tirto.id - Media sosial Twitter sempat diramaikan oleh cuitan seorang influencer sekaligus Youtuber Gita Savitri (@gitasav) karena opininya tentang tidak memiliki anak atau childfree adalah salah satu tips awet muda.
“Not having kids is indeed natural anti aging. You can sleep for 8 hours every day, no stress hearing kids screaming. And when you finnaly got wrinkles, you have the money to pay for botox," tulis @gitasav.
Perlu diketahui melansir kamus Cambridge istilah childfree berarti seseorang yang memutuskan untuk tidak memiliki anak, atau berada di tempat dan situasi tanpa anak-anak.
Banyak netizen atau masyarakat yang tidak sepaham dengan opini tersebut. Beberapa memilih untuk menghargai keputusan pribadi.
Untuk menanggapi isu tersebut, saya coba menelusuri Google Scholar untuk mencari artikel terkait childfree. Salah satu yang saya temukan adalah penelitian Amy Blackstone berjudul “Choosing to be Childfree: Research on the Decision Not to Parent” yang menjabarkan beberapa temuan literatur terkait keputusan childfree atau childlessness.
Studi tersebut menemukan bahwa keyakinan untuk tidak memiliki anak lebih didorong atas keinginan untuk lebih dapat mengaktualisasikan diri dan kebebasan dalam beraktifitas tanpa adanya tanggung jawab untuk membesarkan anak atau tanggung jawab menjadi orangtua.
Menurut penelitian itu, keinginan tersebut timbul sebagai dampak dari lingkungan kerja yang tidak ramah pada individu yang berkeluarga termasuk pada ibu, biaya membesarkan anak yang tinggi, dan ingin terlepas dari stigma sosial masyarakat atas kewajiban memiliki keturunan.
Lebih lanjut, studi oleh Elnara Garaeve dan rekan berjudul “Childfree as a Created Image of Successful Woman in Context of Her Gender Role in the Modern World,” menyimpulkan bahwa tren bebas anak muncul sebagai dampak dari perwujudan seorang wanita sukses di masyarakat modern yang mengambil keputusan untuk tidak memiliki atau membesarkan anak.
Kesimpulan tersebut disampaikan penulis setelah menelusuri karakter-karakter wanita sukses pada beberapa serial televisi barat. Keputusan childfree diambil para karakter karena ada trauma masa kecil, menganggap anak adalah halangan untuk karir dan aktualisasi diri, dan rasa tidak nyaman atas keberadaan anak.
Membesarkan Anak Memang Tidak Murah
Salah satu alasan pasangan suami istri menunda atau memilih tidak memiliki anak adalah karena tingginya biaya membesarkan anak, yang bahkan setelah beranjak dewasa (>18 tahun) masih terus dihidupi oleh orangtua.
Biaya dan kewajiban yang timbul akibat membesarkan anak inilah yang membuat beberapa pasangan tidak memiliki waktu untuk aktualisasi diri atau harus berhenti dan mencari pekerjaan yang lebih “ramah” anak dan keluarga.
Financial Times menjabarkan sebuah penelitian yang mencoba membandingkan biaya membesarkan anak hingga usia 18 tahun tiap negara.
Perlu dicatat, temuan di atas perlu diartikan sebagai berapa kali pendapatan bersih tahunan individu (disposable income) yang diperlukan. Alhasil, meskipun China terlihat berada di posisi dengan nilai tertinggi, namun jika dihitung total biaya belum tentu demikian.
Berdasarkan figur di atas, terlihat bahwa untuk membiayai anak hingga usia 18 tahun di China dibutuhkan anggaran hingga sekitar 16 kali pendapatan bersih per tahun. Dengan asumsi pendapatan bersih China 36.883 yuan dan kurs Rp2.230/yuan, maka total biayanya mencapai Rp1,32 miliar.
Lalu, untuk Korea Selatan, maka anggaran yang diperlukan adalah sekitar 8 kali pendapatan bersih atau setara dengan Rp2,09 miliar. Nilai tersebut didapat dengan asumsi pendapatan bersih 21,77 juta won dan kurs di kisaran Rp12/won.
Di sisi lain, sebuah studi dari Brooking Institute mencoba menghitung biaya keluarga pendapatan kelas menengah untuk membesarkan dua orang anak yang lahir setelah tahun 2015 dengan asumsi tingkat inflasi dari tahun 2021 hingga 2032 berada di level 4 persen. Data yang digunakan berasal dari Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA).
Hasil perhitungan menunjukkan estimasi membesarkan anak hingga usia 17 tahun adalah USD310.605 atau setara Rp4,72 miliar (asumsi kurs Rp15.200). Beban keuangan inilah yang menurut studi menyebabkan pasangan untuk memiliki lebih sedikit anak, pindah ke lingkungan yang lebih murah, atau bekerja lebih lama untuk memenuhi kebutuhan keluarga
Negara Seharusnya Berperan Ringankan Beban Anak
Dalam penelitiannya, Brooking Institute juga menggarisbawahi bahwa biaya membesarkan anak di Amerika Serikat terbilang mahal karena Negeri Paman Sam memberikan bantuan yang lebih minim untuk tunjangan anak, cuti keluarga berbayar, tunjangan penitipan anak, dst.
Alhasil dapat dikatakan bahwa kebijakan fiskal dan moneter yang mendukung, dapat membantu meringankan biaya membesarkan anak, dan mungkin bahkan momotivasi pasangan untuk memiliki anak.
Tabel di bawah ini menunjukkan negara yang memiliki persentase anggaran belanja cukup tinggi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dimana Denmark, Swedia, dan Luxemburg menduduki posisi teratas, dirujuk dari comparethemarket.
Pada tahun 2021, Denmark tercatat memberikan tunjangan berupa cek untuk dua orang anak bagi setiap penduduknya. Selama dua tahun pertama, orangtua akan menerima sekitar USD756 (Rp11,49 juta) per kuartal, yang kemudian perlahan berkurang ke level USD157 (Rp2,39 juta) saat anak berusia 15-17 tahun.
Sementara itu, orang tua di Swedia akan menerima tunjungan sekitar USD151 (Rp2,3 juta) setiap bulannya hingga anak berusia 16 tahun. Tunjangan tersebut kemudian akan diberikan langsung kepada anak saat usianya beranjak 16 tahun.
Kemudian di Luksemburg, penduduk yang memiliki anak akan mendapat bantuan keluarga yang bertujuan untuk memenuhi biaya hidup dan pendidikan hingga anak selesai sekolah atau menyentuh usia 25 tahun. Tunjangan yang didapatkan sebesar USD324 (Rp4,92 juta) tiap bulan per anak, yang bahkan akan naik seiring bertambahnya usia anak.
Di Indonesia, bantuan sosial untuk membantu ibu dan anak terdaftar dalam Program Keluarga Harapan (PKH) yang diberikan pada masyarakat tidak mampu. Merujuk situs Kementerian Sosial, ibu hamil dan balita yang memenuhi syarat dapat menerima tunjangan Rp3 juta pertahun atau sekitar Rp750 ribu per tahapan.
Kemudian terdapat bantuan pendidikan untuk SD sebesar Rp900 ribu per tahun, SMP sebanyak Rp1,5 juta per tahun, dan SMA senilai Rp2 juta per tahun
Di lain pihak, selain bantuan tunai tersebut, hal lain yang dapat meringankan beban orangtua adalah kebijakan cuti melahirkan atau cuti orangtua yang cukup. Di Indonesia, kebijakan cuti melahirkan dengan bayaran gaji penuh bagi ibu adalah 12 minggu. Sedangkan bagi ayah hanya dua hari. Meskipun demikian, beberapa perusahaan memberikan cuti lebih panjang dengan kisaran gaji yang menyesuaikan.
Hal ini sungguh berbeda dengan beberapa negara Eropa yang memberikan cuti berbayar hingga 166 minggu atau lebih dari 3 tahun. Di bawah ini adalah daftar negara dengan cuti berbayar terlama bagi para orangtua yang diriset oleh comparethemarket.
Dari infografik di atas, terlihat bahwa Estonia berada di urutan teratas dengan total 84,4 minggu cuti berbayar dengan gaji penuh, dan total gaji berbayar hingga 166 minggu.
Ibu di Estonia menerima cuti hamil berbayar penuh sebanyak 20 minggu dan ayah mendapat cuti 2 minggu setelah melahirkan. Pada akhir periode tersebut, orangtua kemudian diberikan 62 minggu cuti berbayar penuh tambahan yang dihitung dari rata-rata gaji. Selebihnya, cuti berbayar akan disesuaikan tergantung kebijakan perusahaan.
Lalu di Hungaria, cuti hamil bagi Ibu adalah 24 minggu dengan kompensasi 70 persen dari gaji normal dan ayah hanya mendapat 5 hari yang harus digunakan dalam dua bulan pertama kelahiran.
Selanjutnya pada akhir periode, salah satu orangtua berhak atas cuti tambahan sampai anak berusia 2 tahun, yang dibayar lagi sebesar 70 persen dari gaji normal, atau 70 persen dari dua kali upah minimum harian.
Berdasarkan temuan-temuan di atas dapat disimpulkan bahwa banyak negara maju yang mencoba untuk meringankan beban orangtua dalam membesarkan anak.
Penulis: Dwi Ayuningtyas
Editor: Nuran Wibisono