Menuju konten utama

Cerita Kutei Lubuk Kembang Pertahankan Hak Tanah Tradisionalnya

Pada 2016, masyarakat Kutei Lubuk Kembang, Bengkulu, dirundung konflik agraria. Gigih melawan hingga hak atas tanah tradisionalnya diakui pemerintah.

Cerita Kutei Lubuk Kembang Pertahankan Hak Tanah Tradisionalnya
Tari Kejei yang dibawakan oleh masyarakat adat di Kutei Lubuk Kembang dalam penyambutan peserta Rakernas AMAN VII 2023. foto/Dok. AMAN

tirto.id - Sejak tengah hari hujan turun rintik-rintik di Desa Lubuk Kembang, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. Hingga beranjak petang, tak ada tanda ia bakal reda. Pun udara dingin makin menguar. Meski demikian, orang-orang seperti tak ada putusnya datang mengisi ruang tamu rumah Alfian, Kepala Desa Lubuk Kembang.

Hari itu, Kamis (11/1/2024), Alfian mesti memimpin rapat perangkat desa sejak pagi. Usai urusan di kantor desa rampung, kesibukannya mesti berlanjut di rumahnya. Tamu-tamu yang datang—kadang seorang diri, kadang pula berombongan—silih berganti membawa berbagai perkara. Mulai dari soal program desa hingga urusan remeh temeh.

Dia mungkin lelah, tapi air mukanya tetap tenang. Sesekali, dia tertawa melontarkan candaan dengan tamu-tamunya.

Suasana rumah Alfian baru beranjak tenang usai magrib tiba. Saat itulah, saya memberanikan diri mengajaknya ngobrol. Berkawan kopi dan rokok, Alfian berkisah tentang riwayat kampung halamannya ini.

“Saya mungkin bukan orang yang tepat atau pandai cerita. Namun, setiap orang Lubuk Kembang pasti tahulah sejarah kampungnya,” tutur Alfian.

Alfian berkisah bahwa Lubuk Kembang termasuk kampung tua di Kabupaten Rejang Lebong. Masyarakatnya adalah bagian dari suku Rejang yang juga merupakan salah satu etnis tertua yang mendiami Sumatra.

Seturut cerita tutur, leluhur masyarakat Lubuk Kembang bernama Mat Alei. Oleh ayahnya yang bernama Muning Alus, Mat Alei diberi tanah di wilayah sekitar Bukit Basah—atau Tebo Leceak dalam penyebutan bahasa Rejang. Mat Alei dan keturunannyalah yang membuka wilayah itu dan menggarap tanahnya.

Sementara itu, asal-usul nama Lubuk Kembang bermula dari adanya lubuk atau genangan air di tepian sebuah sungai yang melewati Bukit Basah. Seturut Alfian, di lubuk itu dahulu banyak tumbuh kembang atau bunga teratai. Dari fenomena itulah Lubuk Kembang mendapat namanya.

“Titik mulanya lubuk itu masih ada sampai sekarang. Agak ke atas kampung lokasinya,” tutur Alfian.

Dari perkampungan kecil berisi 10-15 rumah—secara tradisional disebut kutei, Lubuk Kembang berevolusi seiring waktu hingga seperti bentuknya kini. Sejak dulu pula, warga Kutei Lubuk Kembang menggantungkan hidupnya pada kebun-kebun di Bukit Basah alias Tebo Leceak dalam bahasa Rejang. Lain itu, sebagian lagi membuka sawah di pinggiran desa yang lebih datar.

Tidak tahu dulunya ditanami apa, tapi orang-orang tua kami sempat tanam tembakau. Lalu, kami tanam kopi sampai sekarang,” ujar Wenni, petani sekaligus mantan Kepala Desa Lubuk Kembang periode 2001-2009.

Begitulah, masyarakat Kutei Lubuk Kembang hidup damai dengan bertani sawah dan kopi robusta. Hingga pada 2016, datanglah “orang-orang dinas” beserta masalah ke desa mereka.

Klaim HPT Sepihak

Resah, resah, dan resah. Itulah kata yang berulang kali diucap Sohibi kala bercerita tentang peristiwa delapan tahun silam. Di sore yang rintik itu, kami berbincang di rumah Kades Alfian ditemani kopi dan donat sebagai kudapan.

Suatu hari pada 2016, Balai Desa Lubuk Kembang kedatangan beberapa orang dinas dari Lampung. Bersama Kepala Desa dan Camat, mereka berapat. Setelah itu, mereka menuju Bukit Basah ditemani kepala dusun dan beberapa warga.

Sohibi adalah salah satu yang menemani orang-orang dinas tersebut. Dia tak tahu mereka dari dinas yang mana dan apa maksudnya ke Bukit Basah. Dia hanya diminta menemani mencari patok tanah zaman Belanda. Maka seharian itu Sohibi turut mengelilingi kebun-kebun kopi milik warga Lubuk Kembang di Bukit Basah itu. Pun kegiatan itu berjalan lancar belaka.

"Saya ikut saja. Mereka bawa alat seperti handphone (GPS). Ukur-ukur di berapa titik. Lalu kasih cat merah di pohon. Saya diupah Rp100 ribu karena mendampingi mereka dari pagi sampai sore," kata Sohibi yang juga Kepala Dusun III Lubuk Kembang.

Sohibi baru tahu bahwa orang-orang dinas yang dia temani adalah petugas dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XX Bandar Lampung usai kegiatan rampung. Satu informasi juga baru diungkap sore itu bahwa mereka sebenarnya tengah mengukur luasan lahan yang bakal diusulkan berstatus Hutan Produksi Terbatas (HPT).

Makin kagetlah Sohibi demi menyadari hal itu dan bahwa bidang kebunnya pun termasuk dalam klaim HPT tersebut. Sohibi yang menyadari ketidakberesan itu lantas mengabarkannya ke tetangga-tetangga desanya. Keresahan dan kebingungan segera menjalar di Lubuk Kembang.

"Kami merasa resah sekali. Rumah kami di situ, kebun kami juga di situ. Istilahnya hidup kami ya di situ. Makanya kami resah sekali tiba-tiba diklaim HPT," tutur Sohibi.

Sohibi terdiam sejenak. Dia kemudian menyesap kopi dan kembali terdiam. Mungkin, ada ganjalan di benaknya tentang peristiwa itu yang belum sepenuhnya pulih. Dia baru membuka suara lagi usai saya memberanikan diri bertanya tentang reaksi warga Lubuk Kembang terhadap klaim HPT tersebut.

Selain keresahan, masyarakat Lubuk Kembang juga panik dan bingung. Mereka yang sehari-hari bertani itu tak tahu harus bertindak apa. Beberapa warga, kenang Sohibi, sempat bermusyawarah untuk mencari pemecahannya. Namun, usaha itu menemui kebuntuan lantaran mereka bingung harus mengadukan masalah ini ke mana atau siapa.

Malangnya, Sohibi sendiri sempat menjadi sasaran kemarahan warga lain. Dia dituduh berkhianat karena sempat bersinggungan dengan petugas-petugas BPKH Wilayah XX Bandar Lampung.

Kutei Lubuk Kembang.

Sohibi, Kepala Dusun III Desa Lubuk Kembang. tirto.id/Fadrik Aziz Firdausi

Keresahan dan kebingungan yang tak menemui jalan keluar itu lantas berkembang jadi gejolak. Di waktu terpisah, saya menemui Wenni yang berkisah panjang tentang betapa rawan kampung halamannya itu tatkala persengketaan lahan itu mengemuka.

Seturut Wenni dan juga Kades Alfian, Kepala Desa Lubuk Kembang saat itu mengaku kecolongan. Dia mengira petugas-petugas BPKH Wilayah XX Bandar Lampung itu datang untuk mengukur dan memastikan batas lahan desanya. Gara-gara hal itu, dia tentu saja jadi sasaran utama kemarahan warga.

Antara masyarakat dan pemerintahan desa saling menyalahkan. Masyarakat mempertanyakan kenapa Pak Kades itu mengizinkan orang luar yang mau mengambil wilayah tanah adat kita,” tutur Alfian.

Masalah jadi berlarut-larut dan perangkat desa sampai tak berani berkantor selama beberapa waktu. Sementara itu, warga Lubuk Kembang yang lahannya masuk dalam wilayah klaim HPT sengaja membawa senjata tajam ketika berkebun. Wenni bahkan mendengar beberapa rencana nekat.

Klaim HPT itu sangat-sangat mengganggu ketenangan masyarakat kami. Bapak-bapak kami malah sempat bilang, ‘Tidak usah pusing-pusing, Bu. Kalau mereka datang kita sikat saja.’ Ya saya bilang tidak bisa begitu, ‘kan bahaya. Jangan sampai usaha kita mempertahankan hak tanah kita malah menjerumuskan,” tutur Wenni dengan nada tinggi.

Silang Sengkarut

Sebagai mantan kepala desa, Wenni cukup paham klaim-klaim negara semacam itu pastilah punya dasar hukum. Pun perangkat desa semestinya melakukan sosialisasi pada warganya terlebih dahulu terkait kebijakan pemerintah yang bakal berdampak pada desa dan warga.

Itulah yang luput dilakukan perangkat Desa Lubuk Kembang pada 2016. Dia juga menduga ada salah pemahaman akan maksud kedatangan petugas-petugas BPKH Wilayah XX Bandar Lampung kala itu. Apapun alasan sebenarnya di balik hal itu, perangkat desa semestinya lebih berhati-hati dan lebih memahami wilayahnya.

Di Lubuk Kembang ini, tidak ada satu pun wilayah hutan. Di Bukit Basah itu, semuanya perkebunan. Dari dulu, sudah jelas sekali ada bukti kepemilikannya. Ada catatan-catatan jual-belinya, jelas pula secara batas-batasnya. Itulah tanah turun-temurun dari orang-orang tua kami,” terang Wenni.

Kutei Lubuk Kembang

Wenni, perempuan pelopor masyarakat Kutei Lubuk Kembang dalam upaya mempertahankan haknya atas tanah tradisional. Dia juga didapuk warga menjadi Ketua BUMMA yang melahirkan jenama Jangkupi. tirto.id/Fadrik A firdausi

Persengketaan lahan HPT itu memang nisbi telah lama berlalu. Namun, ekspresi, gestur, dan nada bicara ibu tunggal itu jelas menyiratkan bahwa masalah itu membekas amat dalam di benak Wenni—juga Sohibi, juga warga Lubuk Kembang lainnya yang terdampak. Bagaimana tidak, klaim HPT itu berpotensi mencerabut warga Kutei Lubuk Kembang dari sumber penghidupannya.

Seturut penelusuran jurnalis senior Harry Siswoyo, sengketa klaim HPT di Lubuk Kembang itu berhulu dari Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.784/Menhut-II/2012 yang terbit pada 27 Desember 2012 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 420/KPTSII/1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Bengkulu.

SK Menteri Kehutanan itu menetapkan bahwa luas kawasan hutan di Bengkulu adalah sekitar 924.631 hektare. Beleid itu sekaligus mencantumkan bahwa di Desa Lubuk Kembang, Kecamatan Curup Utara, terdapat kawasan HPT seluas 125,4 hektare. Itulah kawasan Bukit Basah yang telah diolah selama beberapa generasi oleh warga Lubuk Kembang.

Sebelumnya, kawasan Bukit Basah pun disebut sebagai kawasan hutan lindung yang diubah fungsinya menjadi HPT berdasar SK Menteri Kehutanan Nomor 643/Menhut-II/2011.

Atas dasar beleid-beleid itulah tim BPKH Wilayah XX Bandar Lampung mendatangi Lubuk Kembang dan melakukan pengukuran pada 2016. Saat itu, warga Lubuk Kembang tidak mengetahui informasi akan kebijakan-kebijakan pemerintah itu atau apa pun terkait status tanah-tanah mereka. Pun sepanjang pengetahuan Wenni saat menjabat kepala desa, tidak ada dokumen yang menyebut bahwa Bukit Basah adalah hutan lindung.

“Setahu saya saat menjabat dulu, Desa Lubuk Kembang ini tidak ada wilayah yang bertanda ‘hijau’ atau hutan lindung,” tegas Wenni. “Jelas di wilayah kami ini tidak ada hutan lindung. Makanya segera kami sadar bahwa tanah kami itu diklaim secara sepihak sebagai HPT.”

Upaya Panjang Warga Lubuk Kembang

Langit pagi pada Jumat (12/1/2024) itu cerah betul. Malah cenderung terik. Padahal, jam baru menunjuk pukul 8.30 pagi.

Saya baru saja menyelesaikan sarapan tumis sawi lauk tempe bersama Darsen dan Eka dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu di rumah Kades Alfian. Sesuai rencana, kami bakal menyambangi Dusun Tiga dan menilik Bukit Basah. Turut pula bersama kami, Wenni dan Sohibi.

Jalan menuju Bukit Basah kini sudah diaspal halus. Itu amat memudahkan kami berangkat bersama-sama dengan mobil. Sebelumnya, mobil mustahil bisa naik ke bukit. Motor pun belum tentu kuat menyusuri jalan menanjak nan berbatu yang melingkari Bukit Basah.

Jika dilihat dari pemukiman Lubuk Kembang, Bukit Basah terlihat sangat penuh tertutup rerimbunan pohon. Karenanya, saya pikir kami akan menyusuri hutan, tapi ternyata tidak. Sepanjang jalan, tutupan hijau yang saya lihat dari bawah tadi baru mengungkap rupa aslinya: hamparan perkebunan kopi rakyat.

Wenni-lah yang menunjukkan pada saya area-area di Bukit Basah yang diklaim sebagai HPT. Saya menunjuk pohon kayu-kayuan yang menjulang di sela-sela kebun kopi. Sohibi menjelaskan bahwa itu bukan pohon-pohon liar, melainkan pohon yang sengaja ditanam warga Lubuk Kembang untuk menaungi pohon-pohon kopi mereka.

Lihat sendiri ‘kan, tidak ada hutan di sini. Semuanya kebun kopi. Inilah yang diwariskan orang-orang tua kami,” tutur Wenni penuh semangat.

Kutei Lubuk Kembang.

Kebun kopi milik warga Kutei Lubuk Kembang di kawasan Bukit Basah. Warga menanam pohon-pohon berkayu di sela-sela tanaman kopi untuk menaunginya. Dari kejauhan, rimbunnya pohon-pohon besar itu menjadikan Bukit Basah serupa hutan. tirto.id/Fadrik Aziz Firdausi

Sehari sebelumnya, saat saya bertandang ke rumahnya, Wenni telah bercerita bahwa beberapa warga mendatanginya setelah masalah klaim HPT itu mengemuka. Dia lalu mengajak warga dan tetua-tetua di Kutei Lubuk Kembang bermusyawarah. Mereka lalu bersepakat membentuk tim kecil untuk memperjuangkan tanah-tanah warga yang diklaim sepihak oleh negara.

Wenni pun ditunjuk jadi ketuanya. Sebagai orang yang pernah memegang jabatan di pemerintahan desa sekaligus petani kopi, warga menganggap Wenni-lah yang paling tepat mewakili mereka.

Langkah pertama yang dilakukan tim kecil tersebut adalah melayangkan protes kepada perangkat desa atas tindakan pengukuran dan klaim HPT yang dilakukan tanpa sepengetahuan warga Lubuk Kembang.

Belum apa-apa, warga Lubuk Kembang sudah menemui kebuntuan. Ketika warga memilih bergerak, perangkat desa justru bersikap pasif. Warga ingin melakukan audiensi dengan jenjang pemerintahan yang lebih tinggi, tapi tak ada perangkat desa yang mau membantu.

Waktu awal-awal itu, warga belum tahu harus berbuat apa lagi dan ke mana karena tidak ada yang bisa menyambungkan ke atas,” tutur Sohibi.

Maka warga Lubuk Kembang pun memilih bergerak secara mandiri. Wenni dan tim kecilnya berupaya mengumpulkan bukti-bukti dokumen kepemilikan tanah pribadi. Urusan ini agak pelik lantaran tidak semua warga yang tanahnya kena klaim HPT memiliki sertifikat tanah.

Saat itu, mereka umumnya tidak merasa perlu memiliki sertifikat tanah karena merasa cukup dengan memegang dokumen surat hibah, surat bukti jual-beli, atau bukti warisan. Namun, mereka tetap mengumpulkan dokumen-dokumen bukti itu apapun bentuknya.

Dokumen-dokumen itu lantas difotokopi dan lampirkan bersama surat protes yang dikirim kepada Camat Curup Utara, Bupati Rejang Lebong, DPRD, BPN, dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Bengkulu.

Wenni dan tim kecilnya-lah yang mengurus semuanya. Sementara itu, warga Lubuk Kembang satu suara mendukung upaya itu dengan patungan untuk biaya operasional tim kecil. Jumlahnya tidak besar, sekadar cukup untuk membiayai fotokopi dan transportasi.

Bukan perkara mudah untuk mendapat atensi dari pemerintah. Selain tembok birokrasi, masalah finansial juga jadi kendala. Mereka juga terhalang waktu karena semua itu dilakukan bersamaan dengan mengurus kebun kopi dan sawah.

Kami ini ‘kan orang-orang tani biasa yang punya keterbatasan. Kalau ada permasalahan seperti itu kami terbentur banyak faktor, terutama waktu dan ekonomi. Bagi kami, ini perkara berat sekali,” tutur Alfian.

Meski demikian, warga Lubuk Kembang mafhum belaka bahwa ini bukan proses kebut semalam. Wenni dan tim kecil mengikuti seluruh prosesnya dengan penuh komitmen, dari kantor ke kantor, dari satu audiensi ke audiensi lain. Menunggu berjam-jam hingga bupati, pimpinan dinas, atau anggota legislatif bersedia menemui sudah jadi hal biasa bagi Wenni dan tim kecil yang dipimpinnya.

Pernah kami mesti menunggu Bupati dari jam 7 pagi sampai jam 4 sore, baru kami diterima. Kami katakan ke mereka semua bahwa masyarakat Lubuk Kembang itu tidak ada inginkan apa-apa selain satu hal, pengakuan hak atas tanah kami. Itu saja,” tegas Wenni.

Titik Terang

Kebuntuan birokratis yang dialami warga Lubuk Kembang perlahan terurai pada 2017, ketika AMAN Bengkulu mulai melakukan pendampingan. Kader-kader AMAN Bengkulu-lah yang kemudian membantu melakukan pemetaan wilayah adat Kutei Lubuk Kembang beserta lahan-lahan kebun yang telah dikelola secara tradisional dan turun-temurun.

“Prosesnya memang panjang dan banyak tahapan yang mesti dilalui. Semua dibantu pengurus-pengurus AMAN dari mulai PD, PW, sampai PB,” tutur Alfian yang juga merupakan kader AMAN Bengkulu.

Berkat kegigihan masyarakat Lubuk Kembang, pemerintah pun mulai memberi respons. Warga Lubuk Kembang juga masih punya kesempatan karena klaim HPT atas tanah-tanah kebunnya baru pada tahap usulan.

Menurut Wenni, pemerintah sempat menawarkan skema perhutanan sosial kepada warga Kutei Lubuk Kembang. Namun, dia dan warga lainnya tidak berkenan. Warga bersikukuh tidak mau menjadi sekadar penggarap di tanah yang sedari asalnya merupakan warisan nenek moyang Kutei Lubuk kembang.

“Saya sendiri menolak waktu itu. Soalnya tanah itu ‘kan hak kami dan yang kami inginkan adalah pengakuan atas hak kami,” terang Wenni.

Setelah melalui jalan berliku dan hidup dalam keresahan akan status tanahnya, warga Lubuk Kembang mulai melihat secercah titik terang pada 2018. Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong pada tahun itu menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5/2018 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PPMHA) di Kabupaten Rejang Lebong.

Perda ini menjadi payung pertama bagi masyarakat adat Rejang di Kutei Lubuk Kembang—juga kutei-kutei lain di Rejang Lebong—untuk mempertahankan hak atas tanah tradisionalnya. Penerbitan Perda Masyarakat Adat 2018 tersebut setidaknya bisa menurunkan ketegangan dan keresahan yang selama ini merundung Kutei Lubuk Kembang.

Jadilah kami lebih tenang semenjak itu. Lebih lega dibanding beberapa tahun sebelumnya yang resah terus,” kenang Alfian.

Kutei Lubuk Kembang.

Dusun III, tempat tinggal Sohibi yang terletak di tengah kawasan Bukit Basah alias Tebo Leceak. Di kejauhan tampak barisan Pegunungan Bukit Barisan. tirto.id/Fadrik Aziz Firdausi

Namun, perjuangan warga Lubuk Kembang belum benar-benar berakhir. Warga Lubuk Kembang dengan dukungan dari AMAN Bengkulu masih harus melalui beberapa tahap prosedur agar tanahnya dilepaskan dari usulan status HPT.

Setahun kemudian, Pemprov Bengkulu mulai menindaklanjuti usulan warga dengan melayangkan Surat Nomor Nomor 522/011/DLHK/2019 kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) perihal Usulan Perubahan Peruntukan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dalam Rangka Review Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bengkulu.

Pemprov Bengkulu mengusulkan sekira 53.037,68 hektare kawasan hutan agar diubah fungsi dan peruntukannya. Lahan milik warga Lubuk Kembang di Bukit Basah seluas 125,4 hektare juga masuk dalam luasan yang diusulkan tersebut.

Lalu pada Januari 2020, Bupati Rejang Lebong kembali menerbitkan beleid baru untuk mengakui Kutei Lubuk Kembang sebagai unit sosial Masyarakat Hukum Adat. Itulah Surat Keputusan Nomor 180.65.I Tahun 2020 tentang Pengakuan dan Perlindungan Kutei Lubuk Kembang Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat.

Beleid tersebut menerakan bahwa Kutei Lubuk Kembang memiliki wilayah adat seluas 1.005,2 hektare, termasuk di dalamnya kawasan Bukit Basah. Tercantum pula bahwa masyarakat Kutei Lubuk Kembang memiliki “hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya alam”.

Kutei Lubuk Kembang.

Mayoritas warga Kutei Lubuk Kembang adalah petani kopi. Namun, ada pula sebagian kecil yang bertani sawah di pinggiran desa. tirto.id/Fadrik Aziz Firdausi

Kesadaran Baru dan Keberdayaan Masyarakat Adat

Ketika berbincang di kantor AMAN Bengkulu, jurnalis Harry Siswoyo menunjukkan pada saya sebungkus kopi robusta dengan jenama Jangkupi. Biji kopinya asli dari kebun-kebun warga Lubuk Kembang. Hanya ceri petik merah yang mereka olah jadi Jangkupi.

Jang itu maksudnya Rejang, suku orang-orang Lubuk Kembang. Kupi itu kopi dalam dialek bahasa Rejang dan Bengkulu umumnya,” terang Harry.

Kabupaten Rejang Lebong adalah salah satu penghasil kopi robusta terbesar di Bengkulu. Kebun-kebun kopi di Lubuk Kembang adalah salah satu sumbernya. Harry bilang bahwa kopi inilah “senjatanya” orang-orang Lubuk Kembang.

Dengan jenama kopi itulah, orang-orang Lubuk Kembang menunjukkan kemandiriannya. Kopi-kopi yang ditanam di tanah leluhur mereka di Bukit Basah itulah yang menghidupi mereka. Maka Jangkupi sekaligus menjadi penegas ikatan kuat antara orang Lubuk Kembang dan tanahnya.

Jangkupi adalah jenama kopi produksi Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) Kutei Lubuk Kembang. BUMMA tersebut dirintis sekira 2020, beriring dengan upaya masyarakat adat Kutei Lubuk Kembang mempertahankan tanahnya. Jenama Jangkupi lalu diluncurkan pada 2021 dengan dukungan dari AMAN Bengkulu.

BUMMA itu usaha masyarakat. Maksudnya biar orang luar melihat bahwa Bukit Basah itu produktif,” tutur Wenni yang sekaligus menjadi Ketua BUMMA Kutei Lubuk Kembang.

Sebelum BUMMA berdiri, petani-petani Lubuk Kembang mengolah panen kopinya secara tradisional. AMAN Bengkulu lalu membantu dengan mengadakan pelatihan-pelatihan pascapanen untuk meningkatkan mutu kopi produksi Lubuk Kembang. Jangkupi adalah buah dari kolaborasi BUMMA dan AMAN Bengkulu tersebut.

Sayangnya, produksi Jangkupi kini tengah vakum. Meski begitu, edukasi yang dilakukan BUMMA kini berhasil mengubah kebiasaan masyarakat yang sebelumnya hanya tahu mengolah kopi secara tradisional.

Paling tidak sekarang masyarakat sekarang lebih paham kualitas kopinya. Kalau dulu, mau petik ya petik saja. Petik pelangi kalau mereka bilang. Sekarang, mereka mau petik merah karena sudah tahu itu lebih mahal harganya,” tutur Wenni.

Kutei Lubuk Kembang.

Jalan aspal baru yang melingkari kawasan Bukit Basah. Mempermudah akses warga ke kebun dan memperlancar proses panen kopi. tirto.id/Fadrik Aziz Firdausi

Upaya-upaya untuk mandiri secara ekonomi itulah yang membuktikan bahwa masyarakat Kutei Lubuk Kembang layak mendapat pengakuan dan perlindungan, bukannya dicerabut dari tanah tempat kehidupan mereka mengakar.

Konflik agraria dan perjuangan panjang mempertahankan hak atas tanah tradisionalnya ternyata juga membawa kesadaran baru pada masyarakat Lubuk Kembang. Yang paling awal terlihat adalah kesadaran untuk “membentengi” hak milik mereka secara legal.

Setelah terkatung-katung beberapa tahun, tutur Alfian, KLHK akhirnya secara resmi melepaskan Lubuk Kembang dari usulan kawasan HPT pada 2023 lalu. Setelah itulah, masyarakat Kutei Lubuk Kembang berbondong-bondong mendaftarkan tanahnya untuk dapat SHM.

Alhamdulillah sekarang ini kami merasa lega. Sertifikatnya memang masih dalam proses pengajuan, tapi perasaan sudah lega karena apa yang kami takutkan di tahun 2016 dulu itu sudah lewat,” terang Alfian.

Kelegaan itu juga membikin para petani kopi Lubuk Kembang kini lebih bersemangat mengolah tanahnya. Terlebih, akses jalan ke Bukit Basah telah diaspal mulus. Perkara pengangkutan hasil panen kopi jadi jauh lebih lancar karenanya.

Kesadaran lain yang juga tumbuh adalah kesadaran untuk lebih aktif merawat adat istiadat dan budaya Rejang di Kutei Lubuk Kembang. Warga menjadi lebih mafhum bahwa masyarakat adat itu jangan sampai hanya jadi sekadar nama atau label.

“Orang juga mesti bisa lihat bentuk-bentuk budaya Rejang itu. Apalagi yang hampir punah. Entah itu tari-tarian, kesenian hadroh, berejung, sarafal anam, ataupun gitar tunggal,” pungkas Alfian.

Pada akhirnya, tanah atau wilayah adat memang bukan sekadar tambatan hidup atau ekonomi belaka. Di atasnyalah masyarakat itu bertumbuh serta menghidupi adat dan kebudayaannya. []

Baca juga artikel terkait MASYARAKAT ADAT atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Mild report
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Nuran Wibisono