tirto.id - Cerpen merupakan kependekan dari cerita pendek. Ia adalah bagian dari cerita prosa fiksi. Lazimnya, cerpen berkisah tentang problematika dan alur hidup manusia, meskipun dalam bentuk alegori atau perumpamaan binatang atau tumbuhan. Berikut ini pengertian dan contoh cerpen dalam karya sastra.
Secara reflektif, cerpen dianggap sebagai cermin kehidupan, representasi dari realitas sehari-hari manusia. Dalam teorinya, ia merupakan bagian dari seni literasi yang relatif pendek. Lumrahnya, cerpen dibaca sekali duduk, serta mengandung permasalahan yang tidak terlalu kompleks.
Sesuai dengan sifatnya yang pendek, cerpen biasanya dibaca dalam waktu singkat. Orang-orang yang menunggu keberangkatan kereta, penumpang yang duduk di bus transportasi umum, atau sekadar orang ingin membunuh waktu merupakan konsumen umum cerpen.
Untuk ukuran panjangnya, tidak ada patokan pasti terkait jumlah halaman atau jumlah kata dalam suatu cerpen. Cerpen Umar Kayam atau Budi Darma yang dimuat di majalah Horison merupakan cerita panjang. Sementara itu, sebagian cerpen Agus Noor yang terbit di Koran Tempo atau Jawa Pos merupakan cerpen yang sangat pendek dan singkat.
Sebut saja, cerpen bertajuk Enam Cerita (2014) yang merupakan kompilasi 6 kisah berbeda-beda digabungkan untuk dimuat di rubrik cerpen Koran Tempo. Setiap cerita hanya terdiri dari tiga atau empat paragraf, bahkan ada yang hanya satu paragraf. Tren menulis cerita yang sangat singkat dan pendek ini dikenal sebagai fiksi mini.
Akan tetapi, tanpa memperdulikan panjang-pandeknya sebuah cerpen, yang paling penting, menurut Harris Effendi Thahar dalam Kiat Menulis Cerita Pendek (1999) cerpen harus ada yang dikisahkan, tokoh, dan karakter tokoh.
"Tidak penting tema dan alurnya, yang penting enak dibaca dan mengesankan, karena bagus bahasanya," tulis Thahar (hlm. 5).
Selain itu, pembeda cerpen dengan karya prosa yang lain adalah koflik yang diangkat cenderung fokus dan terpusat pada satu masalah. Sementara itu, novel lumrahnya mengandung konflik yang kompleks dan karakter tokoh yang beragam, sedangkan cerpen tidak. Konfliknya terfokus pada satu masalah dan diulik secara tajam.
Pengertian Cerita Pendek dan Contohnya
Cicilia Ingga Kusuma dalam Modul Bahasa Indonesia: Cerita Pendek menuliskan pengertian cerita pendek sebagai karangan singkat mengisahkan sepenggal kehidupan tokoh yang penuh pertikaian, peristiwa yang mengharukan atau menyenangkan, dan mengandung kesan yang tidak mudah dilupakan.
Secara umum, cerita pendek terdiri dari dua unsur pembentuk, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik terdiri dari tema, tokoh, penokohan, alur, latar, sudut pandang, amanat, dan gaya bahasa.
Sementara itu, unsur intrinsik terdiri dari latar belakang pengarang, latar belakang sosial, dan latar belakang budaya.
Semua unsur itu saling melengkapi untuk membentuk cerpen yang utuh dan ideal secara teoritik.
Berikut ini contoh cerita pendek bertajuk Berburu Kijang (2018) ditulis Abdul Hadi yang pernah dimuat di Koran Tempo.
Cerpen ini bercerita tentang peburuan kijang di Kalimantan. Fokus cerita terletak di tokoh utama, Siman yang dibayang-bayangi peristiwa perburuan yang dianggap sebagai simbol keberanian di kalangan masyarakat Kalimantan kala itu.
Contoh Cerpen: Berburu Kijang
Karya Abdul Hadi
Di sudut rawa-rawa gelap berlumpur tempat buaya bersembunyi dan setiap waktu dapat menyerang mangsanya, mereka terpojok: Siman, ayahnya, dan dua pemuda dusun. Mereka saling berdempet membentengi diri.
Dada Siman berdentam seumpama kendang yang dipukul-pukul kala pentas adat. Berjingkat-jingkat menghalau duri, kedua belah kakinya gemetar, doyong tak terperi. Tampias hujan memercik kesana kemari memecahkan fokusnya. Bau daun busuk bercampur kotoran hewan liar menyeruak dilontarkan angin. Sosok buas bertanduk abu-abu kusam di hadapan mereka meraung. Kakinya memekar, siap menerjang. Di belakangnya, anak-anak kijang muda dengan tanduk yang masih lunak menguik. Induknya marah, habitatnya terganggu. Ia merasa bahwa rombongan Siman telah mengancam nyawa anak-anaknya.
Ayah Siman yang paling senior di rombongan tersebut tampak terengah-engah. Wajahnya pias. Tangannya yang liat semakin erat mencengkram tombak. Senapan yang tersampir di bahunya sudah tak lagi berguna. Dua peluru terakhirnya telah lepas menghantam angin akibat gesitnya kijang menghindarkan diri. Sisa mesiu yang ia bawa telah basah karena hujan sehingga tak dapat lagi digunakan. Bajunya yang sobek tersangkut gugusan pohon menampakkan bahunya yang berkilat-kilat disaput keringat. Dalam situasi ini, ia tampak terpuruk dan menyedihkan. Dua pemuda dusun yang turut berburu juga menyedihkan, salah satunya sudah meringis ingin menangis, berkali-kali menyebut nama leluhurnya karena ketakutan. Pemuda satunya lagi mengusap dahinya yang basah oleh peluh, ujung celananya panas karena air kencing.
Samar-samar, geraman kijang itu semakin tajam. Kakinya yang kukuh, mantap menghunjam tanah gambus yang becek karena tetes hujan.
Binatang ini benar-benar marah.
Sepuluh menit lalu, mereka berjumlah lima orang. Pemuda paling berani di kelompok tersebut dengan gesit mengalihkan perhatian kijang beranak yang mereka jumpai. Ia benar-benar tiada menduga bahwa seekor kijang akan seganas ini. Rencananya, ayah Siman akan memuntahkan dua peluru dari sudut yang berbeda, sementara pemuda pemberani memasang diri sebagai umpan di sudut yang lain.
Awalnya, rencana mereka berjalan dengan mulus, sampai kijang laknat menjadi muntab, lazimnya binatang betina, ia menjadi berkali lipat lebih ganas untuk melindungi nasib anak-anaknya. Tak terelakkan, ia lincah berbalik, biasanya seekor kijang liar akan berlari semburat karena diburu, pontang-panting kabur dari serangan senapan, tapi kali ini ia berbalik marah, dua tembakan peluru yang tidak terduga lolos menghantam angin, binatang ini memutar tubuh, mengacungkan tanduknya yang tajam ke arah si pemuda pemberani.
Dengan dua serudukan, teriakan si pemuda sudah habis. Entah ujung tajam tanduk mengenai sisi tubuhnya yang mana, tapi sudah cukup membungkam mulut Siman dan ayahnya. Kijang itu terus mendorong korbannya ke semak-semak, menyisakan jejak darah di tanah yang dilalui jejak kaki binatang yang mengamuk dibuali amarah.
Setelah puas menghantam lawan, binatang ini menggeleparkan kepalanya, membuang sobekan baju pemuda tadi yang tersangkut di sela-sela tanduknya. Merah bekas lelehan darah. Ia kini menatap empat orang sisa lawannya. Siman tergugu. Baru kali ini ia ikut berburu, langsung dihadapkan dengan tragedi yang tak ia inginkan.
Semuanya memang serba tidak masuk akal. Bagaimana mungkin hanya karena urusan malu, Siman ikut terperosok dalam dunia perburuan yang ia benci. Jangankan menombak kelinci hutan atau membidik burung dengan senapan angin, menyembelih ayam saja Siman tidak tega. Entah kenapa, ia selalu merasa bahwa hewan-hewan itu patut untuk dikasih-sayangi. Tak sampai hati ia menyakiti binatang.
“Bocah bencong,” Marto, abang Siman, kerap mengolok-oloknya. Cemooh itu Siman dengar ketika ia tidak tega menyembelih seekor ayam yang disuruh emak untuk lauk makan malam.
Saudara-saudara Siman kerap mengolok-oloknya dengan sebutan bencong karena ia terlampau sering kasihan. Tubuhnya juga kecil dan lemah mirip anak perempuan. Wajar kalau Siman tak kuat memikul karung padi, meskipun karung terkecil sekalipun. Ia merasa sering tak berdaya di antara saudara-saudaranya yang lain. Karena tidak tahan dengan olok-olokan itu, akhirnya Siman memutuskan ikut ayahnya berburu. Sedikitnya membuktikan kalau ia juga jantan dan tak selemah seperti yang diejek saudara atau teman-temannya.
Di suku Kutai Dalam, sebelum Islam datang dibawa pedagang-pedagang dari Jawa dan India, ritual transisi remaja laki-laki untuk kemudian beralih menjadi dewasa adalah dengan berburu. Para bocah laki-laki yang dianggap sudah tumbuh besar dilepaskan di hutan untuk menangkap sendiri hewan buruan mereka. Ini dilambangkan sebagai simbol kemandirian. Apabila ia mampu bertahan di dalam ganasnya hutan, apalagi pulang dengan membawa hewan buruan untuk keluarganya, anak laki-laki tersebut dianggap sudah dewasa dan siap untuk dikawinkan.
Budaya pendewasaan berdasarkan kepercayaan adat tersebut berakhir sampai akhirnya Islam datang. Betapa mudah menjadi laki-laki. Atas ajaran dari punggawa masjid, masa transisi dari remaja untuk dianggap dewasa hanyalah dengan mimpi basah. Akil balig. Apabila anak-anak sudah disunat, ia sudah dianggap remaja. Tak ada lagi budaya buru-berburu. Ibu-ibu dusun bersyukur sejadi-jadinya oleh kemudahan ini. Mereka tak perlu lagi khawatir memikirkan nasib anak-anak mereka yang dilepas di hutan tanpa tahu bagaimana kelanjutan nasibnya. Memang, terkadang ada anak laki-laki lemah yang hingga berhari-hari tak kunjung pulang. Seminggu dua minggu, hingga sebulan. Betapa cemas keluarga yang ditinggalkan. Apabila sekian lama tidak juga kembali, biasanya para pencari rotan menemukan tubuh anak sial bin celaka tersebut dari bau mayat yang sudah membusuk.
Akan tetapi kini, berburu bukan lagi keharusan. Seperti anak-anak Nias tidak lagi harus ikut tradisi lompat batu untuk dianggap dewasa. Waktu telah bergulir, zaman telah mengalir. Meskipun demikian, berburu bagi orang-orang Kutai Dalam masih merupakan pekerjaan bergengsi. Berburu adalah lambang keberanian.
Namun, semuanya berbeda gara-gara olokan bedebah ini, pikir Siman. Kenapa kejantanan anak laki-laki harus dikaitkan dengan darah dan kekuatan? Siman mereka-reka sumpah serapah paling kasar di mulutnya. Bisa jadi, detik-detik berikutnya adalah akhir dari hidup seorang bocah dusun di hadapan seekor kijang marah yang gagal mereka buru.
***
Berburu KijangPermukiman orang-orang Kutai Dalam terletak di dataran rendah di Kalimantan, sebuah daratan yang unik karena setiap tahun akan terjadi banjir besar yang menenggelamkan ratusan desa di dekat muara. Dengan suka cita, banjir akan disambut oleh warga sebagai anugerah dari Yang Maha Kuasa. Bagaimanapun juga, karena bertempat di dataran rendah, meluapnya sungai Mahakam dipandang sebagai berkah alam. Lebih aneh lagi apabila banjir tidak datang. Bahkan jika terlambat sedikit saja, orang-orang Dayak Lama akan melarung sajen sebagai sembah-tawar kemurkaan Dewa-Dewi mereka.
Oleh sebab itu, apabila kau bertandang ke pedalaman Kalimantan, lalu lintas utama akan kaujumpai menggunakan kapal dan perahu sepanjang lajur sungai. Di bibir-bibir aliran, berderet-deret pemukiman penduduk menghadap ke aliran air. Air sungai Mahakam inilah yang setiap tahunnya akan meluap merendam rumah-rumah penduduk. Sebagai jalan keluar, orang-orang dusun akan membangun rumah-rumah panggung sebagai tempat tinggal. Pasak-pasak tinggi menyangga lantai hingga rumah tampak tinggi. Gunanya, bila banjir melanda, air tidak akan menyentuh permukaan rumah, terbebas dari binatang-binatang liar: ular berbisa, ikan toman gergaji, hingga buaya-buaya badas.
Itulah, awal musim hujan, saat banjir belum jauh meninggi, masa-masa perburuan menjadi pencaharian utama penduduk. Nelayan-nelayan akan memasang jaring, pemburu burung memasang jerat di wilayah rawa-rawa dan dahan pohon, pencari kulit ular bergeriliya memasang perangkap, hingga penombak ikan mulai menyiapkan perkakas untuk memburu ikan di malam hari. Tidak ketinggalan; orang-orang Dayak Benuaq, Iban, hingga Kenyah akan menyisir pemukiman demi berburu babi.
Di sanalah, di salah satu wilayah berhutan, Siman terjebak dalam perburuan celaka tersebut. Sebagai anak bungsu ingusan, ia belum diperbolehkan menenteng senapan rakitan. Bekalnya hanya sebilah tombak kecil dan mandau tumpul yang belum sempat diasah karena bangun kesiangan. Kini, di hadapannya kijang beranak dengan mata semerah saga mendengus menatap mereka.
Siman menahan nafas. Mandaunya tidak berguna lagi, pun tombaknya juga. Bukan karena jarak terlampau dekat atau terlalu jauh. Tulang-tulang Siman serasa dilolosi satu persatu dari tubuhnya. Tenaganya terasa lepas, rapuh, dan tidak berdaya.
Salah satu alasan musim perburuan dilakukan di kala banjir masih muda karena saat-saat itulah waktu binatang-binatang hutan keluar dari persembunyian mereka. Mereka akan keluar demi mencari tempat yang lebih tinggi: babi-babi menggelosor dan keluar dari palung mencari tempat tinggal baru, demikian juga kijang, ayam hutan, kerbau, pelanduk, dan kelinci. Bukan hanya binatang-binatang buruan saja, binatang liar pun terusik: ular piton, sanca, kobra, beruang madu, dan macan dahan mencari habibat yang cocok demi menyelamatkan diri dari air dan berebut tempat nyaman dengan hewan-hewan lain.
Dan perkiraan mereka salah, ayah Siman dan tiga pemuda dusun yang lebih berpengalaman berburu telah menyiapkan diri menghadapi binatang buas liar: beruang madu atau terkaman macan dahan, belitan ular, hingga ramuan penawar racun jika salah-salah terpatok ular berbisa. Namun semuanya sia-sia karena mereka malah dihantam oleh buruan mereka sendiri. Siman bertanya-tanya, merekakah pemburu atau merekalah yang diburu? Semuanya serba terbalik dan di luar nalarnya lagi.
Kini, kijang itu masih berada di hadapan mereka. Siman menoleh cepat ke samping, ke arah jajaran pohon-pohon dan semak-perdu yang setinggi dadanya. Ia memperkirakan laju kecepatan lari dan menyelamatkan diri dari terkaman kijang kurang ajar itu. Dapatkah ia kabur dari situasi mencekik ini? Siman benar-benar tidak dapat menahan diri. Sementara ayah dan dua pemuda itu masih terkencing-kencing ketakutan, Siman melesat bagai peluru ke arah berlawanan. Ia tentu tidak mengira, tidak lagi sempat berpikir tentang kijang marah yang mereka buru; tidak sempat berpikir bagaimana jika kijang itu mengejarnya. Ia hanya tahu satu-satunya cara purba untuk selamat: kabur dan lari sekencang-kencangnya.
Siman tentu tidak menyangka bahwa hewan liar akan demikian peka terhadap gerik kejut dan tiba-tiba. Bisa jadi hal ini luput dari perhatiannya sehingga tepat ketika ia melesatkan kakinya, melompati semak dan jajaran perdu, kijang gila tersebut menolehkan kepalanya ke arah Siman. Tidak lama, dengan dengus dan lenguh keras, ia melompat dan menerjang ke arah bocah celaka tersebut. Sekejap saja, dengan mudah binatang marah tersebut menyusul laju lari Siman. Celakanya lagi, karena tunggur kayu di depannya, baju Siman tersangkut, hingga ia pun menggelepar terjatuh. Tanpa butuh waktu lama, kijang tersebut menerjang dan menghantam tubuh Siman. Sekali sentak, ia menghunjamkan tanduknya yang tajam dan bercabang ke arah punggung bocah tersebut.
Siman terkapar dan menggelepar, menggapai-gapaikan tangannya, berteriak-teriak, mengaduh kesakitan. Tubuhnya berguncang-guncang dilukai tanduk tajam hewan penuh amarah tersebut. Bajunya memerah oleh darah. Ia demikian gaduh hingga menyadari bahwa ia tidak sedang berada di hutan, tidak sedang berburu, tidak juga memegang tombak, tidak sedang bersama ayah dan dua pemuda dusun.
Dengan dengus yang masih memburu, ia mendusin di tengah malam. Baru kali itu ia begitu dibuali rasa takut yang amat dalam, nafasnya tersengal bagai disumpal oleh gelap malam yang sangat kelam. Sambil terengah-engah Siman merasa bahwa ia telah terbangun dari tidur yang amat panjang, sangat panjang, tak berujung, tak berkesudahan ….
Yogyakarta, Juni 2018
Editor: Abdul Hadi & Iswara N Raditya