Menuju konten utama

Dari Detroit, Motown Melawan Diskriminasi Kulit Hitam

Motown tak sekadar label musik: ia adalah simbol politik kulit hitam.

Dari Detroit, Motown Melawan Diskriminasi Kulit Hitam
Logo Motown. FOTO/motownthemusical.co.uk

tirto.id - Sebelum dililit hutang segunung dan dilanda kebangkrutan pada pertengahan 2014, Detroit, sebuah kota yang terletak di Michigan, merupakan pusat industri mobil di AS. Pada dekade 1950-an, kota ini menjadi saksi bagaimana tiga pabrikan besar—Ford, General Motors, dan Chrysler—saling bersaing demi status siapa yang paling digdaya.

Keberadaan tiga raksasa tersebut jelas menguntungkan masyarakat Detroit. Pasalnya, pintu lapangan pekerjaan terbuka selebar mungkin, imbas dari lahirnya banyak pabrik perakitan. Pendeknya, berkat industri mobil yang tengah menggeliat, Detroit menjelma menjadi kota makmur dan mendapat sebutan sebagai “Kota Mobil.”

Namun, hubungan penuh gula itu berubah petaka tatkala kinerja tiga pabrikan mobil tersebut perlahan menurun. Dari yang semula bergelimang kesejahteraan, masyarakat Detroit pun turut kena dampaknya: miskin dan berada dalam gelembung pengangguran massal. Industri mobil yang punya andil membangun kegagahan Detroit, nyatanya justru berbalik memangsanya.

Meski begitu, Detroit tak sekadar menyimpan sejarah yang kelam. Di balik krisis berskala besar yang pernah melanda kota ini, terdapat catatan manis yang akan selalu dikenang publik AS sampai sekarang.

Ia adalah Motown.

Berawal dari Garasi

Cerita keberhasilan Motown, sebuah label rekaman yang membentuk citra musik pop AS era 1960-1970-an, berangkat dari kiprah pemuda lokal bernama Berry Gordy. Kecintaannya terhadap musik telah mendorongnya untuk menerabas setiap batasan yang ada di depan mata.

Gordy tumbuh di lingkungan kelas pekerja. Ayahnya, yang punya bisnis percetakan, sebagaimana ditulis Mick Brown dalam “Berry Gordy: The Man Who Built Motown” yang terbit di The Telegraph (Januari 2016), selalu menekankan kepada Gordy bahwa kerja keras adalah kunci untuk hidup nyaman.

Pada umur 16, ia keluar dari sekolah untuk fokus menjadi petinju profesional. Tapi, setelah melakoni 17 pertandingan, ia menyerah. Dari ring tinju, Gordy bergabung dengan Angkatan Darat semasa Perang Korea meletus. Penghasilan sebagai serdadu yang cukup banyak digunakannya untuk membuka toko kaset jazz. Toko itu bertahan selama dua tahun. Setelahnya, Gordy bekerja di pabrik mobil Lincoln-Mercury.

Di fase inilah Gordy mulai keranjingan dengan musik. Di sela-sela kesibukannya di pabrik, ia menyempatkan diri menulis satu-dua lagu, yang kemudian ia berikan kepada musisi lokal bernama Jackie Wilson untuk dinyanyikan. Hasilnya tak mengecewakan. Lagu bikinannya didengar banyak orang dan duduk manis di tangga lagu. Meski begitu, ia tidak menerima royalti atas karyanya.

Melihat Gordy bernasib nelangsa, Smokey Robinson, kawan sekaligus pentolan kelompok The Miracles, menyarankannya untuk membikin label rekaman sendiri. Gayung pun bersambut. Gondry akhirnya memutuskan keluar dari pabrik dan mengalihkan perhatiannya kepada musik.

Pada 1959, bermodalkan pinjaman $800 dari keluarganya, Gordy mendirikan Motown—singkatan dari “Motor Town” yang merujuk pada identitas Detroit. Gordy lalu membeli rumah yang berlokasi di 2648 West Grand Boulevard serta mengubahnya menjadi studio rekaman. Di bagian depan, ia memasang papan bertuliskan: ‘Hitsville USA.’

“Tanda ‘Hitsville’ dipasang agar mereka yang masuk ke dalam rumah diharapkan untuk bernyanyi, menari, menulis dan memproduksi lagu, atau mengelola musik,” jelas Gordy dalam otobiografinya, To Be Loved (1994). “Nama itu membuat kami tetap fokus dengan misi yang ada.”

Tak butuh waktu lama bagi Motown untuk terkenal. Setahun usai berdiri, lagu bikinan Gordy yang dinyanyikan Barrett Strong, “Money (That’s What I Want),” meledak di pasaran dan duduk di peringkat 2 tangga lagu Billboard R&B.

Setelah itu, Motown seperti tak bisa dihentikan. The Miracles mencetak jutaan penjualan lewat “Shop Around.” Lagu Marvelettes, “Please Mr. Postman,” menjadi lagu Motown pertama yang nangkring di puncak tangga lagu. Kesuksesan Motown terus berlanjut dengan kehadiran Supremes dan The Temptations yang menguasai chart selama lima minggu berturut.

Keberhasilan tersebut turut meningkatkan pemberitaan mengenai mereka. Pada 1967, misalnya, majalah Fortune menulis bahwa kemampuan Gordy dalam membangun perusahaan “sangatlah canggih.” Nama Motown semakin berkembang. Mereka mulai melakukan ekspansi sampai luar Amerika.

Karena faktor itulah, pada awal 1970-an, Motown memindahkan kantornya ke Los Angeles. Di LA pula karya-karya yang kelak menyabet status klasik seperti What’s Going On (1971) serta Innervisions (1973) lahir. Kendati pindah, kantor lama mereka di Detroit tetap dipertahankan dan dijadikan museum.

Filosofi Motown sedikit-banyak terilhami pengalaman Gordy sewaktu kerja di pabrik mobil. Ia ingin meramu lagu sebagaimana sebuah mobil dibentuk di pabrik: cepat, efisien, bisa menarik banyak pendengar, namun tidak melupakan kualitas. Gordy tetap menerapkan standar mutu dalam setiap lagu yang dirilis Motown.

Proses kreatif di Motown melibatkan satu tim yang solid. Selain Gordy dan Robinson, ada Norman Whitfield, Nickolas Ashford, serta Valerie Simpson. Tapi, lapor Time, yang punya pengaruh besar adalah trio Eddie Holland, Lamont Dozier, serta Brian Holland. Ketiganya bisa dibilang arsitek di balik munculnya lagu-lagu bernas Motown.

Jon Landau, dalam “The Motown Story: How Berry Gordy Jr. Created the Legendary Label” yang dipublikasikan Rolling Stone (1971), menjelaskan bahwa Holland-Dozier-Holland—sebutan mereka—telah mendefinisikan, memperluas, serta menguraikan apa yang disebut sebagai “Motown Sound.” Hampir 90 persen rekaman yang dikeluarkan Motown dalam rentang 1965 sampai 1967, memiliki karakter ini.

Ciri “Motown Sound”, tulis Landau, dapat dilihat seperti berikut: melodi canggih, perubahan akord yang seringkali tak bisa ditebak, pola drum empat-ketukan tanpa henti, penggunaan paduan suara ala gereja, penyanyi dengan vokal pop dan gospel, serta kemampuan mumpuni para session player (James Jamerson, ambil contoh).

Karakter Motown Sound tersebut mewarnai setiap karya yang dikeluarkan musisi di dalamnya. Dari Smokey Robinson, Supremes, The Temptations, Diana Ross, Marvin Gaye, Jackson 5, sampai Stevie Wonder.

Gordy mengakui bahwa karakter yang dibawa Motown sejalan dengan tujuan awalnya yang ingin menjadikan musik sebagai bahasa universal dan dapat dinikmati siapa saja—apa pun latar belakangnya.

“Aku ingin lagu untuk orang kulit putih, kulit hitam, Yahudi, polisi, dan perampok. Aku ingin semua orang menikmati musik yang aku buat,” tegasnya.

Tapi, perjalanan Motown tak selamanya mulus. Kontrol total yang diambil Gordy atas setiap aspek karier para artis—sebagai pemilik label, publisher, dan manajer—seringkali menyebabkan konflik internal. Konsekuensinya, banyak pilar Motown yang memutuskan cabut seperti Kim Weston, Mary Wells, Diana Ross, dan Holland-Dozier-Holland. Hengkangnya mereka tak jarang dibarengi dengan tuntutan royalti.

Motown berusaha bertahan. Namun, usaha itu akhirnya berhenti pada 1988 ketika Gordy menjual kepemilikannya di Motown ke label besar MCA dan perusahaan investasi Boston Ventures senilai $61 juta.

Infografik Artis Artis Motown

Infografik Artis Artis Motown. tirto.id/Fuadi

Motown dan Politik

Ketika Motown berdiri, situasi sosial-politik di AS tengah panas. Segregasi rasial, yang ditujukan kepada komunitas kulit hitam, menjadi pemandangan yang lazim dijumpai. Keadaan tersebut mendorong lahirnya gerakan hak sipil yang menentang segala bentuk diskriminasi. Dan Motown bukanlah pengecualian.

Berdirinya Motown pun sebetulnya sudah menjadi sikap politik tersendiri. Pasalnya, saat itu, industri rekaman di AS mayoritas didominasi orang-orang kulit putih. Sebelum Motown ada, hanya ada dua perusahaan rekaman yang dimiliki orang kulit hitam: Duke di Houston dan Vee-Jay di Chicago. Keduanya fokus pada musik-musik blues dan gospel.

Maka, saat Motown berdiri, dan kemudian sukses besar, Gordy seperti menampar muka orang-orang kulit putih. Gordy membuktikan bahwa kelompok kulit hitam bisa bertaji dan berdikari. Kulit hitam tak sekadar identik dengan sejarah perbudakan maupun citra seorang kriminal.

Selama eksis, Motown tak menutup mata atas keadaan yang terjadi di Amerika. Akan tetapi, sejak awal Gondry memilih memakai pendekatan yang “halus” dalam memperjuangkan hak-hak sipil masyarakat kulit hitam. Motown, misalnya, tak segan memasang sosok kulit putih dalam sampul album musisinya. Selain itu, mereka juga merekrut pria kulit putih bernama Barney Ales untuk menduduki kursi kepala divisi penjualan.

Dari segi karya, Motown juga menolak merilis lagu-lagu yang bermuatan politis. Alasannya, menurut Gordy, lagu-lagu politis bisa “membatasi daya jelajah” lagu bersangkutan. Dan ini jelas bertentangan dengan misi Gordy ketika mendirikan Motown: menjadikan musik sebagai bahasa universal. Maka, tak heran bila lagu-lagu Motown banyak berkisah tentang cinta dan patah hati.

Namun demikian, bukan berarti Motown abai dengan materi politis. Anika Keys Boyce, dalam “”What’s Going On": Motown and the Civil Rights Movement” (PDF, 2008), menjelaskan bahwa pada Agustus 1963, Motown merilis album bertajuk Great March to Freedom yang berisikan rekaman pidato tokoh gerakan kulit hitam tersohor, Martin Luther King Jr.

Apa yang dilakukan Motown kemudian ditanggapi dengan kritik yang cukup keras, terutama dari komunitas kulit hitam sendiri. Motown dinilai mengambil jarak dengan aktivisme serta lebih mementingkan keuntungan perusahaan semata.

Tapi, semua berbalik ketika kerusuhan meletus di Detroit pada 1967. Boyce, masih dalam studinya, menjelaskan bahwa kerusuhan didasari faktor kelas dan kepemilikan properti antara kulit putih dan hitam. Jalanan Detroit berubah panas. Kobaran api menyelimuti kota. Orang-orang menjarah toko. Saat kerusuhan meletus, dua artis Motown, Martha Reeves dan Vandellas, habis melangsungkan konser di Teater Fox.

Amuk massa di Detroit membikin Motown berani menyuarakan sikap politisnya. Gordy tak lagi membatasi arah kreatif para artisnya—setiap musisi dibebaskan meramu karyanya.

Seketika, lagu bernada protes meramaikan katalog-katalog Motown. Edwin Starr menyanyikan lagu berjudul “War” yang ditulis Norman Whitfield dan Barrett Strong. The Temptations merilis “Ball of Confusion” yang menyentil masalah segregasi. Sedangkan Martha Reeves mendendangkan lirik “Dancing in the Street,” yang nantinya dijadikan himne gerakan sipil kulit hitam.

Bahkan, Marvin Gaye, pada 1970, melepas album yang semua lagunya memuat protes terhadap kondisi sosial-politik aktual: Perang Vietnam, narkoba, sampai ketegangan rasial. Album tersebut bernama What’s Going On, dengan lagu-lagu kunci seperti “Save the Children” dan “What’s Happening Brother.”

Motown telah menjadi metafora untuk kehidupan, budaya, dan perjuangan masyarakat kulit hitam pada dekade 1960-an. Motown tumbuh dari kisah cinta dan kehilangan yang kemudian dipakai untuk mendobrak segala hambatan: entah itu musik, sosial, politik, sampai ekonomi.

Pesannya jelas: tak boleh ada lagi pemisahan dalam berbagai bentuk.

Baca juga artikel terkait RASISME atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Politik
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Eddward S Kennedy