tirto.id -
"Udara Kepri berpotensi tercemar asap kiriman, karena berada di antara Kalimantan dan Sumatera," ujar Bhakti Wira Kusumah di Tanjungpinang, Selasa (10/9/2019).
Menurut Bhakti, Sejak Senin (9/9/2019), udara sebagian Pulau Bintan, Kepri, mulai diselimuti kabut asap, terlebih saat pagi dan sore hari.
Asap tersebut berasal dari sejumlah wilayah di Kalimantan dan Sumatera yang timbul akibat kebakaran lahan.
Namun, kata Bhakti, asap yang dalam beberapa hari ini menyelimuti sebagian wilayah Kepri ini lebih dominan berasal dari Kalimantan.
Penyebabnya, angin yang berhembus dari Tenggara ke Selatan membawa asap dari Pulau terbesar di Indonesia ini ke udara Kepri.
"Dari Sumatera juga ada. Tapi lebih didominasi dari Kalimantan," kata Bhakti.
Namun, dari pantauan BMKG Tanjungpinang, kabut asap yang menyelimuti udara sebagian wilayah Kepri sejauh ini masih dalam kategori aman.
"Jarak pandang berkisar antara 5-7 kilometer. Masih aman untuk penerbangan dan transportasi laut," kata Bhakti.
Kebakaran lahan yang terjadi di Kepri belakangan ini, khususnya Pulau Bintan hanya berdampak pada sekitar lokasi kebakaran dan tidak sampai meluas.
Pantauan BMKG pada Senin kemarin, titik kebakaran di Pulau Bintan hanya terjadi satu titik. "Ini asapnya hanya berpengaruh di sekitarnya saja, tidak sampai meluas," ucap Bhakti.
Warga Kena Iritasi Kulit & Mata
"Sejak beberapa bulan terakhir, kasus iritasi kulit dan mata, makin bertambah dan pasien yang datang berobat mengeluhkan gejala yang sama, terasa perih di kulit, dan gatal-gatal," kata dr Maya dari Puskesmas Langsat, Kota Pekanbaru, Selasa (10/9/2019), di Pekanbaru.
Menurut dia, gejala gatal-gatal yang dirasakan pasien lebih karena adanya partikel-partikel dari bahan-bahan yang bakar mengandung bahan berbahaya dan ketika dibawa angin menempel di kulit.
Bagi kulit yang tergolong sensitif, katanya, berisiko mudah mengalami iritasi dan pasien yang berobat terdampak asap di Puskesmas Langsat, Kelurahan Kampung Tengah, Kecamatan Sukajadi, Kota Pekanbaru itu terbanyak.
Sedangkan yang kedua adalah ISPA setelah iritasi mata dan iritasi kulit.
"Untuk pasien iritasi kulit mengalami gejala gatal-gatal pada sejumlah bagian tubuh, menjalar, bahkan susah tidur karena gatal di tubuh harus digaruk sehingga membutuhkan pengobatan segera," katanya.
Pasien iritasi kulit telah diberikan obat CTM atau "chlorphenamine maleate" yang memiliki kandungan lengkap antibiotik dan meransang pasien untuk beristirahat, namun demikian warga diimbau tetap mengonsumsi makanan bergizi, banyak minum air putih, kurangi aktivitas di luar rumah.
Jika masih ada aktivitas di luar rumah, katanya, sebaiknya memakai masker, guna mengurangi risiko makin parah terpapar kabut dan asap. Selain itu, bagi ibu-ibu yang akan menjemur pakain setelah dicuci sebaiknya di dalam rumah saja.
Sebab, katanya, menambahkan kain dijemur di luar rumah berpotensi sejumlah partikel yang dikandung asap dan kabut akan hinggap di kain dampaknya kulit berpotensi iritasi saat pakaian tersebut terpakai atau terhirup dan bisa ISPA.
Resti Dian Putri (49), warga Pekanbaru, mengakui dirinya hingga malam susah tidur, karena sekujur tubunya terasa gatal-gatal sejak siang hari, padahal tidak pernah memakan makanan yang bisa mengakibatkan seperti orang alergi.
"Aneh, saya tidak pernah makan makanan yang bisa membuat alergi seperti udang, ikan asin atau lainnya, tiba-tiba terasa gatal begini, untung cepat dibawa ke Puskesmas sehingga rasa cemas tidak makin bertambah," katanya.
Pekan kedua September 2019, Riau memasuki fase terburuk kabut asap dampak dari karhutla. Kualitas udara di Kota Pekanbaru pada Selasa (10/9/2019), seperti mengulang memori kelam yang pernah melanda wilayah itu pada 2014-2015 silam.
Sementara itu berdasarkan catatan Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, berada pada level sangat tidak sehat, dan ini sangat membahayakan kesehatan.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Agung DH