Menuju konten utama

COVID-19 Menginfeksi Kembali Penyintasnya dan Meninggalkan Sakit

Seorang dokter spesialis paru di Jakarta tiga kali terinfeksi COVID-19 dalam rentang satu tahun.

COVID-19 Menginfeksi Kembali Penyintasnya dan Meninggalkan Sakit
Ilustrasi Virus Corona. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Kondisi tubuh Sulistyo Rini, 26 tahun, tak seperti biasanya usai dua kali positif terinfeksi virus Corona atau COVID-19. Ia merasakan sakit berkepanjangan seperti linu di beberapa bagian tubuhnya.

"Sampai sekarang pun saya masih merasakan linu-linu. Tapi setelah [infeksi] kedua, efek dari itu tangan kanan saya enggak kuat angkat berat lama-lama," kata Rini kepada reporter Tirto, Kamis (1/4/2021).

Rini pertama kali dinyatakan positif COVID-19 pada 3 Desember 2020. Ia dirawat selama 10 hari di Rumah Sakit Darurat (RSD) Wisma Atlet, Jakarta Pusat. Saat itu, ia mengalami gejala sedang dari mulai hilang indra penciuman hingga sesak nafas ringan.

Usai dinyatakan negatif COVID-19 berdasarkan hasil tes swab PCR, Rini diperbolehkan pulang. Ia kembali beraktivitas seperti biasa yakni mengajar di salah satu tempat bimbingan belajar.

Meski selama ini Rini mengajar dengan metode daring, tapi mobilitasnya cukup tinggi. Ia masih harus bolak-balik ke kantor dan sesekali ke rumah orang tuanya.

Hingga pada akhir Februari 2021 lalu, sang ayah sakit dan ia harus mengurus semua keperluannya. Belakangan ayahnya diketahui positif COVID-19 lantaran tertular dari tetangga.

Rini yang selalu mendampingi sang ayah ketika sakit harus dites COVID-19 karena bagian dari kontak erat. Benar saja hasil tes swab PCR menunjukkan ia kembali positif COVID-19. Hasil itu diketahui pada 24 Februari 2021 atau 83 hari atau kurang dari tiga bulan saat pertama kali ia dinyatakan positif COVID.

Rini kembali dirawat di RSD Wisma Atlet, namun kali ini ia ditempatkan di blok isolasi khusus bagi orang tanpa gejala (OTG). Meski sebelum dinyatakan positif COVID-19 yang kedua itu, ia mengaku merasakan gejala ringan seperti pegal-pegal dan demam.

Kasus Tiga Kali Reinfeksi COVID-19

Rini bukan satu-satunya orang yang mengalami reinfeksi COVID-19. Rani Rasyidin, dokter spesialis paru yang bekerja di dua rumah sakit swasta di Jakarta bilang beberapa kali menangani kasus reinfeksi virus mematikan tersebut. Ia bahkan mendapati koleganya seorang dokter paru perempuan yang juga adik kelasnya saat jadi mahasiswa kedokteran mengalami reinfeksi hingga tiga kali.

“Dia terkena infeksi pada awal pandemi sekitar awal Maret 2020. Dia kena klaster pertama yang klub dansa. Kemudian terkena lagi pada bulan September (2020), lalu terkena lagi kemarin bulan Februari 2021. Jadi dia dalam rentang setahun terkena tiga kali,” kata Rani melalui sambungan telpon kepada reporter Tirto, Rabu (31/3/2021).

Koleganya itu sempat dirawat di RSUP Persahabatan Jakarta. Kini ia sudah sembuh dan mulai bekerja meski kondisinya belum fit 100 persen. Ia kerap mengalami beberapa gejala long covid.

Mereka yang reinfeksi COVID-19 berdasarkan penelitian, kata Rani, kondisinya lebih buruk dari infeksi sebelumnya. Sebab infeksi COVID-19 yang bergejala sedang hingga berat akan meninggalkan kerusakan, maka ketika infeksi lebih dari sekali maka kerusakan yang ditimbulkan lebih banyak.

“Kalau kasusnya tanpa gejala dan ringan itu bisa sembuh sempurna parunya. Tapi kasus yang sedang dan berat itu kan parunya rusak. Kerusakan itu sebagian besar permanen,” ujarnya.

Kasus-kasus COVID-19 yang memiliki riwayat berat hingga pasien menggunakan ventilator menimbulkan kerusakan yang permanen. Dalam istilah kedokteran, kata Rani, kerusakan paru permanen itu dinamakan fibrosis.

Dokter spesialis paru RSUP Persahabatan, Erlina Burhan mengakui telah menangani beberapa pasien reinfeksi COVID-19. Salah satunya adalah dokter paru yang disebut dokter Rani mengalami tiga kali reinfeksi.

Namun berdasarkan hasil pemeriksaan, dokter paru yang diduga mengalami reinfeksi tiga kali itu, salah satunya terdeteksi resisten positif. Artinya, kata Erlina, infeksi yang sebelumnya masih terdeteksi oleh tes PCR karena masih ada sisa-sisa virus.

“Virusnya masih terdeteksi oleh PCR meskipun kondisinya sempat membaik. Karena memang virus itu masih bisa terdeteksi kalau jumlahnya banyak itu sampai 12 minggu atau 13 bulan. Tetapi tidak ada ada hubungannya dengan infeksius kan PCR itu bisa mendeteksi sisa-sisa virus,” kata Erlina, Rabu (31/3/2021).

Faktor Reinfeksi COVID-19

Menanggapi itu, Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Amin Soebandrio menyebutkan faktor seseorang mengalami reinfeksi COVID-19.

Amin menjelaskan rumusan risiko infeksi virus dapat dihitung yakni virulensi dikalikan dengan dosis dibagi dengan kekebalan. Virulensi sendiri merupakan derajat kemampuan suatu patogen oportunistik untuk menyebabkan penyakit. Kemudian dosis yang dimaksud adalah banyaknya virus yang menginfeksi. Dan kekebalan adalah kemampuan tubuh menghadapi infeksi.

“Jadi kalau kekebalannya tidak cukup ya bisa terinfeksi. Kalau dosis virus tinggi maka mungkin bisa serangan virus bisa melebihi kekebalan yang ada. Yang ketiga virulensi yakni mungkin virusnya lebih ganas atau dia tidak dikenali oleh antibodi misalnya terjadi mutasi varian,” kata Amin kepada Tirto, Kamis (31/3/2021).

Ancaman varian baru yang dapat meningkatkan risiko penularan itu, kata Amin, ada di Indonesia. Ada tiga varian yang dikatakan lebih cepat menular yakni B117, D614G, N439K.

Menurut Amin, itu semua yang menyebabkan risiko infeksi menjadi meningkat, bisa satu kali atau lebih. “Intinya selama keseimbangan itu terganggu ketika kekebalan dikalahkan oleh virulensi dan dosisnya maka itu bisa terjadi reinfeksi,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait PENYINTAS COVID-19 atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Gilang Ramadhan