya. Di mata saya, karya ini tidak hanya matang secara visual, tapi juga mahiwal alias nakal secara gagasan: konsep dan konten yang berkesesuaian.

Umumnya, artisan atau pembantu seniman rupa jarang disebut (apalagi ditampilkan) dalam sebuah pameran. Ini malah diberi ruang. Saat saya mengabari Kurt D. Peterson mengenai karya tersebut, seniman kelahiran Nebraska, Amerika Serikat (1982) yang tengah meriset hubungan seniman dan artisan di Indonesia ini memberi respons hangat.

“Saya pikir ini adalah pendekatan yang sangat menarik dan jujur. Sikap artistik yang berani.”

“Once Upon a Time Nyantrik in Absurdum” sengaja dibuat dan dipamerkan sebab circa 2006-2008, Farid Stevy adalah artisannya Wedhar Riyadi. Di masa nyantrik itu pula jika Wedhar melakukan pameran, Farid dilibatkan tidak hanya sebagai artisan, pembantu, tapi juga diberi kesempatan untuk menampilkan lukisannya sendiri.

Sarat Kolaborasi

Ditilik-tilik lebih jauh, semua karya yang ditampilkan Farid merupakan potret sekaligus rangkuman dari perjalanan kreatifnya sebagai seniman. Nyaris semua judul karya yang ditampilkan diberi keterangan “In Absurdum”, menegaskan bahwa proses berkesenian Farid Stevy seolah tak lepas dari keabsurdan.

“Makna absurd di sini lebih pada ketidakjelasan pola laku berkeseniannya, terkadang Farid menggunakan pola industri mapan desain komersial, terkadang juga melompat pada pola bentuk seni dengan benda-benda temuan, hingga akhirnya cukup moncer ketika menjadi penulis sekaligus vokalis untuk band bentukannya: FSTVLST,” tulis Arsita Pinandita, kurator pameran, dalam catatan kuratorial “Hati-Hati Hidup Bercanda Gak Main-Main”.

Untuk perkara desain komersial, karya berjudul “The Good and The Bad Print: Propaganda in Absurdum” bolehlah dikemukakan. Kontennya, dua meja disusun serupa huruf L, dan di atasnya sejumlah mesin printing dipajang. Lebih dari sekadar pajangan artistik, karya yang menunjukkan sisi lain Farid sebagai pegiat industri kreatif ini membuka ruang transaksional antara pengunjung dan peserta pameran. Pengunjung yang ingin mendapatkan kaos-kaos bertuliskan “aneka teks propagandis” bikinan Farid Stevy yang diproduksi The Good and The Bad Print bisa langsung membelinya di situ.

Farid Stevy

Once Upon Time Nyantrik in Absurdum. (Tirto.id/Zulkifli Songyanan)

Pada “Oh Bahasa in Absurdum”, Farid menampilkan sebuah papan tulis hitam berukuran 120 cm x 90 cm yang dipenuhi guratan kapur: Sibuk utarakan wacana/dalam liga banal retorika belaka/Sibuk perdebatkan agama/Seakan-akan pernah magang di surga/berwujud sempurna/mengkilat tanpa noda/Nampak bijaksana/seakan moralnya nir cela. Di bawah tulisan tergurat sebuah nama dan titi mangsa: Wibowo Dwi Jadmiko, 2022.

Wibowo Dwi Jadmiko adalah guru Bahasa Indonesia Farid Stevy di SMP 1 Playen, Gunung Kidul. Dari Wibowo, Farid menabalkan kecintaannya terhadap kata-kata dan Bahasa Indonesia. Itulah sebabnya, dalam karya-karya Farid aspek bahasa atau diksi, wording, terbilang dominan.

“Mas Farid mengajak Pak Bowo berkolaborasi di pameran ini, syukurlah beliau mau. Mas Farid memberikan beberapa lirik yang dia tulis, Pak Bowo memilih teks ini—lirik lagu 'Vegas' karya Fstvlst—lalu mengguratkannya di atas kapur. Secara visual, karya ini seperti materi pelajaran bahasa Indonesia,” sambung Sigit.

The Good and The Bad Print Propaganda

The Good and The Bad Print Propaganda in Absurdum. Foto/Dok. Panitia DCDC Yogyes in Absurdum aja

Setelah menyaksikan tiga karya Farid yang disebut di atas, barulah saya ngeuh bahwa delapan dari sepuluh karya yang ditampilkan Farid memang sarat kolaborasi. Sedangkan dua sisanya, “Resan in Absurdum” dan “Kronik in Absurdum”, sepenuhnya dibuat Farid seorang diri. Dengan komposisi semacam itu, pendekatan yang dilakukan Farid terbilang cukup kolosal untuk sebuah pameran seni rupa yang lazimnya menampilkan karya seniman sebagai individu tunggal.

Pada sesi Creative Sharing di hari kedua yang menghadirkan semua peserta pameran—Agan Harahap, Bonnie Hermansyah, Pidi Baiq, dan Farid Stevy—Farid bahkan mengajak 13 orang untuk naik ke atas panggung, terdiri atas orang-orang yang dia libatkan dalam pamerannya kali ini, termasuk Asto Puaso, ayah Farid.

"Reklame in Absurdum” karya Farid Stevy X Asto Puaso tak kalah unik. Asto adalah pembuat reklame untuk perusahaan otobus. Lewat pekerjaan ayahnya, Farid yang duduk di bangku SMP mulai mengenal kuas, interpretasi teks pada sebuah medium, dan tentu saja seni komersial.

“Reklame adalah mulabuka kawah candradimuka seni rupa bagi Sirin Farid Stevy. Reklame pulalah yang kemudian mengantarkan Sirin Farid Stevy menempuh studi di Jurusan Desain Komunikasi Visual di Institut Seni Indonesia,” ungkap Arsita.

Penghormatan buat Mbah Sirin Tersayang

Satu dari tiga karya berjudul “Reklame In Absudum” bertuliskan AGEN BUS MALAM SANTO NGOMYANG AC-NON AC (60 x 95 cm), dibikin dari cat duko di atas papan seng—Duco Paint on Zinc Board. Di bawah judul besar itu tertera sejumlah nama tempat, lazimnya trayek bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP). Bedanya, tempat-tempat itu bukan sekadar trayek, tapi lokasi-lokasi yang erat kaitannya dengan proses kreatif atau punya ikatan emosional dengan Farid Stevy.

Reklame in Absurdum

Reklame in Absurdum. (Tirto.id/Zulkifli Songyanan)

Dan seperti halnya “Once Upon a Time Nyantrik in Absurdum”, di karya ini Farid hanya memberikan brief, sedangkan eksekusinya dikerjakan oleh sang ayah.

“Di bawah SANTO NGOMYANG itu trayekku jalan-jalan bersama Sigit di Jakarta, beberapa jam sebelum sampai venue Pestapora. Tiba-tiba saya mengalami sedikit 'kebelandaan' dalam rute itu,” ungkap Farid, merujuk rute trayek bertuliskan: Pancoran-Manggarai-Matraman-Stovia-Raden Saleh-Kwitang-Pasar Senen-Monas-Harmoni-Glodog-Mangga Dua-Sunda Kelapa.

Adapun mengenai Santo Ngomyang, Farid menjelaskan bahwa itu merupakan panggilan kesayangan buat kakeknya, Mbah Sirin. Syahdan, semasa hidupnya Mbah Sirin merupakan orator dan propagandis organisasi yang rajin berpidato di mimbar atau memimpin rapat—di samping melakukan ‘kampanye’ atau sosialisasi tentang organisasi lewat peran Petruk yang dimainkannya saat bermain wayang orang.

“Dalam bahasa Jawa, ngomyang atau omyang artinya bicara sendiri, bicara terus tanpa henti. Beberapa berpendapat, gaya bicara tokoh Petruk adalah ngomyang,” kata Farid.

Penghormatan Farid kepada Mbah Sirin juga menginspirasi lahirnya “Enam Lima is (bukan in—red) Absurdum”. Dalam karya yang dikerjakan Farid bersama Faith in Speculations 1965 (FIS 1965) ini, narasi-narasi getir dan hangat mengenai Peristiwa 1965 ditampilkan dengan estetis dalam kain putih panjang yang berjuntaian di salah satu sudut langit-langit ruangan.

Enam Lima

Enam Lima is Absurdum. (Tirto.id/Zulkifli Songyanan)

Secara teknis, “Enam Lima is Absurdum” dibuat teman-teman FIS 1965 dengan mengumpulkan cerita-cerita mengenai pengalaman atau pengetahuan dari siapa saja terkait Peristiwa 1965. Cerita yang terhimpun kemudian ditulis ulang oleh Farid di atas bentangan kain. FIS 1965 juga menyediakan sebuah tautan yang di dalamnya terdapat semacam peta interaktif sehingga pengunjung pameran bisa mengetahui sebaran narasi-narasi itu, baik lokasi maupun tanggalnya.

“2 November 1965. Jadi saya meninggalkan Semarang dan pergi ke Ambarawa untuk menemui dr. Djayus yang bekerja di rumah sakit setempat. Saya bertanya kepadanya bagaimana saya bisa menyelamatkan diri. Dr. Djayus membawa saya ke tukang gigi dan mencabut sembilan gigi dalam tiga hari. Jadi wajah saya akan berubah sehingga orang-orang tidak akan mengenal saya lagi. Ibu Marni,” bunyi salah satu narasi yang ditampilkan Farid Stevy X FIS 1965.

Seperti halnya Ibu Marni dan jutaan warga Indonesia lainnya yang hilang atau terampas hak-haknya lantaran Peristiwa 1965, Mbah Sirin yang giat mengajak warga Gunung Kidul untuk melek organisasi adalah ternyata seorang korban juga. Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo sudah mengakui bahwa Peristiwa 1965 merupakan salah satu pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia.

Di akhir pameran, Farid yang sampai larut malam masih dikerubungi para penggemar tampak selow meladeni permintaan foto bersama yang seolah tak habis-habis itu. “Baru kali ini aku pameran gak laku tapi hati bahagia sekali,” ungkapnya.

Sukses menggelar DCDC Yogyes in Absurdum di JNM Bloc, Yogyakarta, produser kegiatan Henry Rusli menyebut kegiatan serupa dengan tajuk DCDC Bdg: Iyes in Absurdum bakal digelar di Ikopin Jatinangor pada 17-19 Maret 2023.

Selain Pidi Baiq dan Farid Stevy, seniman yang tampil dalam pameran yang dikuratori Agung Hujatnikajenong dan Arsita Pinandita ini adalah Ahmad Oka, Ajeng Pratiwi, Alga Indria, Antoni Restu Aji, Arian13, Etza Meisyara, Erwin Koboy, Hendra Priyadhani, Lara Marino, Nasirun, Satria Nurbambang, Riono Tanggul Nusantara, Soni Irawan, Sir Dandy, Tegar Ajiwibowo, dan Tisna Sanjaya.

Baca juga artikel terkait SENI RUPA atau tulisan lainnya dari Zulkifli Songyanan

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Zulkifli Songyanan
Editor: Nuran Wibisono