tirto.id - Timor Leste ikut serta dalam Workshop on Improving Fisheries Management yang digelar Association of South East Asian Nations (ASEAN) di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat pada 21 Maret 2016. Keikutsertaan mereka lebih dimaksudkan sebagai usaha agar dapat bergabung menjadi anggota ASEAN. Sebelumnya mereka telah mengikuti dua acara ASEAN lain.
Wakil Menteri Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional Timor Leste kala itu, H. E. Roberto Sarmento de Oliveira, mengatakan dengan ikut serta dalam acara ini "hanya tinggal masalah waktu saja sebelum Timor Leste benar-benar menjadi bagian ASEAN." Ia juga mengatakan bahwa negara-negara ASEAN adalah "saudara-saudari Timor Leste." Pernyataan ini ironis karena salah satu negara ASEAN yang dianggap saudara itu puluhan tahun lalu pernah merampas kedaulatan Timór Lorosa'e (matahari terbit) mereka.
Mengesampingkan kenyataan pahit tersebut, Timor Leste benar-benar ingin bergabung dengan ASEAN karena menganggap bahwa organisasi yang didirikan selepas Indonesia melakukan konfrontasi terhadap Malaysia di bawah komando Presiden Sukarno ini dapat mendatangkan keuntungan ekonomi. Juga, stabilitas politik dan keamanan.
Nahas, bagai Turki dengan Uni Eropa, lima tahun berlalu semenjak acara ASEAN di Hawaii itu digelar, Timor Leste tak kunjung menjadi anggota. "Hanya tinggal masalah waktu" perlahan-lahan nampaknya berubah menjadi "tak pernah tiba."
Timor Leste
"Semenjak berjuang memerdekakan diri dari Belanda," tulis Clinton Fernandes dalam studi berjudul "Indonesia's War Against East Timor: How It Ended" (Small Wars & Insurgencies Vol. 32 2021), "Indonesia tidak pernah berminat mengajak koloni Portugis di Asia Pasifik bernama Portuguese Timor (Timor Portugis atau kini bernama Timor Leste) untuk ikut serta dalam perjuangannya." Bahkan, tatkala Indonesia merdeka, Presiden Sukarno bersama pejabat-pejabat lainnya "menolak dengan keras mengikutsertakan Timor Leste sebagai bagian Indonesia" alias menjunjung tinggi kehendak masyarakat Timor Leste untuk menentukan nasibnya sendiri.
Namun, di bawah kepemimpinan baru--siapa lagi kalau bukan Presiden Soeharto--Indonesia mulai melihat Timor Leste secara berbeda. Satu faktor yang mengubah sikap Indonesia adalah menyeruaknya sebuah organisasi bawah tanah bernama Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente (Front Revolusioner untuk Timor Leste Merdeka atau Fretilin). Selain menggaungkan kemerdekaan Timor Leste (awalnya dari Portugal), Fretilin juga membawa sejumlah agenda politik radikal seperti reformasi tanah, reformasi administrasi, pendidikan kerakyatan, dan pengembangan industri kecil melalui kekuatan rakyat perdesaan.
Dalam konteks Perang Dingin, dengan program seperti itu Fretilin dianggap sebagai organisasi komunis yang sangat berbahaya. Terlebih lagi Indonesia kala itu telah menjadi "sahabat" Amerika Serikat yang merupakan motor utama gerakan anti komunis. "Persahabatan" ini dibuktikan melalui, sebagaimana dituturkan Frega Wenas Inkiriwang dalam studi berjudul “The Dynamic of The US–Indonesia Defence Relations” (2020), keikutsertaan Indonesia pada acara sejenis “pertukaran pelajar” bernama International Military Education and Training (IMET). Di IMET Indonesia diajarkan tentang pengetahuan militer ala AS.
Dalam alam pikiran Soeharto, rakyat perdesaan yang merupakan basis kekuatan Fretilin seharusnya tak ikut serta dalam gonjang-ganjing perpolitikan, tetapi mengabdikan hidup untuk bekerja. Andai dengan kekuatan rakyat perdesaan Fretilin meraih kemenangan di Timor Leste, Soeharto khawatir masyarakat Indonesia terpengaruh; menimbulkan gonjang-ganjing baru.
Maka, didukung restu AS berikut pelbagai sekutunya terutama Australia, Indonesia menginvasi Timor Leste pada 7 Desember 1975.
Karena saat itu telah merangkak menjadi salah satu kekuatan militer terbesar di Asia serta memperoleh bantuan persenjataan dari Paman Sam, sekitar 1.500-an pasukan Fretilin tak mampu membendung 423 ribu tentara Indonesia. Semenjak 26 Maret 1979, Negeri Matahari Terbit itu resmi menjadi provinsi ke-27 Indonesia dengan nama resmi Timor Timur, lengkap dengan Komando Resor Militer (Korem) 164 yang berada di bawah kendali Komando Daerah Militer (Kodam) IX Udayana di Bali.
Semenjak Indonesia hadir dan berkuasa di Timor Leste, kembali merujuk Fernandes, sekitar 204 ribu penduduk atau 31 persen populasi Timor Leste tewas.
AS dan Australia, terutama Indonesia, terus ditekan dunia internasional untuk "membebaskan" Timor Leste karena kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi. Akhirnya, dengan latar belakang krisis ekonomi yang menimpa pelbagai negara di Asia pada 1997 hingga menyebabkan Presiden Soeharto lengser dari kekuasaan, sikap Indonesia kembali berubah.
Pada 5 Mei 1999, Indonesia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menandatangani kesepakatan melaksanakan referendum. Rakyat Timor Leste diberikan kesempatan untuk memilih apakah mau bergabung dengan Indonesia atau tidak. Hasil referendum yang diumumkan pada 4 September 1999, hampir 80 persen rakyat menolak otonomi khusus dan sepakat hidup secara mandiri, merdeka menjadi negara sendiri.
Karena bertahun-tahun hidup dalam cengkeraman asing, entah Portugis atau Indonesia, Timor Leste harus memulai perjuangan sebagai negara mandiri dari sisa-sisa kehancuran. Sebagaimana dipaparkan Francisco Proença Garcia dalam studi berjudul "The UN in Conflict Resolution: The Case of East Timor" (Journal of International Relation Vol. 10 2019), Timor Leste akhirnya terpaku pada bantuan PBB, mulai dari bantuan militer maupun bahan pangan, sejak PBB membentuk United Nations Mission East Timor (UNAMET) pada 1999 hingga United Nations Integrated Mission in Timor Leste (UNMIT) yang berakhir pada 2012 silam.
Timor Leste bertransformasi menjadi negara miskin yang kalah jauh dibandingkan para tetangganya.
Ketika akhirnya PBB angkat kaki, perlahan Timor Leste membaik dalam hal keamanan dan stabilitas politik. Mereka bahkan merupakan negara paling demokratis di antara semua negara yang berada di kawasan Asia Tenggara, menurut Indeks Demokrasi 2018 oleh The Economist Intelligence Unit.
Sayangnya, dari sisi ekonomi, mereka masih tertinggal. Dilihat dari sisi neraca ekonomi semata, Timor Leste gagal melakukan perdagangan internasional dengan baik. Membeli pelbagai kebutuhan dari Indonesia, Singapura, Vietnam, Malaysia, dan Thailand senilai 2,05 miliar dolar AS pada 2016 hingga 2019, tetapi hanya mampu mengekspor barang sendiri ke negara-negara tersebut senilai 95 juta dolar AS.
Untuk mengatasi masalah ini, mengelaborasi apa yang ditulis David Dollar dalam "Economic Reform, Openness, and Vietnam's Entry into ASEAN" (ASEAN Economic Bulletin 1996), tak ada cara lain selain membuka diri ke dunia internasional khususnya dengan bergabung dengan ASEAN. Membuka kesempatan untuk melakukan perdagangan secara bebas serta adil dengan para tetangga. Bahkan terbuka kemungkinan dengan Cina, Jepang, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru, dan India karena ASEAN memperluas jaringan kerja sama dalam kerangka "ASEAN Plus Six".
Hingga hari ini status Timor Leste di ASEAN hanya sebatas "negara pengamat". Status ini terus melekat karena faktor hukum. Dengan instrumen bernama ASEAN Charter, sejak 2007 lalu ASEAN menghendaki anggotanya menyelaraskan kerangka hukum dengan menyetujui (atau mengubah produk hukum yang ada) setidaknya 64 perjanjian. Sementara Timor Leste, sebagaimana termuat dalam laporan Asian Development Bank berjudul "Democratic Republic of Timor-Leste: Capacity for Regional Economic Integration", hanya memiliki 1,6 persen produk hukum yang selaras dengan ASEAN pada 2015 dan baru mencapai 50 persen pada 2018.
Belum juga kerangka hukum Timor Leste selaras dengan apa yang dikehendaki ASEAN, negara yang berbatasan langsung dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur ini mengambil sikap yang "aneh", yakni memilih "abstain" atau "tidak bersikap/tidak memberikan suara" ketika PBB melakukan pemungutan suara tentang krisis Myanmar. Suatu tindakan yang berbuah kutukan dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, serta Vietnam atau negara-negara "penguasa" ASEAN yang menghendaki sanksi bagi Myanmar yang kini (lagi-lagi) dikuasai junta militer.
Dengan belum selarasnya hukum serta sikap terhadap Myanmar itu, Timor Leste mungkin hanya akan selalu mengulang keyakinan mereka yang tak juga terwujud sejak 10 tahun lalu, ketika pertama kali menyatakan minat bergabung dengan ASEAN: "hanya tinggal masalah waktu."
Editor: Rio Apinino