tirto.id - Tidak semua orang bisa memahami keputusan Cristiano Ronaldo hengkang dari Madrid ke Turin. Salah satunya bahkan legenda hidup Juventus sendiri, Michel Platini, yang mempertanyakan kepindahan kapten tim nasional Portugal itu ke La Vecchia Signora.
“Saya pikir itu agak janggal. Dia meninggalkan Real Madrid pada usia 33 tahun, tim yang membawanya juara Liga Champions berturut-turut. Sangat aneh dia ingin mencari pengalaman baru,” ucap Platini kepada media Perancis, L'Equipe,pada Agustus 2018.
Mantan pemain yang turut mengantarkan Les Blues juara Piala Eropa 1984 ini menilai, CR7 seharusnya tetap di Real Madrid atau menutup kariernya saja ketimbang pindah ke Juventus dan harus beradaptasi dengan Liga Italia yang amat berbeda dengan sepakbola Spanyol, Inggris, atau Portugal.
Platini mencontohkan dirinya yang pensiun pada 1987 setelah meraih sederet trofi bersama Juventus. Berkiprah di Italia sejak 1982, ia menjadi salah satu kunci sukses Bianconeri pada periode itu dengan mengoleksi dua gelar scudetto, serta menjadi kampiun Liga Champions, Piala Winners, Piala Super Eropa, Piala Interkontinental, hingga Coppa Italia.
“Saya memutuskan gantung sepatu pada usia 32 tahun walaupun masih banyak tim menginginkan saya. Saya berhenti karena saya sudah letih. Kepindahan Cristiano Ronaldo sangat aneh,” tegas Platini sekali lagi.
Kekhawatiran sang legenda memang sempat terjadi. Di laga-laga awal Serie A, Cristiano Ronaldo merasakan betapa susahnya membobol gawang lawan. Berbagai sorotan tajam pun mulai menerpa eks pemain Sporting Lisbon dan Manchester United itu.
Namun, kini Platini boleh kembali heran, karena Cristiano Ronaldo mulai membuktikan bahwa misi menaklukkan Italia bukan hal yang mustahil ia lakukan pada usia yang sudah tidak muda lagi.
Pragmatis vs Idealis?
Mengacu dari pengakuannya sendiri, maka Platini boleh dibilang berbeda nyali dengan Cristiano Ronaldo. Platini memilih main aman dengan mengakhiri karier usai bergelimang prestasi. Sementara Ronaldo merasa masih sanggup bersaing di level tertinggi dan bergabung dengan raksasa Italia, Juventus, meskipun keputusan ini memang berisiko cukup tinggi.
Platini dan Ronaldo sama-sama digdaya pada zamannya. Selain sukses di kancah klub, Platini mengukir pula seabrek pencapaian pribadi, termasuk meraih gelar Ballon d'Or tiga kali beruntun yakni tahun 1983, 1984, dan 1985—gelar yang nantinya juga direngkuh Ronaldo sebanyak lima kali pada 2008, 2013, 2014, 2016, serta 2017.
Torehan prestasi Platini dan Ronaldo di level tim nasional nyaris serupa. Keduanya sama-sama belum mampu membawa negaranya menjuarai Piala Dunia, namun sudah berhasil menggapai trofi Piala Eropa.
Mengemas 72 caps dan 41 gol bagi Les Blues selama periode 1976-1987, Platini paling banter mengantarkan Perancis menempati posisi ketiga Piala Dunia 1986 di Meksiko. Sebelumnya, gelar juara Piala Eropa 1984 ia raih setelah membekuk Spanyol dengan skor 2-0 di Paris. Platini mencetak satu gol untuk Perancis di partai puncak itu.
Ronaldo yang sejak 2003 mengoleksi 154 caps dan 85 gol di tim nasional juga nyaris sama. Di Piala Dunia 2006, Portugal hanya finish di tempat ke-4 setelah dikandaskan tuan rumah Jerman. Tepat satu dekade berselang, CR7 memimpin Portugal menjuarai Piala Eropa 2016 berkat kemenangan tipis 0-1 atas Perancis, negaranya Platini, yang juga bertindak sebagai tuan rumah.
Dalam hal pengaruh dan prestasi, bolehlah Platini dan Ronaldo disandingkan. Namun, jika bicara soal nyali serta ambisi, Ronaldo punya hasrat yang jauh lebih tinggi.
Juventus adalah klub satu-satunya di luar Perancis yang pernah diperkuat Platini. Ia mengawali karier profesional di lapangan hijau bersama AS Nancy pada 1972. Kehadiran Platini sempat mengangkat derajat klub ini dengan meraih gelar juara Ligue 2 musim 1974/75 dan Coupe de France pada 1977/78.
Setelah 8 tahun membela AS Nancy, Platini digaet Saint-Etienne pada akhir musim 1979/80. Hanya semusim berselang, ia langsung membawa klub barunya itu merengkuh trofi kampiun Ligue 1 pada 1980/81. Juventus pun kepincut dan memboyong Platini ke Turin di musim berikutnya.
Platini meninggalkan tanah airnya dan merantau ke Italia saat memasuki usia emas sebagai pesepakbola, 27 tahun. Ia memang sudah sangat siap untuk naik level. Hingga menuntaskan karier sepakbolanya di Turin pada 1987, Platini telah bermain sebanyak 147 pertandingan dan melesakkan 68 gol di Serie A untuk La Vecchia Signora.
Diakui atau tidak, Platini lebih suka main aman bahkan cenderung pragmatis. Selain keputusannya gantung sepatu di usia 32, ia juga sempat memperkuat tim nasional Kuwait pada 1988.
Kala itu memang belum ada larangan seorang pemain membela dua tim nasional yang berbeda. Keputusan Platini yang seolah-olah “menggadaikan” nasionalismenya dengan menjadi warga negara Kuwait tentunya bukan tanpa alasan. Terlebih lagi, kepindahannya ke Timur Tengah ditengarai atas ajakan seorang Emir berpengaruh di Kuwait.
Sempat berkiprah sebagai pelatih, Platini pada akhirnya terjun ke ranah yang lebih politis. Ia maju dan terpilih sebagai Presiden Konfederasi Sepakbola Eropa, UEFA, pada 2007. Platini mundur pada 2015 lantaran diduga terlibat kasus korupsi yang menyeret nama Presiden FIFA saat itu, Sepp Blatter.
Platini terbukti telah menerima uang haram sebesar 1,3 juta euro dari Blatter. Ia kemudian dijatuhi hukuman dilarang beraktivitas di ranah sepakbola selama 4 tahun. Pragmatisme dan politik sepakbola mencemari nama besar Platini.
Pembuktian Ronaldo di Italia
Amat berbeda dengan Platini, Cristiano Ronaldo hijrah ke Inggris memenuhi pinangan Manchester United (MU) saat masih remaja 18 tahun. Kendati sudah menjadi pemain andalan Sporting Lisbon di Liga Utama Portugal musim 2002/2003, keputusan Ronaldo ini tetap saja ibarat perjudian bagi perjalanan kariernya, sekaligus suatu keberanian.
Ronaldo lebih bernyali mengambil risiko, bahkan di umur yang masih sangat belia, dengan merumput di Premier League yang punya karakter sepakbola sangat jauh berbeda dari gaya latin di negerinya, Portugal.
Perbedaan dan tekanan tinggi di Inggris ternyata mampu dilalui Ronaldo dengan mulus. Memperkuat MU di bawah asuhan Sir Alex Ferguson sejak 2003, ia menjadi salah satu pemain muda paling bersinar. Kepindahan ke Real Madrid pada 2009 semakin memantapkan pamornya sebagai salah satu pesepakbola terbaik dunia.
Tantangan terbesar Ronaldo justru terjadi di usianya yang ke-33 ketika ia memutuskan pindah ke Juventus menjelang musim 2018/2019. Seperti kata Platini, karier Ronaldo yang sudah setinggi langit dipertaruhkan di Italia, terlepas dari penyebab hengkangnya Ronaldo dari Real Madrid.
Tiga pertandingan awal di Serie A musim pertamanya, yakni melawan Chievo, Lazio, dan Parma, sang bintang belum mampu bikin gol. Kondisi ini sempat menuai ramai. Sama seperti anggapan Platini, Ronaldo diragukan mampu berbuat banyak di Liga Italia yang terkenal dengan kerumitan taktik dan segenap dramanya.
Akhirnya di pekan ke-4, Cristiano Ronaldo membuktikan bahwa ia belum habis. Dua gol diborongnya saat Juventus menghantam Sassuolo dengan skor 2-1. Sejak saat itu, gol demi gol mengalir dari aksi sang superstar.
Hingga pekan ke-13, sudah 9 gol plus 5 assist dilesakkan Ronaldo untuk Juventus di Serie A musim ini, ditambah 1 gol di Liga Champions dalam 4 laga. Sang Nyonya Tua pun semakin kokoh memimpin puncak klasemen dengan jarak poin yang cukup jauh dari rival-rivalnya.
Satu gol yang dibuatnya saat Bianconeri menggasak SPAL dengan skor 2-0 pada 25 November 2018 lalu menghadirkan tambahan rekor dalam karier Cristiano Ronaldo dan riwayat klub Juventus serta Serie A.
Cristiano Ronaldo menjadi pemain pertama sejak musim 1968/1969 di Serie A yang bisa membukukan 9 gol dalam 13 laga di musim perdana. Ia menyamai rekor legenda Juventus, Petro Anastasi, yang tak tersentuh selama setengah abad.
Gol ke gawang SPAL itu juga menjadikan Cristiano Ronaldo sebagai pemain tercepat dalam sejarah Juventus yang mampu mengumpulkan 10 gol setelah 16 penampilan di semua kompetisi (Serie A dan Liga Champions).
Tiga hari kemudian, lagi-lagi Ronaldo mencetak rekor anyar, kali ini di kancah Eropa. Kemenangan 1-0 atas Valencia menjadikan CR7 sebagai pemain pertama yang mengukir 100 kemenangan di Liga Champions.
Bagi sepakbola Portugal, rekor yang ditorehkan sang kapten setelah gabung Juventus semakin mentereng. Status sebagai pemain Portugal termahal sekaligus bergaji paling tinggi di Serie A hanya dua dari sederet catatan apiknya.
Selain itu, Ronaldo dipastikan akan masuk dalam jajaran pemain Portugal terbaik di Liga Italia sepanjang masa, mengikuti jejak para seniornya macam Manuel Rui Costa, Luis Figo, Fernando Couto, hingga Sergio Conceicao.
Cristiano Ronaldo adalah maestro sekaligus petualang sejati di lapangan hijau. Ia tentu ingin menutup karier dengan cara yang paling fenomenal, meskipun, persis yang diherankan Platini, ada risiko besar saat ia memilih Juventus. Bukan tidak mungkin La Vecchia Signora bakal menjadi pelabuhan terakhirnya.
Editor: Ivan Aulia Ahsan