Menuju konten utama

Dari Aladin sampai Gadis Bionik: Riwayat Film "Jiplakan" Indonesia

Kerap absurd, tapi menghibur. Berjaya pada 1970-an dan 1980-an, masa kejayaan film Indonesia sekaligus era hak cipta diabaikan begitu saja.

Dari Aladin sampai Gadis Bionik: Riwayat Film
Poster Aladin dan Lampu Wasiat (1980). FOTO/wikipedia

tirto.id - Disney sedang sibuk mempromosikan Aladdin, versi live-action dari film animasi dengan judul yang sama yang sempat populer saat dirilis pada tahun 1992. Tapi adaptasi bukan monopoli Hollywood semata. Indonesia setidaknya pernah tiga kali membuat film yang diangkat dari sastra epik Seribu Satu Malam itu.

Pertama Aladin dengan Lampoe Wasiat (1941) yang disutradarai Wong Bersaudara, lalu di-remake pada tahun 1953 dengan judul Aladin.

Film ketiga menjadi yang paling terkenal, berjudul Aladin dan Lampu Wasiat (1980), diarahkan oleh sutradara Sisworo Gautama Putra. Film merekrut nama-nama besar: Rano Karno sebagai Aladin, Lydia Kandou sebagai Putri Permatasari, dan Jack John sebagai Jin Raksasa.

Premisnya tidak jauh berbeda dengan cerita Seribu Satu Malam. Aladin adalah remaja yatim yang tinggal bersama ibunya dan bekerja sebagai kuli di pasar. Kehidupannya berubah saat menemukan lampu wasiat ajaib, bertemu Jin raksasa, hingga menjalin kisah cinta terlarang dengan Putri Permatasari.

Adaptasi cerita dengan publisitas besar adalah praktik lazim di Indonesia pada era 1970-an dan 1980-an. Selain literatur, film atau serial populer Hollywood lebih sering dijadikan sumber adaptasi.

Pada 1976 film arahan Nawi Ismail bertajuk Tiga Janggo dirilis ke bioskop. Bintangnya Benyamin S, Eddy Gombloh, Mansjur Sjah dan lain-lain. Mereka memparodikan film barat Django yang rilis satu dekade sebelumnya.

Dibintangi Franco Nero, Django menyuguhkan petualangan mantan tentara perang sipil Amerika yang terjebak bentrok antara geng supremasi kulit putih dan tentara militan Meksiko. Django dianggap sebagai karya terbesar sutradara Segio Corbucci serta dipandang sebagai salah satu film koboi paling berdarah-darah.

Di tangan Nawi Ismail, haluan film diubah ke genre komedi. Latarnya saja sudah absurd: dunia koboi di sebuah wilayah antah berantah di Indonesia. Bentrokan ketiga Janggo dengan gerombolan jahat Don Lego, alih-alih menegangkan, justru memancing tawa penonton.

Contoh lainnya CHIPS (1982), film komedi trio Warkop DKI arahan sutradara Haryadi Siswanto yang merupakan singkatan dari Cara Hebat Ikut Penanggulangan Masalah Sosial.

CHIPS diadaptasi dari serial drama-kejahatan CHiPs yang aslinya ditayangkan di stasiun televisi NBC, Amerika Serikat, mulai tahun 1977 hingga 1983. Salah satu bintangnya Erik Estrada. Ceritanya berpusat pada petualangan dua polisi California Highway Patrol (CHP) selama bertugas di jalanan dengan mengendarai sepeda motor.

CHIPS mengambil bahan dasar tersebut, di mana Dono, Kasino, Indro, dan figuran lain memerankan petugas kepolisian yang bertugas menanggulangi masalah-masalah sosial-kriminal di Jakarta dengan mengendarai sepeda motor (dan mobil patroli).

Seragam para pemain dibuat serupa dengan gaya seragam Erik Estrada di serial asli. Genrenya, tentu saja, komedi. Laman FilmIndonesia.or.id mencatat CHIPS sebagai film terlaris kedua di Jakarta pada masa penayangannya. Saking ikoniknya, premis sebagai polisi sosial ditampilkan dalam Warkop DKI Reborn (2016).

Pengamat film Hikmat Darmawan menyatakan kurang tepat jika film-film itu disebut sebagai adaptasi. Pada era 1970-an dan 1980-an ia mengamati istilah yang sering dipakai adalah gubahan sebab kata “menggubah” mengandung unsur kreatif.

Rata-rata perubahan yang terjadi adalah proses melokalkan film gubahan meski premis atau karakternya tetap menjiplak film atau serial asli. Hikmat membecandakannya sebagai proses “lokalisasi”. Artinya ada unsur yang tetap, sebagian lain berubah.

Tarzan Kota (1974) atau Samson dan Delilah (1987), misalnya, ceritanya sepenuhnya lokal. Tapi konsepnya menunjukkan orang yang mempunyai kekuatan luar biasa, yang menjalin hubungan percintaan, dan punya kondisi khas yang membuatnya lemah,” kata Hikmat dalam sambungan telepon, Selasa (28/5/2019).

Kadar kelokalan film gubahan bisa berbeda-beda. Hikmat mencontohkan Kisah Cinta Rojali dan Zuleha (1979) yang mengambil sedikit unsur dasar dari kisah Romeo dan Juliet sementara sisanya lebih banyak menampilkan unsur lokal.

Perubahan genre juga sesuatu yang lazim. Namun, jika diperhatikan, rata-rata film gubahan pada era 1970-an dan 1980-an menyulap genre drama percintaan atau laga-kriminal dari film aslinya menjadi genre komedi.

Persoalannya, perubahan itu pilihan estetik atau pragmatik? Berdasarkan pembacaan sejumlah literatur, Hikmat menjawabnya lebih sebagai pilihan pragmatik sebab memudahkan proses produksi.

“Saat memakai aktor Benyamin S, misalnya, kan gampang dibikin jadi film komedi karena dia pada dasarnya seorang pelawak. Pilihan natural aja, sesuai bahan lokal yang tersedia,” jelasnya.

Manusia 6.000.000 Dollar (1981), misalnya. Kalau mau 100 persen mengangkatnya sebagai fiksi ilmiah, kan, tidak mungkin. Teknologi masa itu belum mendukung, dan saat dijadikan komedi jadi keputusan yang lebih masuk akal,” imbuhnya.

Manusia 6.000.000 Dollar menampilkan trio Warkop DKI. Kisahnya tentang Dono sebagai anggota kepolisian yang mengalami kecelakaan lalu diubah menjadi manusia robot dengan biaya enam juta dolar. Ia mengusut beragam kejahatan, mulai dari pornografi hingga penculikan anak.

Film arahan sutradara Ali Shahab itu digubah dari serial laga-fiksi ilmiah bertajuk The Six Million Dollar Man. Karakter utamanya bernama Kolonel Steve Austin, diperankan oleh Lee Majors. Austin memiliki kekuatan super-human berkat implan bionik dan direkrut oleh badan pemerintah bernama OSI.

Stasiun ABC menayangkannya dari tahun 1974 hingga 1978. Reputasinya bagus. Austin bahkan menjadi ikon budaya pop tahun 1970-an. Produser lalu membikin spin-off-nya berjudul The Bionic Woman (1976-1978) dengan karakter utama perempuan bionik yang diperankan oleh aktris Lindsay Wagner.

Oleh sutradara Ali Shahab The Bionic Woman juga digubah menjadi Gadis Bionik (1982). Eva Arnaz memerankan Rita, perempuan yang diincar oleh Komplotan Kontet. Suatu hari Rita tertabrak mobil jip, terluka parah, tapi dioperasi oleh seorang profesor hingga menjadi gadis bionik pertama di Indonesia.

Hollywood mengenal istilah knockbuster atau mockbuster. Definisinya kurang lebih ialah film yang dibuat dengan maksud mengeksploitasi film yang dengan publisitas besar, baik melalui judul atau isi yang serupa.

Knockbuster kerap dibuat dengan mengandalkan dana minim dan proses cepat demi memaksimalkan profit. Pendeknya, menunggangi popularitas sebuah film blockbuster. Oleh sebab itu kebanyakan knockbuster digolongkan sebagai film kelas B.

Banyak di antaranya yang bertujuan nakal. Tanggal rilisnya sengaja hampir bersamaan dengan film asli. Judul, desain DVD, poster, dan lain sebagainya juga dibikin mirip dengan film asli. Harapannya agar konsumen menonton atau membeli DVD film knockbuster saat sebenarnya berniat menikmati film aslinya.

Infografik Blockbuster

Infografik Blockbuster. tirto.id/Fuad

Indonesia dan negara-negara lain kerap mempraktikkan gubahan film yang mendekati definisi knockbuster. Meski tidak merilisnya bersamaan dengan film asli (biasanya beberapa tahun setelah film populer) jiplakan dari judul, isi cerita, hingga desain seni poster dan DVD-nya tetap terasa kental.

Di Filipina praktik membikin knockbuster marak terjadi sejak era 1960-an hingga kira-kira dekade 1990-an. Popularitas serial Batman memunculkan James Batman (1966) hingga Batman Fights Dracula (1967). Bobo Cop untuk memparodikan RoboCop, Rocky Plus V dari waralaba Rocky, sampai Tataynic untuk Titanic.

“Selain Filipina juga ada di Iran dan India. Misalnya di Hollywood lagi ramai Rambo, muncul Rambo lain versi Afrika. Sama-sama telanjang dada, gondrong rambutnya, pegang senjata. Di India bahkan ada film yang memunculkan adegan nyanyian dan tarian antara Superman dan Spiderwoman,” kata Hikmat.

Lalu, bagaimana dengan isu pelanggaran hak cipta?

Hikmat mengamati produser di Indonesia dan negara-negara lain belum terlalu mengacuhkan hak cipta pada era 1970-an dan 1980-an. Pada saat itu jiplak-menjiplak adalah praktik yang lazim sebab infrastruktur industri tidak mempermasalahkannya.

Meski bebas, bukan berarti tidak ada hukum yang mengatur. Hikmat mengatakan penegakan hukum hak cipta baru benar-benar dijalankan oleh para pembesar Hollywood mulai tahun 1990-an. Sejak itulah film-film gubahan ala knockbuster makin berkurang sebab produser takut disengeketakan ke meja hijau.

“Rezim copyright”, sebut Hikmat, bukan satu-satunya faktor mengapa kini film gubahan dalam bentuk parodi sudah sangat amat jarang ditemui di Indonesia. “Sineas ingin ada peningkatan kualitas juga, lebih melogiskan ceritanya,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Film
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf