tirto.id - Ceramah kultum Ramadhan singkat 2022 hari ke-27 mengambil tema tentang makna mudik Lebaran.
Tak terasa sebentar lagi Ramadhan 1443 Hijriah akan meninggalkan kita, dan umat muslim bersiap menyambut hari kemenangan Idul Fitri atau Lebaran.
Ceramah Kultum Ramadhan 2022 Hari ke-27
Menyambut Idulfitri tentu banyak tradisi yang dilakukan masyarakat, di Indonesia salah satunya adalah tradisi mudik.
Mudik, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pulang ke kampung halaman, dan ini merupakan kegiatan perantau atau pekerja migran yang kembali ke kampung halamannya selama beberapa waktu, salah satunya ketika menjelang Lebaran.
Dalam jurnal "Mudik dalam Perspektif Budaya dan Agama" (2022) yang ditulis Umar Kayam disebutkan bahwa mudik adalah tradisi primordial atau tradisi paling dasar, dalam masyarakat petani Jawa.
Tradisi petani Jawa saat mudik tersebut di antaranya mengunjungi kampung kelahiran untuk berziarah ke makam para pendahulunya.
Ikatan kehidupan duniawi tidak bisa dilepaskan dari kehidupan setelah di dunia. Oleh karena itu, orang-orang tetap menziarahi kuburan-kuburan leluhur untuk mendoakan keselamatannya.
Dalam waktu tertentu orang-orang akan menyempatkan untuk berkunjung ke makam walau terhalang oleh kondisi geografis maupun ekonomi. Hal ini yang kemudian melahirkan tradisi mudik.
Lalu bagaimana kita sebagai umat muslim memaknai mudik Lebaran ini?
Masih menurut Umar Kayam, Islam datang menghilangkan beberapa tradisi yang dianggap syirik, termasuk ziarah kubur.
Tetapi kemudian, Islam dan tradisi di Jawa dapat berakulturasi sehingga masyarakat bisa menerima dengan harmoni. Perlahan ziarah kubur dapat diterima dengan disisipi ajaran agama.
Sementara Kuntowijoyo (2006:109) menyebutkan mudik sebagai kesadaran balik. Mudik ke kampung kelahiran merupakan upaya untuk membebaskan diri dari kesibukan aktivitas kota yang cenderung individualistik.
Istilah mudik sendiri bisa disamakan dengan kata udik, di mana perilaku asli manusia seharusnya mencerminkan keaslian diri seperti kolektif, jujur, dan peduli terhadap sesama sebagai ciri khas warga tempat asal.
Dikutip laman NU Online, mudik memiliki makna dimensi spritual yang nilainya tidak bisa diukur dengan materi apa pun di dunia ini, jadi bukanlah sekadar hanya pulang ke kampung halaman.
Jarak jauh melintasi laut dan sungai, medan terjal dan jalan berliku, ditambah waktu, tenaga, serta biaya yang harus dikeluarkan untuk mudik, tidak bisa menghalangi rasa kangen yang membuncah kepada tanah kelahiran.
Meskipun ada berbagai teknologi canggih seperti telepon, media sosial, maupun video call, tetap saja tidak akan bisa menggantikan kualitas pertemuan langsung dengan sanak kerabat di kampung halaman.
Kemewahan perkotaan tak kan bisa menggantikan manisnya kenangan kesederhanaan bersama teman masa kecil yang selalu terbayang jelang lebaran.
Kerinduan kepada tanah kelahiran seperti ini juga pernah dirasakan oleh Nabi Muhammad saw seperti yang tersebut dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi yang artinya:
“Berkata Rasulullah saw, “Alangkah indahnya dirimu (Makkah). Engkaulah yang paling ku cintai. Seandainya saja dulu penduduk Mekah tidak mengusirku, pasti aku masih tinggal di sini” (HR al-Tirmidzi).
Hakikat mudik juga adalah kembali ke pangkuan orang tua. Jadi bagi yang masih memiliki orang tua, mudik bisa menjadi momentum tepat untuk bersimpuh kepada kedua orang tua kita atas segala khilaf dan kesalahan yang selama ini telah diperbuat kepada mereka.
Sementara bagi yang orang tuanya sudah dipanggil Allah SWT, sempatkanlah waktu untuk menziarahi makam mereka dan bersihkan pusaranya.
Tentu saja orang tua menunggu panjatan doa dari kita. Mereka pasti akan tersenyum melihat kehadiran dan doa yang kita panjatkan.
Editor: Addi M Idhom