Menuju konten utama

Charles Simonyi, dari Microsoft Word ke Luar Angkasa

Charles Simonyi merupakan bapak Microsoft Word yang karyanya masih dinikmati oleh para pengguna komputer hingga kini.

Charles Simonyi, dari Microsoft Word ke Luar Angkasa
Charles Simonyi. FOTO/Cubesat

tirto.id - Bjarne Stroustrup, pencipta bahasa pemrograman C++ pernah berujar “Peradaban manusia berdiri di atas perangkat lunak". Ucapan Stroustrup tak berlebihan, manusia hari ini hidup lekat dengan perangkat lunak atau software terutama semenjak iPhone populer dengan ragam aplikasi. Salah satu aplikasi yang umum digunakan manusia adalah aplikasi pengolah kata.

Pada gelaran Google Next Cloud, yang berlangsung pada 24-26 Juli 2018, kepopuleran perangkat lunak pengolah kata jadi sorotan. Di ajang ini Google menambahkan fitur Grammar Suggestion berkekuatan Artificial Intelligence pada Google Docs. Google Docs adalah aplikasi pada Google Drive, salah satu layanan profesional milik Google. Google Docs diklaim memiliki jumlah pengguna hingga 800 juta.

Namun, dalam soal perangkat lunak pengolah kata, meskipun Google Docs memperoleh hasil gemilang, tak bisa dipungkiri nama Microsoft Word adalah bintangnya. Microsoft merilis Word pada 1983. Microsoft Word yang pertama adalah versi sistem operasi MS-DOS.

Microsoft Word adalah keajaiban bagi Microsoft. Ia pendulang uang terbanyak selain Windows. Pada 1982, setahun sebelum Word hadir, pendapatan perusahaan tersebut masih $24,4 juta. Setahun selepas Word hadir pendapatan Microsoft naik lebih dari dua kali lipat yakni $50 juta. Kesuksesan Microsoft Word tersebut tak bisa dilepaskan dari sosok bernama Charles Simonyi.

Charles Simonyi

Charles Simonyi, dalam laporan Forbes, merupakan “sosok di balik beberapa perangkat lunak paling sukses dari Microsoft, seperti Word dan Excel.” Simonyi, yang bergabung dengan Microsoft pada 1981 dan menjadi karyawan No. 40. Bill Gates menyebutnya sebagai “salah seorang programmer paling hebat di dunia.”

Peter Alesso, dalam bukunya berjudul “Connections: Patterns of Discovery,” mengatakan Simonyi lahir di Hungaria pada 1948. Saat remaja, Simonyi mendapatkan komputer pertamanya, Ural II. Sebuah komputer zaman Uni Sovyet yang memiliki memori sebesar 4 K. Melalui komputer tersebut, ia belajar bagian-bagian esensial dari komputer. Scott Rosenberg, penulis dari MIT Technology Review, mengungkap Simonyi menyukai komputer tersebut. “Saya cinta komputer ini.”

Ural II, si komputer jadul Uni Sovyet, membawa keberuntungan tersendiri bagi Simonyi di masa mendatang. Rosenberg, masih dalam tulisannya, mengatakan bahwa melalui komputer itu, “Simonyi belajar memprogram di level primitif, harus bersusah payah menentukan “opcodes” bahasa mesin, dan perlu memahami kerja prosesor untuk bisa membuat mesin tersebut menjalankan perintah sederhana.”

Simonyi belajar banyak dari komputer Ural II. Setelahnya, Simonyi menciptakan program compiler (sebuah program komputer yang berguna untuk menerjemahkan program komputer yang ditulis dalam bahasa pemrograman tertentu) bagi pemerintah. Dalam sebuah ajang perdagangan di Budapest, Simonyi berkenalan dengan beberapa orang Denmark dan mempresentasikan compiler buatannya itu. Di usianya yang ke 16, atas presentasi itu, Simonyi ditawari pekerjaan di Denmark. Ia setuju untuk meninggalkan Hungaria.

Di Denmark, sebagaimana ditulis Alesso, Simonyi bekerja dan belajar pemrograman. Sebagian penghasilannya, ditabung untuk membiayai kuliahnya kelak. Ketika usianya mencukupi, Simonyi lantas hijrah ke Amerika Serikat. Di negeri Paman Sam, Simonyi menggenggam gelar sarjana matematika dari Universitas of California Berkeley dan memperoleh gelar doktor di bidang ilmu komputer dari Stanford University.

Infografik Charles Simonyi

WYSIWYG dan Kelahiran Word

Selepas menyelesaikan pendidikan, Simonyi bekerja di Xerox Palo Alto Research Center (Xerox PARC), institusi riset komputer yang melegenda. Sebagaimana ditulis Alesso, di institusi tersebut Simonyi mengusulkan sebuah riset tentang produktivitas programmer dan bagaimana meningkatkannya. Karena kesulitan memperoleh asisten guna kepentingan riset, Simonyi mengakalinya.

Ia membayar programmer dan menjadikan mereka “subjek penelitian.” Para programmer yang dibayar olehnya itu, dibimbing dalam sebuah proyek penciptaan perangkat lunak bertajuk “Bravo.” Pada akhirnya, proyek Bravo sukses melahirkan perangkat lunak pengolah kata pertama berkonsep WYSIWYG (what you see is what you get), konsep yang berarti dokumen yang tampil di layar komputer akan sama bentuknya ketika dicetak di atas kertas.

Penciptaan perangkat lunak pengolah kata pertama berkonsep WYSIWYG merupakan kesuksesan pertamanya. Sebagaimana ditulis Rosenberg, Simonyi banyak memiliki kekecewaan pada perangkat lunak secara umum. Katanya, “perangkat lunak yang beredar adalah bottleneck [...] yang menghambat inovasi di banyak organisasi.” Melalui pengolah kata yang dihasilkan melalui proyek Bravo, Simonyi ingin mengobati kekecewaannya tersebut.

Sukses berkarier di Xerox PARC, pada 1981 Simonyi bergabung dengan Microsoft. Tugasnya “sederhana,” menciptakan perangkat lunak seperti yang dibuatnya di Xerox PARC bagi Microsoft. Bruce Damer, ilmuwan komputer, sebagaimana diwartakan Wired, mengungkap “kecurangan” Simonyi atas tugas yang diberikan Microsoft itu. Kata Damer, “Charles Simonyi dan sebagian besar tim Bravo meninggalkan Xerox dan berlabuh ke Microsoft sebagai sebuah tim. Versi pertama Microsoft Word, yang lahir setahun selepas pengolah kata WYSIWYG, secara esensial merupakan versi pengalihan dari Bravo bagi Microsoft DOS (disk operating system).”

Semenjak kelahiran Microsoft Word, perangkat lunak tersebut jadi salah satu perangkat lunak populer di dunia komputer. Simonyi meraih kesuksesan dengan Microsoft Word. Forbes mencatat, Simonyi memiliki kekayaan sebesar $3 miliar. Bermodal uang sebanyak itu, pada 2007 ia merogoh kocek senilai $20 juta, Simonyi meluncur ke International Space Station (ISS) sebagai turis yang melakukan perjalanan ke luar angkasa.

Baca juga artikel terkait MICROSOFT atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Ahmad Zaenudin