tirto.id - Tidak ada kejadian aneh yang dialami Musripah (64 tahun), pedagang toko kelontong "Ibu Jaya" yang berada di Pasar Mencos, Setiabudi, Jakarta Selatan, pada Senin, 16 Januari 2018. Orang datang silih berganti membeli di warungnya. Sampai kemudian muncul Budi Santoso (BS) dan Muhammad Zen (MZ). Keduanya menawarkan rokok Dji Sam Soe dengan harga yang sangat miring.
Disaksikan dua karyawan toko, Naim (27 tahun) dan Nana Sudiana (34 tahun), BS dan MZ menjual satu bal Dji Sam Soe (satu bal = 20 slop. Satu slop = 10 bungkus) dengan harga hanya Rp 2.870.000 atau setara Rp14.350/bungkus. Sebagai pembanding, di Circle K, Dji Sam Soe dijual Rp16.500/bungkus, atau setara Rp3.300.000 per bal. Ada selisih hingga Rp430 ribu.
Musripah tentu tergiur. Bayang-bayang keuntungan berlipat sudah ada di kepalanya. Kebetulan pula stok Dji Sam Soe memang sudah habis. Tadinya Musripah hendak langsung membeli dua bal, tapi batal.
"Tapi ah enggak deh, satu saja pak. Nanti minggu depan [baru dua]," kata Musripah menirukan ucapannya ketika itu kepada Tirto. Transaksi terjadi. Uang tunai diserahkan.
Tidak berapa lama setelah itu, Taufik datang membeli. Musripah menjualnya dengan harga normal meski membelinya lebih murah.
Taufik kembali pada sore hari. Pikir Musripah, pelanggan sekaligus tetangganya itu hendak membeli rokok lagi. Namun ternyata tidak. Ia datang memprotes kualitas Dji Sam Soe yang dibeli di sana.
"Dia pulangin rokok ini dan bilang tidak enak, rasanya pahit."
Musripah baru sadar kalau kemasan rokok itu memang beda dari yang biasa. Hologram Bea Cukai di kemasan ini, katanya, tidak mengilap dan agak gelap. Rokok dikembalikan, uang Taufik pun demikian.
Selepas kejadian itu, Musripah tidak lagi menjual rokok yang terindikasi palsu itu. Ia juga belum sempat membeli Dji Sam Soe di tempat biasa sampai kemudian anaknya, Wijaya Purnama, melihat BS dan MZ di sekitar warung, 26 Januari. Wijaya mengenal wajah pelaku karena di warung ibunya terpasang CCTV. Transaksi Dji Sam Soe terindikasi palsu terekam di sana.
Dibantu Nana, Wijaya kemudian menghampiri BS dan MZ. Cekcok tak terhindarkan. Kunci motor BS dan MZ diambil paksa agar keduanya mau bertanggung jawab.
"Saya paksa. Saya ambil kunci motornya baru dia mau ke ibu Jaya [Musripah]," kata Nana.
Tanpa basa basi, Musripah menghardik mereka dan bertanya apa betul bahwa rokok yang dijual palsu atau tidak. BS dan MZ kemudian mengakuinya setelah diberondong pertanyaan. Musripah meminta BS dan MZ mengembalikan uang, tapi tidak disanggupi meski berniat untuk itu.
"Mereka mau ganti tapi tidak punya uang, akhirnya kami serahin ke kepolisian," jelas Musripah. Kantor polisi terdekat adalah Polsek Metro Setiabudi, hanya berjarak satu kilometer dari warung.
Pembuat Rokok Mantan Pengusaha Percetakan
Setelah melakukan pendalaman kasus, Kapolsek Metro Setia Budi AKBP Irwa Zaini Adib memastikan bahwa rokok yang BS dan MZ jual memang palsu. Rokok tersebut, katanya, didapat dari kakak kandung BS bernama Bambang Sudarmaji. Rabu, 31 Januari, Bambang Sudarmaji akhirnya ditangkap.
Namun sang produsen rokok palsu bukan Bambang Sudarmaji, melainkan Tan Han Ging alias Gino. Senin, 5 Februari lalu, polisi menangkap Gino di pabrik pembuatan rokok di Perum Bayur Sarana Indah, Tangerang. Polisi juga mengamankan barang bukti dua karung kertas pembungkus rokok (papir) berstempel Sampoerna, dua set alat pelinting, satu ember plastik berisi tembakau, satu ikat papir berlogo Dji Sam Soe, dan satu kardus berisi kertas pembungkus rokok.
Menurut Irwa, Gino bisa melakukan ini karena ia berpengalaman dalam usaha percetakan. Ia, kata Irwa, pernah punya usaha percetakan di Jawa Tengah. Produksi rokok palsu telah dilakukan sejak Juni tahun lalu dan area distribusinya di seluruh Jakarta.
"Tersangka Gino dan tiga orang pekerja sehari dapat membuat satu sampai dua bal rokok palsu. Keuntungannya sebulan Rp10 juta," kata Irwa kepada Tirto, Selasa (13/2/2017).
Gino, Bambang Sudarmaji, Budi Santoso, dan Muhammad Zen dijerat Pasal 386 KUHP dengan ancaman penjara maksimal empat tahun dan Pasal 62 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan ancaman penjara lima tahun dan denda paling banyak Rp2 miliar.
Penulis: Naufal Mamduh
Editor: Rio Apinino