tirto.id - Anak-anak telah menjadi korban karena dilibatkan dalam aksi terorisme yang menyasar Surabaya dan Sidoarjo pada 13 dan 14 Mei lalu. Hal ini disesalkan karena orang tua seharusnya menjadi pelindung utama anak-anaknya.
Alih-alih melindungi, pelaku serangan teror di Sidoarjo, misalnya, justru menutup lingkungan pergaulan anak-anak mereka. Bahkan, anak-anak tersebut tidak disekolahkan.
Mengantisipasi hal yang serupa kembali terjadi, Pemerintah Kota Surabaya berupaya membentengi anak-anak di sekolah dari pengaruh buruk masuknya paham radikal. Mereka akan menyiapkan alat pendeteksi dini suasana hati siswa ketika datang ke sekolah.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya M. Ikhsan mengatakan, alat pendeteksi dini tersebut sesuai arahan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang disampaikan kepada para kepala sekolah SD/MI, SMP/MTs, madrasah diniyah dan pondok pesantren se-Kota Surabaya pada Rabu (16/5/2018).
"Apakah anak tersebut sedih atau senang. Nanti ada alat pendeteksi semacam itu dibantu guru bimbingan konseling (BK) dan wali kelas," ujar Ikhsan di Surabaya, Kamis (17/5/2018), seperti dikutip Antara.
Selain itu, lanjut dia, pihaknya juga akan membuat software sederhana untuk memasukkan nama anak-anak yang tidak sekolah agar terdata dengan baik.
"Kami akan mendalami jika terdapat anak yang dalam kurun waktu satu hari tidak masuk sekolah," ujarnya.
Tri Rismaharini sebelumnya mengatakan pihaknya meminta para guru memperhatikan dan melaporkan anak yang secara tiba-tiba tidak sekolah.
"Segera saya koordinasikan dengan Pak Ikhsan [Kadinas Pendidikan Kota Surabaya]," kata Risma menerangkan.
Selain itu, lanjut dia, untuk mengantisipasi agar anak-anak tidak trauma, pihaknya menyediakan wadah trauma center bagi korban bom maupun yang berada di lingkaran teroris, khususnya anak-anak.
Saat ini, dirinya telah berkoordinasi bersama dengan jemaat gereja, organisasi perangkat daerah (OPD) Pemkot Surabaya terkait dan profesi himpunan psikologi klinis dan sekolah.
"Metode pendampingan satu anak akan didampingi satu psikolog baik ketika di rumah sakit, di rumah maupun di sekolah," ujarnya menjelaskan.
Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan tujuh anak dari pelaku terorisme tidak hanya memerlukan rehabilitasi medis sosial dan psikologis. Mereka, menurut KPAI, juga perlu sentuhan pemahaman agama yang tepat.
“Tentu kita berharap jika ada potensi infiltarasi radikalisme dari pola pengasuhan sebelumnya yang dilakukan oleh terduga pelaku, tentu harus dihilangkan, agar ke depan anak memiliki pemahaman keagamaan dan kebangsaan yang tepat,” kata Ketua KPAI Susanto melalui keterangan tertulis, Rabu (16/5/2018).
Susanto menegaskan, perlu adanya penilaian terhadap keluarga yang akan mengasuh anak-anak tersebut usai kondisi mereka dinyatakan sehat.
“Harus dipastikan keluarga terdekat yang mendapatkan hak mengasuh anak adalah orang yang tidak memiliki pemahaman yang radikal,” ungkapnya.
Editor: Yuliana Ratnasari