tirto.id - Bakso Pak Khabib adalah bakso yang akrab saya santap saat masih kecil. Khabib mempunyai perawakan unik: badan kekar, rambut ikal mengembang seperti Achmad Albar, biasa memakai sepatu boots seperti yang sering dipakai petani untuk pergi ke ladang, dan topi pandora lebar yang menutupi bagian atas kepalanya. Ciri ini bikin beliau mudah dikenali.
Dengan mendorong gerobak cokelat yang diterangi oleh lampu minyak teplok, Khabib biasa berkeliling kampung di malam hari. Ketukan sendok yang beradu dengan mangkok, menghasilkan suara nyaring seperti alunan provokasi yang semakin menjadi, apalagi jika cuaca sedang hujan.
Karakteristik bakso Khabib ini memiliki kuah pekat, hasil dari rendaman tulang sapi yang dibiarkan tergenang dalam panci kuah, menghasilkan rasa kaldu yang gurih bukan buatan. Baksonya biasa disajikan dengan pilihan mie kuning basah atau bihun, tahu pong yang diiris menjadi beberapa bagian, jumputan seledri, dan bawang goreng.
Biasanya Khabib mengantar bakso dengan baki plastik, yang dibarengi dengan sambal, saos, kecap, cuka, dalam botol plastik kecil. Langkah kakinya yang mendekat dengan sepatu boots seperti suara tentara sedang baris berbaris.
Hal yang menambah unik adalah pilihan sendok cocor bebek stainless steel yang dipakai. Bentuk sendok dengan tekstur lebar tersebut menjadi dukungan yang paripurna saat menghantarkan bakso dan kawanannya diseruput ke dalam mulut, menjadikan kuah yang terangkut lebih banyak, dan menghasilkan aftertaste yang kemepyar.
Tentu, menikmati bakso Khabib buat saya adalah hal yang istimewa. Selain karena rasanya, untuk hitungan keluarga kami, hidangan lima porsi bakso yang disantap untuk seluruh keluarga itu masuk kategori sajian mewah. Jadi, tidak sembarang waktu saya bisa menyantapnya.
Karena jarang menyantap itulah, sekalinya saya bisa menikmatinya, ketika Khabib menghidangkan sajian baksonya lengkap dengan printilan sambal, saos, kecap, dan cuka di atas baki, saya memasukkan semua unsur dalam botol tersebut dalam satu mangkok, dan menghasilkan warna merah kehitaman yang keruh. Saya merasa saat itu, printilan pelengkap tadi adalah penambah kekuatan rasa. Semakin lengkap, semakin nikmat.
Setelah saya dewasa, ternyata sadar hal itu tak perlu saya lakukan. Ini karena saya menonton Bondan Winarno dalam tayangan wisata kuliner. Di salah satu episodenya, ketika menyantap bakso Gallant 999, di bilangan Sunter Jakarta Utara, Bondan berpesan: saat menikmati bakso, yang pertama dilakukan adalah resapi kuahnya sekian seruputan, tanpa campuran apapun dulu, jangan langsung tergoda untuk menambahkan sambal, misalnya. Penjelajah kuliner tersebut mengungkapkan, cara menguji bakso yang lezat adalah saat kuah yang diseruput di awal tanpa campuran macam-macam, sudah terasa meyakinkan.
Hal yang menjadi kesinambungan dari rentetan bakso pak Khabib, adalah warung mbak Surti. Warung sederhana yang letaknya di dekat SD saya sekolah dulu. Warung dengan jajanan sekolahan, dan salah satu menu andalan yang sering cepat ludes saat jam istirahat adalah mie kopyok.
Mie kopyok adalah versi lite dari bakso, dengan porsi yang lebih mini, dan jelas dengan sajian yang lebih irit; hanya mie kuning basah, seledri, tahu kering, dan kuah. Yang membuat mie kopyok mbak Surti ini istimewa, karena beliau adalah istri dari Khabib.
Dan bisa dipastikan tentu saja, rasanya tidak jauh dengan rasa bakso jualan suaminya, minus bulatan-bulatan daging sapi menyerupai bola ping pong, tentu saja. Namun itu tidak jadi soal, toh rasa kuah identik sama, dan itu kuncinya.
Mie kopyok mbak Surti saat itu, seperti menjadi pelampiasan dari bakso pak Khabib yang tidak setiap saat bisa dinikmati.
Bakso dan Ragamnya
Menelisik bagaimana sejarah bakso bermula, adalah sebuah kisah tentang kasih sayang seorang anak kepada ibunya. Salah satu versi cerita populer adalah: pada masa Dinasti Ming (1368-1644), Meng Bo yang tinggal bersama ibunya di Fuzho, Cina, sangat ingin memasak daging yang disukai ibunya. Namun, karena usia yang sudah renta, gigi ibunya sudah tidak mampu lagi mengunyah daging. Meng Bo lantas berpikir bagaimana caranya memasak daging yang lembut sehingga bisa dimakan oleh ibunya, maka terciptalah bakso yang konon terinspirasi dari penganan lunak sejenis mochi yang dibuat bulat dan ditumbuk sampai halus.
Bakso dalam bahasa Hokkien berarti daging giling, dan merujuk kepada daging babi, tapi pada perkembangannya di Indonesia, bakso mengalami penyesuaian dengan dibuat dari daging sapi, ayam, atau ikan.
Dalam keyakinan beberapa warga keturunan Tionghoa di Indonesia pun, bakso juga sering menjadi bagian dari hidangan pada pesta-pesta perkawinan. Bentuk bakso yang bulat melambangkan bulatnya kesepakatan dalam rumah tangga yang akan dibina. Bakso menjadi simbol bulatnya sebuah harapan, supaya pasangan nantinya tidak sering cekcok.
Di Indonesia sendiri, bakso mempunyai beberapa mahzab besar. Ada gagrak Wonogiri dan Solo, yang bisa dikatakan dua yang paling populer di Indonesia. Memiliki ciri khas yang mirip pada kuahnya yang berkaldu, dan pembedanya hanya masalah kepekatannya saja. Bakso Solo lebih keruh dibanding Wonogirian, karena biasanya menggunakan kaldu daging sekaligus lemak dalam campuran kuahnya. Dan bakso Khabib cenderung mengikuti mahzab besar ini.
Ada juga bakso Malang yang seacara varian isian lebih beragam. Jenis bakso goreng, pangsit goreng, yang menjadi satu dengan tahu, siomay, mie kuning atau bihun, dan lain-lain. Beberapa rumah makan bakso Malang, bahkan menyajikannya dengan model prasmanan.
Ragam berikutnya, ada juga bakso ala Tasik yang seperti mewakili area Jawa-Barat, dan biasanya memiliki kuah yang lebih ringan, dengan tambahan kikil berserta tauge, yang membuatnya berbeda.
Dalam khazanah kuliner nusantara, bisa dikatakan bakso memiliki kasta yang populer. Saking populernya, di era tahun 90-an, ada lagu “Tukang Bakso” yang dinyanyikan penyanyi cilik, Melisa. Lagu yang diproduksi Gajah Mada Records, dengan sampul kaset penyanyinya berpose bersama pelawak kenamaan era itu, S. Bagio.
Lagu tukang bakso itu juga seperti menjadi artefak sejarah tentang harga semangkok bakso di awal 90-an dulu;
Satu mangkuk saja, dua ratus perak
Tidak pake saos, tidak pake sambel, juga tidak pake kol
Potongan lirik itu bikin saya mikir. Bakso dari daerah manakah yang menambahkan kol? Dulu saya sempat iseng mencari tahu di manakah asal bakso dengan tambahan kol tersebut. Apakah memang benar ada, atau hanya sebatas kebutuhan imbuhan lirikal semata pada lagu?
Hingga kemudian misteri soal “bakso pakai kol” tersebut terjawab, saat saya membaca buku Trocoh karya Budi Warsito. Misteri itu terkuak, ketika awalnya penulis mengunggah foto sampul kaset Tukang Bakso ke forum diskusi daring seputar rilisan musik. Hingga kemudian salah satu kawan penulis menyampaikan, di daerah Kridosono – Yogyakarta, ada warung bakso yang sudah puluhan tahun mempertahankan ciri khas irisan kol dalam mangkok baksonya; bersama mie, meatball alias si baksonya sendiri, irisan tahu, bakso goreng, dan tetelan.
Apakah bakso model Kridosono tersebut yang dulu menjadi langganan Melisa, atau tambahan kol memang iseng saja dimasukkan ke dalam lirik lagu? Itu menjadi persoalan lain. Setidaknya, satu pertanyaan saya yang menggelayut tentang bakso pakai kol sudah terjawab, dan membuat saya lega.
Misteri berikutnya, adalah soal pasangan pak Khabib dan mbak Surti di awal cerita tadi, pasangan suami istri yang olahan mie bakso, dan mie kopyoknya saya gemari. Karena masih menyimpan satu pertanyaan, siapa di antara mereka yang mempunyai ide membuat kuah lezat tersebut. Khabib sendiri kah, atau dari mbak Surti.
Hingga terbesit niat hati ingin mengunjungi warung mbak Surti di dekat SD saya dulu, ingin berbincang langsung dengan mereka saat kemarin mudik, sekaligus menikmati mie kopyok, atau baksonya sekaligus. Membayangkan mie kopyok porsi kecil mbak Surti sebagai appetizer, dan bakso pak Khabib sebagai main course-nya.
Sayangnya, saya mendapati kabar ternyata pak Khabib sudah tidak berjualan bakso lagi, sementara warung mbak Surti sudah pindah entah ke mana, tidak berjualan mie kopyok, dan konon berganti berjualan sayur. Menikmati hidangan mie kopyok atau bakso dari pasangan tadi, sepertinya tidak memungkinkan lagi.
Tiba-tiba saya seperti merasa lebih sial dibanding tokoh Tamio Suda, dalam serial The Road to Red Restaurants List. Jika dia melakukan perjalanan untuk mendatangi tempat-tempat makan yang hampir tutup. Saya justru baru tergugah untuk mendatangi tempat makan kesukaan masa kecil dulu yang ternyata sudah tutup.
Penulis: Husni Efendi
Editor: Nuran Wibisono