tirto.id - Persoalan HAM masih menjadi pekerjaan rumah bagi rezim yang berkuasa. Kasus-kasus HAM lama hingga persoalan HAM di Papua masih menjadi catatan. Kinerja pemerintah dalam penanganan HAM dapat dilihat dari indeks HAM yang dibuat organisasi pegiat HAM.
Setara Institute, organisasi yang fokus pada masalah pluralisme, kemanusiaan, demokrasi dan hak asasi manusia, mengeluarkan laporan Indeks Kinerja Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Indeks ini merupakan hasil dari survei persepsi tentang situasi HAM di Indonesia. Ada 8 variabel pengukuran, yaitu penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu; kebebasan berekspresi dan berserikat; kebebasan beragama/berkeyakinan; hak rasa aman warga dan perlindungan warga negara; penghapusan hukuman mati; penghapusan diskriminasi; hak atas ekonomi, sosial, dan budaya; serta RANHAM (Rencana Aksi Nasional HAM) dan kinerja lembaga HAM.
Tren data indeks kinerja HAM menunjukkan peningkatan sejak 2014 hingga 2016; pada 2014 skor indeks sebesar 2,25 dan naik menjadi 2,83 pada 2016 (skor tertinggi 7). Namun, peningkatan tersebut tidak signifikan lantaran kenaikannya hanya sebesar 0,58 dalam rentang tiga tahun. Selain itu, skor 2 pada indeks menunjukkan bahwa performa kinerja HAM Indonesia masih sangat rendah. Sayangnya indeks ini hanya mencatat hingga periode 2016 saja.
Bila merujuk laporan Setara, selama dua tahun pemerintahan Jokowi-JK, masalah HAM belum menunjukkan kemajuan signifikan. Setara Institute menilai, agenda pemajuan dan pemenuhan HAM belum menjadi perhatian pemerintahan Jokowi-JK. Pemerintah masih dianggap fokus pada ekonomi dan infastruktur.
Bila ditilik, sub indeks dengan performa kinerja HAM paling rendah adalah penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Selama tiga tahun berturut-turut performanya tidak berubah dengan skor indeks di bawah angka dua. Sub indeks dengan skor terendah lainnya adalah kebebasan berekspresi/berserikat yang skornya terus menurun dengan rentang skor 2,10-2,24 dan kebebasan beragama/berkeyakinan dengan rentang skor 2,24-2,57 pada 2014 sampai 2016.
Hal yang termasuk dalam penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu adalah kasus penghilangan orang secara paksa, Peristiwa 1965, Kasus Tanjung Priok, Kasus Trisakti, Semanggi I dan II, Kasus Pembunuhan Munir, Kasus Wamena-Wasior, dan Prakarsa Pengungkapan Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Pada sub indeks kebebasan berekspresi/berserikat juga menurun, lantaran pembubaran kegiatan diskusi dan kriminalisasi terhadap aktivis HAM, warga Papua, dan jurnalis. Juga termasuk dalam kebebasan beragama adalah kebebasan mendirikan tempat ibadah, perlindungan kebebasan beragama/berkeyakinan terhadap agama/keyakinan minoritas, regulasi negara yang membatasi kebebasan beragama, penanganan/peradilan terhadap kasus kekerasan terhadap kelompok agama/keyakinan minoritas.
Selain Setara Institute, kinerja HAM di Indonesia juga dapat dilihat dari laporan Rule of Law Index keluaran The World Justice Project (WJP), organisasi multidisiplin dan independen yang berupaya meningkatkan kualitas negara hukum di seluruh dunia.
Indikator dikelompokkan menjadi delapan faktor, yaitu pembatasan kekuasaan pemerintah, ketiadaan korupsi, pemerintahan yang terbuka, hak-hak fundamental, ketertiban dan keamanan, penegakan peraturan, hukum perdata, dan hukum pidana.
Untuk meninjau kinerja HAM Indonesia, maka dapat merujuk pada faktor hak fundamental yang mengukur perlindungan HAM yang berdasarkan Deklarasi Universal Manusia dan yang paling terkait erat dengan masalah peraturan hukum.
Faktor ini mencakup kepatuhan terhadap hak-hak fundamental berikut: penegakan hukum yang efektif yang memastikan perlindungan yang sama, hak untuk hidup dan keamanan orang tersebut, proses hukum yang berlaku dan hak-hak terdakwa, kebebasan berpendapat dan berekspresi, kebebasan berkeyakinan dan agama, hak atas privasi, kebebasan berkumpul dan berserikat, dan hak-hak buruh yang mendasar.
Sepanjang empat tahun terakhir, skor Indonesia untuk faktor fundamental ini cenderung menurun. Secara berturut-turut, Indonesia memperoleh skor sebesar 0,54 pada 2014, lalu turun jadi 0,52 pada 2015 dan 2016, serta 0,51 pada 2017-2018 (skor tertinggi 1). Pada 2017-2018, Indonesia menempati peringkat 63 dari 113 negara. Hal ini menunjukkan lemahnya penerapan dan rendahnya kepatuhan hukum di bidang HAM, akibatnya perlindungan dan pemenuhan HAM pun tak maksimal.
Dari delapan sub faktor, skor terendah Indonesia ada pada proses hukum. Faktor proses hukum angkanya tak berubah dalam empat tahun terakhir; ada di kisaran skor 0,35-0,37. Hal ini mengindikasikan bahwa proses hukum yang berlaku tak berjalan dengan semestinya. Tak heran jika kinerja HAM Indonesia pun tak begitu baik.
Berdasarkan data juga terlihat turunnya tiga skor sub faktor antara lain: Pertama, soal tidak ada diskriminasi. Sub faktor ini pada 2014 sempat sebesar 0,51 lalu turun menjadi 0,42 pada 2017-2018. Selain itu, Kedua skor faktor kebebasan berkumpul yang turun dari 0,72 pada 2015 menjadi 0,66 pada 2017-2018 dan skor faktor Ketiga, kebebasan berekspresi dari 0,74 pada 2014 menjadi 0,67 pada 2018.
Tren ketiga sub faktor yang terus menurun ini bisa terlihat dari contoh kasus-kasus diskriminasi, ancaman, dan pelanggaran kebebasan. Bentuk ancaman dan pelanggaran kebebasan contohnya adalah penyalahgunaan UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang disahkan pada 2008 dan direvisi pada 2016. UU ini sering menjadi jerat pidana dan menjatuhkan banyak korban, termasuk dalam kebebasan pers. Salah satunya adalah, Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes), Fathur Rokhman melaporkan Pemimpin Redaksi Serat.id, ke Polda Jawa Tengah dengan pasal 27 ayat (3).
Laporan itu terkait empat seri liputan Serat.id pada 30 Juni 2018 atas dugaan plagiat karya ilmiah yang dilakukan oleh Fathur Rokhman. UU ITE juga digunakan sebagai senjata politik untuk menjatuhkan lawan. Hal ini terlihat dari tingginya pelaporan kasus di tahun-tahun politik.
Ihwal kebebasan beragama, beberapa kasus yang membikin ramai adalah penyerangan terhadap minoritas agama, seperti Ahmadiyah, Kristen, Syiah, Muslim Sufi, dan kepercayaan lokal pada 2014. Ada juga kasus pidana penjara selama tiga tahun terhadap dua pemimpin komunitas religius Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), Ahmad Moshaddeq selaku pendiri dan Mahful Muis Tumanurung selaku Ketua Umum; wakilnya, Andry Cahya, pada Maret 2017.
Belum lagi ihwal sangkaan penistaan agama yang semakin banyak. Kasus penistaan agama paling banyak dilakukan pada 2016. Pada periode ini, sebanyak 14 kasus yang terjadi. Salah satu yang menjadi sorotan adalah pidato Ahok saat kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu yang disertai kutipan surat Al Maidah ayat 51. Video dari pidato ini viral melalui jejaring Facebook milik Buni Yani.
Di atas kertas terkait indeks HAM, pemerintah memang belum mampu membuat perubahan signifikan dalam penegakan HAM dan menyelesaikan perkara HAM. Komitmen dalam menaruh perhatian kuat terhadap penghormatan, perlindungan, pemenuhan, dan penegakan HAM belum menunjukkan keseriusan.
Catatan Human Right Watch (HRW), masih ada persoalan soal kebebasan beragama, kebebasan berekspresi dan berkumpul, hak-hak perempuan dan anak perempuan, Papua dan Papua Barat, orientasi seksual dan identitas gender, reformasi dan impunitas militer, hak-hak anak, hak-hak penyandang disabilitas, dan pembunuhan tanpa proses peradilan
Padahal dalam Pidato Kenegaraan Sidang Tahunan MPR, Kamis (16/8), Presiden Joko Widodo mengungkapkan bahwa pemerintah menaruh perhatian kuat terhadap penghormatan, perlindungan, pemenuhan, dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Salah satu langkah yang telah ditempuh, menurut Jokowi, adalah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 33 tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Tahun 2015-2019.
“Pemerintah berupaya mempercepat penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu serta meningkatkan perlindungan HAM agar kejadian yang sama tidak terulang lagi di kemudian hari,” ujar Jokowi.
Editor: Suhendra