tirto.id - Joko Widodo dan Ma'ruf Amin didukung 10 partai politik. Jumlah itu, tentu saja, jomplang dengan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang hanya ditopang Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat.
Selain partai, faktor popularitas kandidat itu sendiri tentu saja turut mempengaruhi hasil pemilu nanti. Kombinasi antara kerja-kerja politik kandidat dan partai pengusung akan jadi kunci keberhasilan menggaet suara pemilih.
Tapi Ma'ruf Amin seperti hendak membebankan semuanya ke partai pengusung. Hal ini terlihat ketika ia bicara soal apa yang bisa dilakukan partai untuk memenangkan dirinya dan Jokowi.
"Jadi potensi [dari partai] besar," kata Ma'ruf saat menghadiri pengukuhan anggota Forum Komunikasi Relawan Pemenangan Jokowi 2019 (FKRPJ) di Padang, Sumatera Barat, Jumat (8/2/2019). "Tapi kalau hasilnya kecil, ini ada yang tidak beres. Ada yang miss."
Sembilan partai politik yang sejak awal telah menyatakan dukungan ke Jokowi-Ma'ruf adalah PDI Perjuangan, PPP, PKB, Golkar, Nasdem, PSI, Perindo, PKPI, dan Hanura. Belakangan dukungan bertambah dari PBB pimpinan Yusril Ihza Mahendra.
"Jadi 10 partai dengan masuknya PBB. Gimana ini dikonversi menjadi poin elektabilitas," tambahnya.
Koreksi Diri
Pengajar komunikasi politik dari UIN Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, mengatakan ucapan Ma'ruf yang cenderung menyalahkan partai koalisi ketika elektabilitas mereka turun jelas salah. Sebab, seperti yang tadi disebut, ada pula faktor kerja-kerja politik kandidat itu sendiri.
Masalahnya, kata Adi, peran Ma'ruf belum terlalu menonjol, malah cenderung negatif karena dia sering mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial.
"Karena banyak blunder juga pak Ma'ruf selama beberapa bulan terakhir. Apalagi ini pas lagi injury time," kata Adi saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (8/2/2019).
Pernyataan kontroversial Ma'ruf, misalnya, adalah ketika ia mengatakan 'budek' dan 'buta' pada saat berpidato di deklarasi Barisan Nusantara di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Timur, 10 November lalu.
Ma'ruf juga pernah menyebut mobil Esemka akan diluncurkan pada Oktober 2018--padahal itu tak pernah terjadi, setidaknya sampai saat ini.
Adi juga merasa apa yang dikatakan Ma'ruf "tidak elok". Bagaimanapun, kata Adi, Ma'ruf tak akan bisa seperti saat ini tanpa mereka.
"Pak Ma'ruf harus ingat, syarat KPU kalau mau daftar pilpres harus ada partai pengusung sebagai koalisi. Tanpa partai-partai itu, Jokowi-Ma'ruf enggak akan bisa nyapres," tambahnya.
Di sisi lain, Adi juga melihat kecenderungan koalisi yang partainya banyak justru tak banyak memberikan suara.
"Itu contohnya Pilgub DKI Jakarta dan Jawa Barat yang menang, kan, yang koalisinya sedikit. Pak SBY tahun 2004 pun partai pendukungnya hanya tiga. Enggak banyak. Makanya jangan salahkan partai," ujarnya.
Dianggap Penyemangat
Direktur Komunikasi Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Usman Kansong, mengatakan pernyataan Ma'ruf bukan bentuk "cuci tangan" karena dia sering mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial.
"Jangan ditafsirkan macam-macamlah. Seperti mau adu domba dan membenturkan pak kiai dengan parpol saja," kata Usman kepada reporter Tirto.
Bagi Usman, ucapan jagoannya itu masih dalam tahap wajar. Apa yang dikatakan tetua Nahdlatul Ulama (NU) itu malah bisa jadi penyemangat agar partai koalisi lebih giat berkampanye.
"Itu cuma omongan ada yang enggak beres doang. Beliau hanya bilang begitu. Bukan maksud menyalahkan partai," klaimnya.
Lagipula, kata Usman, apa yang ditakutkan Ma'ruf tak akan terjadi. "Logika saja. Harusnya 10 partai bisa tingkatkan elektabilitas," pungkasnya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Gilang Ramadhan