tirto.id - Baru-baru ini, sebuah narasi terkait vaksinasi COVID-19 bagi anak-anak tersebar di media sosial Facebook. Narasi tersebut disampaikan oleh akun Facebook bernama Tifauzia Tyassuma (tautan) pada unggahan tertanggal 14 September 2021.
Akun Tifauzia menyebutkan bahwa vaksinasi COVID-19 menyebabkan ratusan dokter mengalami Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) berat, sementara puluhan diantaranya meninggal pasca vaksinasi.
Akun tersebut juga menyebutkan hal sama terjadi pada ibu hamil dan kelompok komorbid. Dimana ratusan orang komorbid disebut mengalami KIPI berat dan puluhan orang dari kelompok itu meninggal karena vaksinasi.
Lalu, Tifauzia juga menyebutkan bagaimana vaksinasi mulai ditujukan pada anak usia 5 hingga 12 tahun. Padahal, menurut akun ini, risiko anak mengalami COVID-19 hanya 0,001 persen. Sementara tingkat fatalitas kasus/case fatality rate sebesar 2 persen. Ia juga menyebutkan tidak ada laporan anak-anak berisiko terhadap varian Delta dan Mu virus Corona.
Sejak dipublikasikan pada 14 September lalu, unggahan Tifauzia telah dikomentari sebanyak 108 kali, dibagikan hingga 210 kali, dan mendapat hingga 994 reaksi.
Benarkah klaim yang disebut pada unggahan ini?
Penelusuran Fakta
Tirto mengecek akun Facebook Tifauzia Tyassuma yang membagikan informasi terkait vaksinasi anak. Akun tersebut memberi keterangan dirinya sebagai “Dokter Medis, Ilmuwan, dan Penulis, di bidang Nutritional Epidemiology dan Integrative Health” di deskripsi profil.
Kami juga mengecek nama Tifauzia lewat mesin pencari Google. Hasil pencarian mengarahkan kami pada berita Galamedia tanggal 30 Agustus 2021. Saat itu, dr. Tifauzia Tyassuma, M.Sc disebut sebagai epidemiolog klinis dan berkomentar bahwa setiap negara sebaiknya diberi otoritas untuk memilih vaksin yang akan digunakan.
Selain itu, dari laman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, diketahui bahwa dr. Tifauzia sempat menjadi penanggung jawab Center of Clinical Epidemiology & Evidence Based Medicine (CEEBM). Artikel Republika tahun 2020 juga menyebutnya sebagai mantan direktur eksekutif dari Clinical Epidemiology dan Evidence Based Medicine Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo.
Di luar itu, tim riset Tirto juga mencari informasi mengenai vaksinasi COVID-19 untuk anak melalui Health Desk yang disediakan oleh Meedan, sebuah lembaga nonprofit yang membangun software dan inisiasi untuk memperkuat literasi digital dan jurnalisme global. Health Desk sendiri dijalankan oleh ahli-ahli di bidang kesehatan.
Meedan, melalui Digital Health Lab mereka, pada Juli 2021 bekerjasama dengan perusahaan teknologi Facebook untuk membantu pemeriksa fakta dalam mengecek misinformasi di bidang kesehatan. Sebagai informasi, Tirto sendiri memang merupakan pemeriksa fakta pihak ketiga yang bekerjasama dengan Facebook.
Menurut informasi yang dipublikasikan Meedan pada 21 September 2021, anak-anak berusia 12 tahun ke atas sekarang memenuhi syarat untuk mendapatkan vaksin COVID-19. Namun, pada saat ini, para ahli menyarankan bahwa vaksin harus terlebih dahulu diberikan kepada populasi berisiko tinggi, seperti orang di atas 65 tahun dan orang dengan kondisi kesehatan tertentu atau masalah kesehatan serius lainnya.
Jika kelompok-kelompok berisiko ini telah divaksinasi, vaksin dapat didistribusikan pada populasi yang lebih luas, dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti tingkat risiko epidemiologis serta tantangan dan kapasitas sistem kesehatan.
Kemudian, menurut Meedan, meski ada banyak negara yang telah memvaksinasi penduduk mereka dengan jumlah signifikan, tapi negara-negara ini masih mengalami kasus COVID-19 yang tinggi serta tingkat rawat inap yang juga tinggi, karena adanya varian Delta virus penyebab COVID-19 yang lebih menular dan juga karena sebagian besar populasi penduduk yang belum divaksinasi.
Salah satu cara beberapa negara untuk menangani hal ini, seperti dikutip Meedan, adalah dengan meningkatkan perlindungan pada kaum muda, utamanya anak-anak berusia 12 tahun. Bahkan, Uni Emirat Arab dan Republik Rakyat Tiongkok telah memvaksinasi anak-anak dari usia 3 tahun ke atas dengan vaksin Sinopharm.
Namun, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), anak-anak dan remaja cenderung memiliki gejala yang lebih ringan dibanding orang dewasa ketika terjangkit COVID-19, sehingga vaksinasi untuk anak dan remaja dianggap tidak lebih mendesak dibanding vaksinasi untuk orang-orang yang lebih tua, orang-orang yang memiliki kondisi kesehatan kronis, dan tenaga kesehatan, dengan pengecualian anak-anak dan remaja yang termasuk pada kelompok yang berisiko lebih tinggi untuk terjangkit COVID-19.
Organisasi ini juga menyatakan bahwa bukti-bukti yang lebih banyak dibutuhkan terkait penggunaan berbagai jenis vaksin COVID-19 untuk anak-anak, untuk membuat rekomendasi umum mengenai vaksinasi COVID-19 untuk anak.
Namun, menukil dari Jurnal Nature, sebagian anak yang terinfeksi COVID-19 masih berpotensi untuk terkena gejala yang parah dan berkepanjangan. Gejala itu bahkan masih ada berbulan-bulan setelah pasien dinyatakan negatif, yang membuat para dokter anak mendorong vaksinasi COVID-19 untuk anak.
“Memang tidak sebanyak orang dewasa, tetapi banyak juga anak-anak yang sakit,” kata Adam Ratner, spesialis penyakit menular pediatrik di New York University.
Di Indonesia sendiri, menurut Dosen Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran dr. Rodman Tarigan, pemerintah saat ini masih memprioritaskan vaksinasi COVID-19 untuk anak usia 12 tahun ke atas. Meski demikian, ke depan, anak dengan usia di bawah 12 tahun juga akan mendapatkan vaksinasi.
“Untuk anak umur 3–11 tahun masih menunggu hasil kajian untuk menilai keamanan dan dosis dengan jumlah subyek yang memadai,” kata Dosen Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran dr. Rodman Tarigan, Sp.A(K), M.Kes., pada acara sharing session “Vaksin pada Anak” pada Sabtu (11/9/2021, seperti dilansir dari laman Universitas Padjadjaran.
Baca artikel CNN Indonesia "KPAI Catat 350 Ribu Anak Terpapar Covid-19, 777 Meninggal" selengkapnya di sini: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210812154321-20-679586/kpai-catat-350-ribu-anak-terpapar-covid-19-777-meninggal.
Download Apps CNN Indonesia sekarang https://app.cnnindonesia.com
Selanjutnya terkait klaim bahwa anak-anak hanya berisiko terinfeksi COVID sebanyak 0,001 persen, hal ini terbukti keliru sebab menurut data Satgas COVID per 7 Oktober 2021, anak berusia 0-5 tahun yang positif COVID-19 di Indonesia ada sebanyak 2,9 persen dari total jumlah kasus positif COVID-19 dan usia 6-18 tahun sebanyak 10,1 persen. Adapun persentase anak usia 0-5 tahun dan 6-18 tahun yang meninggal masing-masing sejumlah 0,5 persen.
Memang, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga mencatat bahwa 350 ribu anak di Indonesia terpapar COVID-19 sepanjang 2020, menukil dari laporan CNN Indonesia. Sebanyak 777 di antaranya meninggal sejak awal pandemi virus corona.
"Kalau kita melihat situasi COVID-19 yang menghantam keluarga anak-anak kita itu cukup banyak," ujar Ketua KPAI Susanto dalam Rapat Koordinasi Nasional secara daring, Kamis (12/8/2021).
Data ini juga dikonfirmasi dan dilengkapi melalui laporan New York Times, yang menyebut bahwa ratusan anak Indonesia dilaporkan meninggal karena COVID-19 pada Juli 2021, kebanyakan berusia di bawah 5 tahun.
Ketua Perhimpunan Dokter Anak Indonesia, Dr. Aman Bhakti Pulungan, menyatakan bahwa ada 150 anak yang meninggal di minggu tanggal 12 Juli 2021 saja. Laporan itu juga menyebut bahwa berdasarkan laporan dari para dokter anak, kasus positif COVID-19 pada anak-anak pada periode itu berjumlah 12,5 persen dari kasus positif nasional, meningkat dari bulan-bulan sebelumnya.
“Angka kematian kita tertinggi di dunia,” kata Dr. Aman seperti dinukil dari artikel tersebut.
Selanjutnya, terkait klaim puluhan orang yang meninggal karena KIPI vaksin, sebetulnya terdapat 30 kasus meninggal dunia setelah vaksinasi COVID-19, menurut Ketua Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komnas KIPI) Hindra Irawan Safari.
Namun, Komnas KIPI mempertegas bahwa kejadian tersebut bukan akibat langsung dari vaksinasi.
"Yang meninggal dari (setelah divaksin) Sinovac ada 27 dan 3 setelah AstraZeneca. Dari 27 itu, 10 karena terinfeksi COVID-19, 14 orang karena penyakit jantung dan pembuluh darah," kata Hindra dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX yang disiarkan kanal YouTube DPR RI, Kamis (20/5/2021).
Kemudian, 1 orang karena gangguan fungsi ginjal secara mendadak dan 2 orang karena diabetes melitus dan hipertensi tidak terkontrol. Kesimpulan itu didapatkan setelah Komnas KIPI melakukan pemeriksaan laboratorium, rontgen, dan CT-scan.
Kemudian, Hindra mengatakan, untuk vaksin AstraZeneca terdapat 3 kasus meninggal dunia usia vaksinasi. Satu karena radang paru-paru, satunya karena positif COVID-19 setelah divaksin, dan satunya meninggal mendadak/dead on arrival.
Kesimpulan
Berdasarkan penelusuran fakta yang telah dilakukan, tidak benar anak-anak Indonesia di bawah 12 tahun memiliki risiko 0,001 persen terinfeksi COVID-19. Menurut data Satgas COVID per 7 Oktober 2021, jumlah kasus positif pada anak 0-5 tahun nyatanya berjumlah 2,9 persen dari total jumlah kasus positif COVID-19 di Indonesia, sedangkan pada usia 6-18 tahun sebesar 10,1 persen.
Selain itu, pada saat kasus COVID-19 melonjak tinggi di Indonesia pada Juli lalu, ratusan anak menjadi korban. Pada saat ini, vaksin COVID-19 untuk anak usia 3-12 tahun belum diprioritaskan, namun perlindungan terhadap kelompok usia ini juga tak boleh diabaikan begitu saja.
Sementara, terkait KIPI, Komnas KIPI juga telah mempertegas bahwa kejadian tersebut bukan akibat langsung dari vaksinasi.
Dengan demikian, unggahan akun Facebook Tifauzia Tyassuma bersifat salah sebagian (partially false).
Tirto mengundang pembaca untuk mengirimkan informasi-informasi yang berpotensi hoaks ke alamat email factcheck@tirto.id atau nomor aduan WhatsApp +6288223870202. Apabila terdapat sanggahan ataupun masukan terhadap artikel-artikel periksa fakta maupun periksa data, pembaca dapat mengirimkannya ke alamat email tersebut.
Editor: Farida Susanty