Menuju konten utama

Catatan Gempa di Dunia

Gempa sebuah peristiwa alam yang rutin terjadi hampir sepanjang hari di berbagai belahan bumi. Indonesia termasuk yang sudah akrab dengan gempa karena berada di kawasan jalur lempeng dunia. Meski demikian, kedatangan gempa tetap saja membuat kaget dan memunculkan kecemasan.

Catatan Gempa di Dunia
Warga menyaksikan rumah toko (ruko) yang roboh akibat gempa 6,5 SR di Lintasan jalan nasional Desa Ulee Glee, Kecamatan Bandar Dua, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, Rabu (7/12). Data sementara BNPB menyebutkan korban meninggal akibat gempa sebanyak 52 orang, 73 orang luka berat dan 200 luka ringan dan ratusan bangunan rusak, jaringan listrik putus serta beberapa ruas jalan nasional rusak. ANTARA FOTO/Ampelsa/ama/16

tirto.id - Gempa bumi tektonik berkekuatan 6,5 skala richter mengguncang Kabupaten Pidie Jaya, Porvinsi Aceh pada Rabu (7/12/2016) sekitar pukul 05.36 WIB. Pusat gempa terletak pada 5,25 LU dan 96,24 BT, tepatnya di darat pada jarak 106 km arah tenggara Kota Banda Aceh pada kedalaman 15 km.

Antara melaporkan, empat orang dikabarkan meninggal dunia akibat gempa ini. Sementara belasan bangunan roboh, dan puluhan orang dilarikan ke rumah sakit. Gempa kali ini tidak berpotensi tsunami.

Pada 19 Oktober lalu, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) juga mengumumkan gempa 6,5 SR yang dirasakan hingga ke wilayah yang jauh dari titik lokasi seperti Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, hingga Bali. BMKG dalam penjelasannya mengungkapkan gempa mengguncang luas meliputi Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Padang.

“Pusat gempa terletak pada koordinat 4,98 LS dan 108,15 BT tepatnya di Laut Jawa sebelah utara Jawa Barat dengan hiposenter mencapai kedalaman 615 km. Sehingga wajar dengan kedalaman ini guncangan gempa tersebar dalam spektrum sangat luas,” kata Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG Daryono.

Yang membedakan gempa kali ini dengan gempa di sekitar Jabodetabek sebelumnya karena gempa bumi pagi tadi berada di rentang kedalaman sekitar 600 km di Laut Jawa, dan dianggap sebagai fenomena menarik, karena sangat jarang terjadi. Secara tektonik, zona Laut Jawa terletak di zona pertemuan lempeng Indo-Australia menyusup curam ke bawah Lempeng Eurasia hingga kedalaman sekitar 625 km.

“Aktifnya "deep focus earthquake" di Laut Jawa ini menjadi petunjuk bagi kita semua bahwa proses subduksi lempeng dalam di utara Pulau Jawa hingga kini masih berlangsung,” jelas Daryono.

Pernyataan BMKG ini bukan menakut-nakuti, karena kenyataannya wilayah Indonesia rutin dihantam gempa bumi, dan bisa terjadi kapan dan di mana saja. Berdasarkan data BNPB dari Januari-September 2016 sudah terjadi gempa 10 kali yang terjadi Februari, Maret, April, Juni, Agustus, dan Oktober di seluruh Indonesia.

Gempa yang terjadi sudah memakan korban jiwa dua orang, dan luka-luka 42 orang. Gempa juga telah membuat 972 orang mengungsi, dan 4462 rumah rusak. Frekuensi gencana gempa di Indonesia memang masih rendah bila dibandingkan dengan bencana lainnya seperti banjir yang telah terjadi sebanyak 584 kali, puting beliung 460 kali, dan tanah longsor 394 kali.

Dalam skala yang lebih luas di dunia, gempa merupakan salah satu bencana yang banyak menelan korban nyawa hingga materi.

Statistik Gempa

Kedatangan sebuah gempa dari yang skala paling ringan sampai berat atau besar yang terjadi di dunia tak akan pernah terbayangkan. Sebuah lembaga riset Amerika Serikat (AS), United States Geological Survey (USGS) memperkirakan ada jutaan kali gempa yang terjadi dalam setiap tahun di penjuru dunia. Dari jumlah yang super banyak itu, tak semuanya terdeteksi oleh manusia karena lokasi gempanya di daerah terpencil dan getarannya lemah.

The National Earthquake Information Center (NEIC) mencatat rata-rata ada sekitar 50 gempa bumi setiap hari (data hingga 2012) yang terekam atau sekitar 20.000 gempa dalam setahun. Pencatatan manusia terhadap gempa makin hari makin baik karena banyaknya alat seismograf yang terpasang di berbagai penjuru dunia.

Data USGS mencatat sejak 2000-2012 gempa skala besar dengan kekuatan 8-9,9 skala richter yang terjadi di dunia relatif konstan berada dalam rentang 1-2 kali terjadi dalam setahun. Gempa besar banyak terjadi pada 2007 hingga 4 kali. Saat Aceh dilanda gempa dahsyat 9,1 skala richter dan tsunami pada 2004, pada tahun yang sama ada satu peristiwa gempa dengan kekuatan relatif sama.

Selama kurun waktu 12 tahun, jumlah gempa yang terjadi terendah pada 2009 yang tercatat ada 14.825 kali gempa. Kejadian gempa terbanyak justru terjadi pada 2004 yang mencapai 31.194 kali gempa. Intensitas gempa yang melanda dunia setiap tahun berbanding lurus terhadap dampak korban jiwa yang ditimbulkan. Pada 2004 diperkirakan ada 228.802 orang meninggal akibat gempa besar.

Yang perlu dikhawatirkan adalah adanya tren soal intensitas gempa per tahun yang tercatat di dunia makin meningkat. Masih menggunakan data USGS, sejak 1990-1999 atau kurun waktu 9 tahun jumlah gempa yang terjadi pada periode ini tak ada yang sampai menembus 30.000 kali gempa. Angka tertinggi gempa maksimal 21.000 kali dan terendah 16.000-an kali. Namun bisa jadi karena faktor pencatatan gempa yang tak sebaik dibandingkan masa kini.

Dari sisi jumlah korban pun terlihat adanya tren peningkatan. Pada kurun 1990-1999, jumlah korban jiwa terbanyak hanya 52.000 orang yang terjadi pada 1990 justru di saat intensitas gempa di dunia tercatat lebih rendah. Statista mencatat dalam kurun waktu 116 tahun sejak 1900-2016, tercatat ada 10 negara yang paling terkena dampak gempa bumi berdasarkan jumlah korban jiwa.

Cina menduduki peringkat pertama dengan korban jiwa hingga 876.478 jiwa disusul oleh Haiti dengan jumlah korban jiwa 222.576 orang. Indonesia di peringkat ke-3 dengan kematian akibat gempa 198.487 orang, dibayangi oleh Jepang di peringkat ke-4. Italia juga masuk daftar, di peringkat ke-8 dengan 115.645 korban jiwa. Jumlah korban jiwa ini juga dipengaruhi seberapa besar daya gempa terjadi.

Infografik Statistik Gempa di Dunia Remake

Gempa Besar

Data USGS juga mencatat sejak 2012-2014 terjadi gempa skala besar di dunia, pada April 2012 terjadi gempa besar 8,6 skala richter di pantai barat Sumatera Utara, kemudian setahun berikutnya pada Mei terjadi gempa besar 8,3 skala richter di Laut Okhotsk, Pasifik, dan pada April 2014 terjadi gempa besar di Chili, setelah itu menyusul pada 2015 terjadi gempa besar di Nepal.

Ketakutan terhadap kematian akibat gempa skala besar menjadi tantangan bagi umat manusia. Sejak gempa Aceh 12 tahun lalu, para ilmuwan mencoba meraba-raba soal potensi gempa skala besar di masa mendatang. Secara statistik, pasca 2004 memang gempa besar terjadi hampir setiap tahun bahkan lebih dari satu kali per tahun.

Dalam sebuah tulisan yang berjudul “Are large earthquakes increasing in frequency?” di earthsky.org pada 2012 lalu, ada studi yang dilakukan oleh Scripps Institution of Oceanography dan University of California yang mencoba menganalisa peristiwa gempa termasuk gempa besar secara historis dalam kurun waktu 1900-2011.

Tercatat adanya gempa besar yang tak seperti biasanya pada kurun waktu 1950 hingga 1965, juga terjadi penurunan aktivitas seismik dalam rentang 1996-2003. Hasilnya dari hitung-hitungan matematika yang dilakukan ilmuwan, tak ada bukti yang menunjukkan peningkatan aktivitas seismik yang signifikan sejak 2004.

“Ilmuwan menyimpulkan bahwa frekuensi gempa bumi skala besar tidak lebih tinggi pada saat ini dibandingkan yang terjadi pada masa lalu,” kata Deanna Conners, seorang ilmuwan lingkungan dikutip dari earthsky.org.

Selain ilmuwan yang mencoba “menenangkan” kegundahan umat manusia terhadap gempa, ada juga yang berpendapat cukup mengerikan. Media Time, tahun lalu menulis soal potensi kerusakan besar bakal menimpa tiga kota besar di dunia yaitu Tehran, Istanbul, dan Los Angeles akibat gempa besar. Namun, tak ada yang bisa memastikannya itu benar-benar akan terjadi.

Manusia memang hanya mampu melakukan hitung-hitungan apa yang akan terjadi di masa depan, tapi tak ada yang tahu pasti kapan dan bagaimana gempa menghantam termasuk yang akan terjadi di laut Jawa dan daerah lainnya pada masa mendatang. Yang bisa dilakukan manusia hanya menyiapkan kemungkinan terburuk dari potensi gempa yang akan datang di masa depan. Khususnya masyarakat Indonesia, mau tak mau harus bersahabat dengan gempa.

Baca juga artikel terkait GEMPA atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti