tirto.id - Presiden Jokowi Widodo belum lama ini mengumumkan susunan Kabinet Indonesia Maju untuk periode kedua masa kepemimpinannya. Posisi Menteri Kesehatan kali ini dijabat oleh Letjen TNI (Purn.) Dr. dr. Terawan Agus Putranto. Lima tahun sebelumnya, posisi tersebut dipegang oleh kalangan sipil.
Dalam sejarah Indonesia, Terawan bukan orang militer pertama yang menjadi Menteri Kesehatan. Pada masa Revolusi, kalangan militer juga pernah menjabat posisi ini, yakni dr. Darma Setiawan. Sosok ini adalah salah seorang mantan KNIL yang ikut menandatangani ikrar kesetiaan kepada Republik.
Kisah ini bermula pada Oktober 1945 saat Didi Kartasasmita datang ke Jawa Tengah dengan membawa kertas. Ia mencari satu persatu koleganya sesama tentara KNIL untuk membubuhkan tandatangan kesetiana kepada Republik.
Didi singgah di Yogyakarta, Salatiga, Ambarawa, Semarang, dan kota-kota lainnya di Jawa Tengah. Setelah menyambangi seorang pensiunan Kapten KNIL yang bernama Bagoes Holan Soemodilogo di Ambarawa, Didi kemudian mendatangi Darma Setiawan di Semarang.
“[Darma Setiawan adalah] seorang dokter mantan opsir yang usianya di bawah saya. Saya kenal baik dengannya," ucap Didi dalam memoarnya yang bertajuk Didi Kartasasmita: Pengabdian Bagi Kemerdekaan (1993:115).
Sejumlah bekas perwira KNIL yang menandatangani ikrar kesetiaan tersebut tersebar di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jakarta. Mereka kemudian menduduki pelbagai posisi penting di markas besar tentara di Yogyakarta yang awalnya dipimpin oleh Mayor Oerip Soemohardjo. Meski demikian, dokter Darma Setiawan tidak termasuk ke dalam barisan perwira TKR yang bermarkas di Yogyakarta.
Menteri, Gerakan Bawah Tanah, dan Diplomat
Ketika Sutan Sjahrir menjadi Perdana Menteri sejak November 1945, Darma Setiawan diangkat sebagai Menteri Kesehatan.
“Ia (Darma Setiawan) menjabat sebagai Menteri Kesehatan dalam Kabinet Sjahrir I, II, dan III,” tulis dokter Soeharto dalam memoarnya Saksi Sejarah: Mengikuti Perjuangan Dwitunggal (1984:18). Artinya, ia menjabat posisi tersebut sampai tahun 1947.
Sjahrir dan Darma Setiawan punya satu kesamaan, yakni gemar memantau perkembangan Perang Pasifik. Mereka sangat percaya bahwa Jepang tidak akan memenangkan perang tersebut. Menurut dokter Soeharto, Darma Setiawan mengikuti berita luar negeri secara tidak langsung, tapi lewat informasi yang disampaikan kawannya yang aktif di gerakan bawah tanah anti-fasis Jepang.
Sebagaimana Sjahrir, demi kerahasiaan, ia tak pernah menyebutkan nama-nama kawannya yang aktif di gerakan bawah tanah. Rahasia itu ia pegang teguh, meskipun kepada orang Indonesia seperti dokter Soeharto yang dekat dengan Sukarno.
Darma Setiawan lahir lahir pada 3 September 1911. Menurut keterangan dokter Abdul Halim dalam Di Antara Hempasan dan Benturan: Kenang-kenangan Dr. Abdul Halim, 1942-1950 (1981:15), ia punya darah campuran Jawa dan Bengkulu.
“Ia (Darma Setiawan) memiliki ijazah Arts (kedokteran) dari Geneeskundig Hoogeschool (sekolah tinggi kedokteran) di Jakarta tahun 1938. Antara 1938 dan 1941, ia menjadi Officier van Gezondheid (perwira kesehatan) pada KNIL (Koninklijk Nederlandsche Indische Leger) alias Tentara Kerajaan di Hindia Belanda) dengan pangkat letnan dan bertugas di Jakarta, Padang, dan Bandung,” tulis dokter Soeharto.
Ketika serdadu Jepang mendarat di Jawa, ia sempat menjadi tawanan perang di Bandung, dan dipekerjakan di rumah sakit tentara oleh militer Jepang di Jakarta. Menurut catatan Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (2018:484), Darma Setiawan bertugas di beberapa rumah sakit di Jakarta dan Semarang.
Ia pernah berkelahi dengan tentara Jepang di sebuah rumah sakit di Jakarta, sehingga sempat ditahan di Madura dan kemudian pindahkan ke Semarang.
“Karena tidak mau mengangkat sumpah setia kepada Jepang, ia dijatuhi hukuman mati. Tapi akhirnya atas campur tangan Bung Karno, hukuman itu tidak dijatuhkan, bahkan dokter Darma Setiawan dibebaskan,” ungkap dokter Soeharto.
Setelah itu ia sempat menganggur dan sering berkunjung ke rumah dokter Soeharto sambil membantu praktik.
“Dalam masa itu ia sering terbang dengan pesawat yang dikemudikan oleh Almarhum Komodor Abdulrahman Saleh,” imbuh kawannya.
Setelah Kabinet Sjahrir jatuh, Darma Setiawan tidak lagi menjadi menteri. Namun pada akhir tahun 1949 ia menjadi penasihat delegasi Indonesia dalam Perjanjian Roem-Royen dan Konferensi Meja Bundar di Den Haag.
Perannya tersebut membuat ia melanjutkan karier sebagai diplomat di Kementerian Luar Negeri. Jabatan yang pernah ia pegang adalah sebagai Penasihat Kementerian Luar Negeri Indonesia dan Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri. Awal tahun 1950-an, Darma Setiawan menjadi wakil Indonesia dalam sidang umum PBB di Lake Succes dan Paris.
Pada akhir Februari 1953, dalam sebuah acara di Harmoni, Darma Setiawan bercerita pada dokter Soeharto bahwa dirinya akan dioperasi karena penyakit radang usus buntu. Rencananya, setelah operasi ia hendak hadir dalam sidang umum PBB selanjutnya. Namun maut segera menjemputnya para 7 Maret 1953.
Editor: Irfan Teguh