tirto.id - Berbicara pada sidang pembacaan nota keberatan (eksepsi) atas kasus dugaan suap Irman Gusman, di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (15/11/2016), Yusril Ihza Mahendra sebagai pengacara Irman menyebut KPK genit dalam melakukan pemberantasan korupsi.
"Fakta yang kita lihat, KPK ternyata lebih genit dalam melakukan pemberantasan korupsi. Hampir seperti toko kelontong yang menjual segala hal," kata Yusril seperti dilaporkan Antara.
Menurut Yusril, KPK tidak lagi fokus pada kegiatan untuk mencegah kerugian keuangan negara, tetapi lebih senang dengan pemberitaan heboh dengan dengan liputan media cetak dan elektronik dan dengan penggunaan bahasa yang sarkastis karena telah berhasil melakukan 'penangkapan', yang selama ini dipublikasikan sebagai Operasi Tangkap Tangan (OTT).
Dalam perkara Irman, kata Yusril, KPK pun tidak memberikan waktu kepada kliennya untuk melaporkan pemberian Rp100 juta itu kepada KPK. Padahal, berdasarkan pasal 12 huruf C pemberian dalam keadaan tertentu tidak serta merta masuk dalam kategori suap atau korupsi dan yang harus dilakukan adalah memberikan waktu kepada penyelenggara negara yang menerima gratifikasi tanpa niat untuk melaporkan hadiah kepada KPK dalam waktu 30 hari setelah penerimaan hadiah yang dimaksud.
"Tapi dalam perkara a quo, terdakwa [Irman] tidak mengetahui isi buah tangan dan bahkan Memi dan Xaveriandy tidak menjelaskan isi buah tangan saat menyerahkan bingkisan kepada terdakwa namun oleh KPK dibuat seolah-olah benar adanya menjadi rangkai peristiwa pidana terdakwa dengan niat lebih dulu telah menerima hadiah atau janji dari Memi dan Xaveriandy Sutanto dan mengetahui isi hadiah berisi uang Rp100 juta melalui OTT sehingga terdakwa yang sebenarnya tanpa niat dan isi buah tangan tersebut," ungkap Yusril.
Yusril mencontohkan, Presiden Joko Widodo pun sempat menerima hadiah dari perusahaan minyak milik Rusia Rosneft dan melaporkannya ke KPK.
"Saat itu Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan langkah Presiden Jokowi harus diikuti oleh pejabat negara lainnya padahal pemberian gratifikasi ke Presiden Jokowi itu diberikan secara bertahap melalui Pertamina pada saat kunjungannya ke Rusia pada Mei 2016," ungkap Yusril.
Sebaliknya, kata Yusril, KPK tidak memenuhi hak itu kepada Irman guna melaporkan gratifikasi itu ke KPK.
Menurutnya, hak-hak Irman untuk melaporkan buah tangan harus dihormati dan dipenuhi berdasarkan hukum hanya bila dalam 30 hari tidak menyerahkan bingkisan itu ke KPK, baru KPK dapat mengatakan perbuatan Irman adalah perbuatan tindak pidana, bukan dibuat-buat seolah-olah perbuatan itu benar adanya melalui OTT dan dipublikasikan terdakwa benar-benar menerima gratifikasi secara melawan hukum.
"Tidak adil bagi terdakwa yang menerima bingkisan atau buah tangan tanpa niat dan tidak diberikan waktu dan kesempatan untuk menyerahkan buah tangan ke KPK yang belakangan diketahui uang Rp100 juta," jelas Yusril.
Sedangkan pengacara Irman lainnya, Maqdir Ismail mengatakan bahwa perbuatan yang dilakukan Irman tidak sesuai dengan kewenangan KPK berdasarkan pasal 11 UU no 30 tahun 2002 tentang KPK yang menyatakan bahwa kewenangan KPK terkait (1) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; (2) mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau (3) menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1 miliar.
"Masyarakat baru mengetahui perbuatan terdakwa sebagai 'terduga penerima suap' setelah diumumkan oleh Ketua KPK Agus Rahardjo. Tidak ada kualifikasi mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat dan tidak ada kualifikasi adanya kerugian keuangan negara yang didakwakan kepada terdakwa sehingga penyelidikan, penyidikan atau penuntutan seperti yang dilakukan terhadap terdakwa tidak termasuk dalam tugas yang diberikan oleh UU kepada KPK," kata Maqdir.
Atas eksepsi tersebut, jaksa penuntut umum KPK akan mengajukan tanggapan pada 22 November 2016.
Dalam perkara ini, Irman didakwa berdasarkan pasal 12 huruf b atau pasal 11 No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman minimal 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Sedangkan Xaveriandy dan Memi didakwakan pasal berdasarkan pasal 5 ayat 1 huruf b atau pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP yang mengatur mengenai memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Ancaman hukuman minimal 1 tahun penjara dan maksimal 5 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.
Penulis: Agung DH
Editor: Agung DH