Menuju konten utama

Cerita Suka Duka Relokasi PKL Malioboro & Nasib Pendorong Gerobak

Relokasi PKL Malioboro menyisakan sejumlah cerita suka duka. Mulai omset yang turun hingga para pendorong gerobak yang kehilangan pekerjaan.

Cerita Suka Duka Relokasi PKL Malioboro & Nasib Pendorong Gerobak
Wisatawan berbelanja di Teras Malioboro 2 Yogyakarta, lokasi penempatan PKL Malioboro, Rabu (2/2/22). (ANTARA/Eka AR)

tirto.id - Delapan tahun sudah Tri Wijayani meramaikan pedestrian dengan lapak dagangannya yang berisi jajanan khas Jogja. Ada bakpia, pie susu, wingko dan juga camilan lain yang kerap diborong oleh wisatawan yang berkunjung ke Malioboro, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Selama delapan tahun itu, sosok yang akrab disapa Wijaya ini selalu mengalami masa kejayaan. Lapaknya senantiasa dihampiri para pelancong yang sering membeli tanpa perlu menawar.

“Saya dulu jualan di depan Pasar Beringharjo,” kata Wijaya sembari menunjukkan bekas lapaknya kepada reporter Tirto, Rabu (16/2/2022).

Selama masa berdagang di pedestrian, Wijaya mampu merekrut sebanyak enam karyawan. Mereka membantu dari pengemasan, pelayanan hingga promosi kepada wisatawan yang sebagian besar sudah menjadi pelanggan.

“Meski sering dipandang sebelah mata karena dagang kaki lima, saya bisa membuat rumah sampai menyekolahkan anak hingga kuliah,” kata Wijaya bercerita.

Kini, lapak milik Wijaya sudah bersih dan sepenuhnya milik pejalan kaki. Ia dan teman-temannya harus berbesar hati menerima kebijakan untuk direlokasi ke Teras 1 Malioboro. Salah satu konsekuensi dari perpindahan adalah omset. Saat ini di teras 1 penghasilannya turun drastis, hanya menjadi ratusan ribu.

“Saya dulu bisa menghasilkan Rp22 juta dalam sehari saat berdagang. Saya lihat orang kayak tidak sayang sama uangnya, tidak ada yang menawar. Palingan cuma minta bonus supaya ditambahkan bakpia atau keripik dalam belanjaan,” kenangnya.

Dampak lain yang harus ditanggung Wijaya adalah jumlah karyawan. Kini hanya ada satu orang yang menemaninya, yang lain terpaksa dirumahkan mengingat pendapatan tidak bisa menutupi biaya gaji.

“Saat ini saya masih adaptasi, kalau saya tamping, saya tidak kuat menggaji mereka, akhirnya saya putuskan untuk mempertahankan satu pegawai saja," ujarnya.

Selain cobaan internal, Wijaya juga harus menghadapi sejumlah persaingan dengan pedagang lain yang juga mengalami pasang surut di lokasi baru tersebut. Ada permasalahan eksternal yang harus dihadapi, terutama terkait jumlah pembeli yang kerap tak merata.

“Dalam pembagian lapak dilakukan dengan cara diundi, dan kebetulan saya mendapat lokasi yang berada di pinggir jalan utama. Kalau kebetulan lapak saya ramai, seringkali menjadi ramai, dan itu menjadi pembahasan yang cukup sengit di grup WhatsApp. Tapi selalu ada solusi," terangnya.

Meski dilanda berbagai cobaan, Wijaya tak nampak mengeluarkan unek-unek atau berkeluh kesah dengan kondisinya saat ini. Ia berusaha mempraktikkan falsafah narimo ing pandum sebagai bentuk penerimaan, kesabaran dan kesyukuran. Meski lapaknya sempat kebasahan karena terkena tampias air akibat hujan deras dan angin kencang.

“Saya tidak mau rewel dengan kondisi saat ini, kalau ditempatkan di sini, kami sudah berterima kasih dan tidak mau terlalu banyak mengeluh, rugi sedikit tidak masalah" kata dia.

Falsafah kepasrahan itu ternyata tidak hanya dipegang oleh Wijaya saja. Ada sejumlah pedagang lain yang juga memiliki prinsip serupa. Seperti Kurniawati yang telah berdagang selama lebih dari 30 tahun di pedestrian Malioboro.

Kurniawati mengaku ikhlas harus direlokasi mengikuti perintah para pemangku kebijakan yang berusaha mewujudkan Malioboro menjadi warisan budaya tak benda UNESCO.

“Saya sudah 30 tahun dagang di sekitar trotoar sejak tahun 1992, tepatnya berada di depan toko alat cat Apeco,” kata dia sembari mempersiapkan barang dagangan.

Kurniawati bersama suaminya Suprapto menjual berbagai souvenir khas Jogja, seperti gantungan kunci, wayang sehingga sejumlah pernak-pernik yang menjadi incaran para wisatawan.

“Meski jualan saya ini kecil-kecil, tapi sudah menghidupi anak sampai cicit saya saat ini," terangnya.

Kini di dalam lapak dengan ukuran 115 x 124 Cm, Kurniawati harus berjuang menyambung kehidupan yang dulu dia mulai di emperan toko milik orang.

“Mau gimana lagi, kami hanya bisa menurut. Saya bersyukur di sini barang saya aman dan tidak perlu repot-repot untuk berbenah saat mau menutup atau buka lapak," ujarnya.

Di usianya yang memasuki kepala 7, Kurniawati sering dianggap sebagai sesepuh oleh para rekan kerjanya saat di trotoar Malioboro. Namun kini tetangganya dalam berdagang sudah berpencar. Terpisah oleh nomor undian yang dibagikan oleh pihak paguyuban dan koperasi.

“Akhirnya saya harus adaptasi lagi, kenalan lagi, tapi tidak masalah, InsyaAllah jiwa guyub dan rukun pedagang di Malioboro sama semua. Ini baru saja saya menyuruh mas-mas untuk memasang aliran listrik buat lapak saya. Padahal baru kenal,” kisahnya.

Kurniawati juga tidak mempersoalkan suasana Teras 2 Malioboro yang masih berbentuk bangunan darurat dan masih ditutupi oleh baja ringan, berbeda dari Teras Malioboro 1 yang sudah berbentuk bangunan kokoh dan permanen.

“Kami di sini juga tidak ada masalah, rezekinya sudah diatur di sini, kalau kebanyakan menuntut malah tidak dapat apa-apa. Nanti katanya mau dipindah, kita mah menurut saja,” kata dia.

Suara Pendorong Gerobak yang Terabaikan

Kuat Suparjono sudah hampir jenuh mondar mandir ke kantor Pemkot, Pemprov dan DPRD DIY. Ia berusaha memperjuangkan haknya dan juga rekan seprofesinya: tukang dorong gerobak milik PKL Malioboro yang kini sudah pindah ke Teras Malioboro 1 dan 2. Meski namanya Kuat, tapi ia merasa suara dan aspirasi yang disampaikannya tak sekuat namanya.

“Selama relokasi PKL kami belum mendapat kepastian jawaban. Kami sudah berupaya meminta Pemkot hingga Pemprov DIY, namun tidak pernah ada solusi bahkan selalu dioper kesana kemari seakan di 'pingpong',” kata Kuat yang juga Ketua Paguyuban Pendorong Gerobak Malioboro (PPGM).

Kuat menduga, suaranya diabaikan karena profesi yang dia jalani tidak memiliki implikasi langsung terhadap Malioboro. Pasalnya dia bekerja saat pagi buta dan juga malam saat keramaian mulai sirna.

“Kami selama ini selalu menjadi mitra bagi PKL, mendorong gerobak mereka, menjaga dagangan mereka, wisatawan selalu berinteraksi dengan mereka. Sedangkan kami bekerja saat jam 5 subuh, dan saat malam ketika orang-orang sudah pulang. Bahkan banyak dari rekan kami yang tidur di emperan Malioboro karena rumahnya ada di Wonosari sehingga tak cukup waktu dan ongkos untuk pulang pergi setiap hari,” kata Kuat.

Sebagai warga negara, Kuat telah mencoba memperjuangkan haknya, hingga akhirnya rekan sejawatnya lebih memilih bubar jalan daripada meneruskan perjuangan.

“Pada mulanya kami ada 91 anggota yang bekerja sebagai pendorong gerobak dan terdata di PPGM, lalu dari jumlah itu berkurang menjadi 70 karena di awal ada isu relokasi, kemudian terus berkurang hingga akhirnya jumlahnya menjadi 34,” kata dia.

Kuat yang kini berusia 48 tahun, harus berpikir realistis dalam menghadapi nasibnya. Ada keluarga yang harus dihidupi, sedangkan mata pencaharian sehari-hari terhenti karena para PKL tak butuh jasanya lagi.

“Kalau saya sendiri freelance servis AC dan mesin cuci, kalau teman-teman sendiri ada yang jadi tukang becak dan buruh tani di sawah milik tetangga. Bahkan tak sedikit yang harus berutang demi menutupi kebutuhan yang tetap berjalan" terangnya.

Melihat ikhtiarnya ke pemerintah daerah seperti jalan di tempat, Kuat dan teman-temannya yang tergabung dalam PPGM menyuarakan nasib ke pemerintah pusat.

“Kami sempat audiensi dengan staf khusus wakil presiden, Muhammad Imam Aziz hingga anggota DPR, My Esti Wijayati, dan ini sebentar lagi akan minta audiensi jilid 2 ke Pemkot Jogja, mohon doanya,” kata dia.

Menanti Inovasi Kebijakan dari Pemprov DIY

Di saat para pendorong gerobak merasa tak didengar aspirasinya, pihak Pemprov DIY berkata sebaliknya. Mereka mengaku sedang melakukan pemetaan untuk mencari solusi atas keluhan-keluhan yang disampaikan. Terutama terkait hilangnya pekerjaan mereka.

“Kami saat ini sedang melakukan pemetaan masalah, dan beri kami waktu untuk memetakan potensi dan kondisi dari berbagai aspek,” kata Kepala Dinas Koperasi dan UKM DIY, Srie Nurkyatsiwi saat dihubungi reporter Tirto.

Selain itu, Siwi juga meminta para PKL yang menempati Teras Malioboro 1 dan 2 untuk bersabar dengan kondisi yang baru ditempati. Ada janji renovasi dan perbaikan serta respons cepat di setiap keluhan.

“Kami juga menyadari bangunan Teras Malioboro masih banyak kekurangan, terutama Teras Malioboro 2 masih belum layak karena sifatnya darurat. Oleh karenanya hanya ditempati selama sekitar satu atau dua tahun, nanti akan ditempatkan ke tempat baru yang lebih layak," terangnya.

Sosok yang akrab disapa Siwi ini juga menyampaikan bahwa penataan Malioboro ini akan diajukan ke UNESCO sebagai warisan budaya tak benda. “Nanti akan kami ajukan sebagai kawasan sumbu filosofi Yogyakarta dan akan ada kunjungan dari tim asesor dari UNESCO pada Maret mendatang," ujarnya.

Baca juga artikel terkait PKL MALIOBORO atau tulisan lainnya dari Irfan Amin

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz