Menuju konten utama

Data Stok Beras Jadi Masalah Tahunan Kementan dan Kemendag

Data stok beras menjadi persoalan tahunan Kementan dan Kemendag sehingga diperlukan data yang lebih kredibel.

Data Stok Beras Jadi Masalah Tahunan Kementan dan Kemendag
Buruh memanggul karung berisi beras pesanan konsumen di salah satu agen beras, di Pasar Baru, Bekasi, Jawa Barat, Senin (15/1/2018). ANTARA FOTO/Risky Andrianto.

tirto.id - Kepala Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf memaparkan bahwa data stok beras masih menjadi polemik tahunan antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan.

Syarkawi melanjutkan, solusinya yakni Badan Pusat Statistik (BPS) perlu segera menerbitkan data yang lebih kredibel. Sehingga, dapat menjadi rujukan baik bagi pelaku usaha maupun pemerintah.

“Tadi BPS menyebutkan, mudah-mudahan Agustus akan muncul data produksi menggunakan metode dan estimasi lebih baik,” ujar Syarkawi di kantor KPPU Jakarta pada Senin (15/1/2018).

Berikutnya, lanjut Syarkawi, persoalan tahunan juga terjadi di hulu. Itu terkait tata kelola pertanian mulai dari pemupukan, penggilingan, packaging, pemasaran, dan sebagainya.

Polemik itu, menurutnya menjadi titik krusial yang perlu diperhatikan sebelum komoditi beras turun ke pasaran hingga konsumen atau end user dengan disparitas harga yang tinggi dari yang dijual petani.

Selanjutnya yang tak kalah penting yakni soal kebijakan pemerintah untuk melakukan stabilisasi harga dan pasokan beras.

Syarkawi menilai saat ini pemerintah hanya mengandalkan harga eceran tertinggi (HET) beras medium sebagai satu-satunya instrument yang menjalankan stabilitas harga. Menurutnya pemerlintah perlu memperhatikan dan menemukan instrument lainnya.

Ia mengungkapkan bahwa saat Bulog yang berperan sebagai penyaluran beras sejahtera (rastra) mampu memberikan efek stabilisasi harga beras.

“Tapi sekarang, diganti jadi e-voucher dan menghilangkan peran Bulog untuk melakukan stabilisasi,” terangnya.

Sedangkan Pengamat Pertanian Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bustanul Arifin menyatakan terkait HET saat ini adalah masa transisi, karena menurutnya kebijakan ini terhitung masih baru, belum cukup optimal penerapannya dalam stabilisasi harga dan ketersediaan untuk beras medium yang umum dikonsumsi.

“Perlu pengelolaan secara serius masa transisi, kejutan yang ada perlu ditambah dengan kebijakan yang lebih baik lagi,” kata Bustanul.

Kebijakan ditetapkan pada September 2017, kemudian Oktober, November, diungkapkannya mulai ada gejolak pergeseran produksi dari beras medium ke beras premium. Tidak sedikit perusahaan beras yang mengalihkan produksinya dari medium menjadi beras premium.

“Beras medium jadi agak langka karena banyak perusahaan mengarah kepada produksi beras premium. Jadi, secara lambat laun harga merangkak naik dari September sampai hari ini sangat amat besar,” ucapnya.

HET beras diatur berdasarkan zonasi. Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, Bali, NTB dan Sulawesi dianggap sebagai wilayah produsen beras, sehingga harga beras medium yang ditetapkan sekitar Rp9.450 per Kg. Sementara untuk wilayah lainnya yang membutuhkan ongkos transportasi, harga dilebihkan Rp500 per Kg.

Baca juga artikel terkait IMPOR BERAS atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Yantina Debora
Editor: Yantina Debora