tirto.id - Beberapa tahun lalu, hampir tidak ada yang mengira Gianni Infantino akan menggantikan Sepp Blatter sebagai presiden FIFA. Infantino, lelaki berkepala plontos itu, bukanlah favorit untuk menduduki posisi nomor satu di federasi sepakbola dunia. Ada banyak nama diproyeksikan. Infantiono hanyalah anak bawang di antara nama-nama terkenal itu. Namun, huru-hara di FIFA dalam setahun terakhir, membawanya ke tampuk kekuasaan tertinggi.
Keputusan Infantino untuk maju sebagai Capres FIFA pun tergolong mendadak. Dia maju satu hari sebelum tenggat, pada awal Oktober 2015. Pencalonannya lebih disebabkan kegagalan pencalonan Presiden UEFA, Michael Platini, yang tengah menjalani penyelidikan karena pelanggaran kode etik.
Sudah jadi rahasia umum bahwa Infantino adalah tangan kanan dari Platini. Infantino yang mantan pengacara sempat menjabat Sekretaris Jenderal (Sekjen) UEFA sejak 2009. Tapi kedekatan mereka lebih dari sekadar hubungan presiden dan sekjen. Infantino bahkan menjadikan Platini sebagai bapak baptis untuk anak-anaknya. Penunjukan bapak baptis ini membuat kedekatan mereka layaknya kekerabatan sebuah keluarga.
Ketika Platini diskors dari sepakbola selama enam tahun, dan tidak ada representasi UEFA dalam bursa capres FIFA, Infantino mau tidak mau harus maju. UEFA, yang selama ini adalah konfederasi penyumbang uang terbesar untuk FIFA berkat kemajuan industri sepakbolanya, tentu tak ingin melepaskan genggaman kekuasaan mereka di tubuh FIFA.
Ambisi UEFA itu hampir diganjal oleh Syeikh Salman yang didukung penuh oleh Asian Football Confederation (AFC) dan Confederation African Football (CAF). Jika digabung, AFC dan CAF akan mendulang 98 suara dari 207 yang tersedia.
Kemunculan Infantino dalam bursa terhitung tepat. Ia muncul di saat UEFA tidak bisa menyandarkan diri pada sosok lain selain dirinya. Semasa Sepp Blatter masih memimpin FIFA, suara EUFA terbelah dua: pro-Blatter dan pro-Platini. Peta politik kini berubah setelah orang-orang Blatter banyak yang ditangkap dan dihukum. Alhasil, dukungan EUFA terpusat kepada Infantino, ditambah para pengikut Platini dari konfederasi lain.
Infantino akhirnya terpilih dalam kongres di Zurich, Swiss (27/2/2016). Ia menang dalam pemilihan di putaran kedua melawan Sheikh Salman bin Ebrahim al-Khalifa dengan skor 115 suara berbanding 88 suara.
Dalam analisanya di The Times, Oliver Kay memaparkan, Asia dan Afrika akan sulit jadi penguasa baru di sepakbola jika FIFA tetap dipimpin orang Eropa atau Amerika Selatan. Gelontoran uang dari Timur Tengah dan Asia Timur tetap tak akan bisa mengubah poros itu.
Karena Uang Memenangkan Segalanya
Infantino, 45, adalah seorang pengacara dan politisi unggul. Dalam kampanyenya, dia tak segan menempuh jarak lima kali putaran mengelilingi bumi. Dia menunjukkan dirinya bukan hanya seorang teknokrat, tapi juga cerdik memainkan jantung politik sepakbola: kepentingan dan uang.
Dengan bumbu-bumbu manis, Infantino mengkampanyekan berbagai manifesto yang ingin diimplementasikannya di tubuh FIFA: transparansi keuangan, tata kelola yang baik, dll.
Namun, yang membuat para pemilihnya tergiur adalah program bantuan USD 5 juta per tahun selama empat tahun masa kepemimpinannya. Sedangkan untuk konfederasi, ia menjanjikan bantuan sebesar USD 40 juta. Angka ini dua kali lipat dari yang diberikan rezim Blatter. Selain itu, dia pun mengiming-imingin bantuan USD 4 juta kepada tiap regional untuk gelaran turnamen usia muda.
Banyak federasi merasa kurang puas dengan bantuan saat ini. Distribusi miliaran dolar dari penjualan hak siar TV dan sponsor Piala Dunia dinilai tidak merata, dan membuat banyak pihak mulai curiga. Infantino datang dengan menjual ide kesetaraan. Hal inilah yang membuatnya bisa memenangkan laga melawan Syeikh Salman.
Infantino adalah konseptor dan pebisnis unggul. Bersama Platini, dia mampu mengkomersialiasi sepakbola Eropa hingga meraih keuntungan berlipat-lipat. Pendapatan dari sponsor dan hak siar TV, khususnya Liga Champions dan Euro, naik hingga empat kali lipat dalam kurun waktu enam tahun terakhir. Distribusi uang di UEFA pun dipuji lebih adil.
Kepekaannya mengkapitalisasi industri sepakbola, membuat Infantino enteng saja berjanji membagi-bagikan USD 5 juta kepada 209 negara anggota.
Tapi bagaimana cara memperbanyak pendapatan FIFA dan memenuhi janji itu? Jawabnya: menambah jumlah peserta Piala Dunia. Infantino akan meneruskan misi Platini yang hendak menambah peserta Piala Dunia dari 32 jadi 40 peserta. Tujuannya terkesan begitu sosialis: kesetaraan, dan memberi peluang lebih besar bagi tim-tim lain untuk masuk Piala Dunia. Niatan ini memang mulia, tetapi motif uang tak bisa dipungkiri juga ada di baliknya. Dengan menambah peserta, otomatis jadwal pertandingan bertambah, jeda durasi turnamen akan lebih lama, dan nilai kontrak sponsor ikut terkerek naik.
Muslihat seperti ini diujicobakan Platini dan Infentino di UEFA. Untuk perhelatan EURO 2016 yang digelar di Perancis bulan Juni nanti, jumlah peserta yang sebelumnya hanya 18 tim akan naik jadi 24. Turnamen yang biasanya digelar di satu negara, pada EURO 2020 nanti akan diselenggarakan di 13 negara.
Infentino Bukan Jaminan Reformasi
Banyak pihak yang pesimistis atas kemenangan Infentino. Maklum, bagaimanapun dia adalah bagian dari rezim lama. FIFPro, misalnya, memberi pandangan kritis terhadapnya. Organisasi yang menaungi para pemain sepakbola profesional ini menilai, Infentino tak akan mampu mengubah struktur dan budaya korupsi yang ada di FIFA.
FIFpro juga mengkritik rencana Infentino menambah dana bantuan program hingga dua kali lipat. Untuk negara-negara kecil dan berkembang, yang industri sepakbolanya tak sebesar Eropa, bantuan ini rentan dikorupsi. “Butuh pengecekan dan transparansi yang lebih terbuka untuk hal ini. Eksklusifnya FIFA bagaimanapun harus dikikis, agar semua orang bisa mengakses ke mana uang itu pergi,” kata Philippe Piat, Presiden FIFPro.
Upaya reformasi memang “terlihat” sudah dilakukan FIFA. Sebelum memilih presiden baru, mereka menyetujui paket reformasi yang berisikan delapan poin. Salah satu poin yang menarik adalah upaya membatasi kepengurusan FIFA yang tak boleh lebih dari tiga periode atau 12 tahun. Itu artinya kepengurusan “sampai mati” yang sempat dialami João Havelange (24 tahun) dan Sepp Blatter (17 tahun) tak akan pernah terulang.
Selain itu, dalam paket reformasi baru, FIFA setuju untuk melaporkan gaji tahunan para pengurus-pengurusnya. Entah itu Presiden, Sekjen, Komite Eksekutif, maupun jabatan-jabatan lainnya. Ini perkembangan yang baik, karena rezim FIFA lama dikenal sebagai rezim yang tertutup dalam soal uang. Transparansi tentu bagus untuk bisnis. Sponsor akan segan datang jika FIFA tertutup. Kasus Sony yang membatalkan kontrak akibat terungkapnya kasus korupsi Blatter tentu menjadi pelajarang penting.
Akan tetapi, FIFPro melihat sistem organisasi FIFA masih didasarkan pada sistem politik timbal-balik dan bujukan uang. Masih ada imunitas yang menghalangi pengawasan eksternal dari pemerintah atau pihak lain. Di sisi lain, para pemain, klub, pengelola liga, dan fans, masih diabaikan dalam upaya reformasi. Sekretaris Jenderal FIFPro, Theo van Seggelen mengatakan, “Reformasi mestinya memberi ruang bagi pemain, klub, dan liga untuk ikut andil dalam pembuatan keputusan yang mempengaruhi mereka.”
Demikianlah, paket reformasi FIFA setidaknya layak kita apresiasi. Meski pada dasarnya, jika tilik lebih dalam, ini bukan soal usaha mendorong perubahan, ini semua soal uang.