tirto.id - Demonstrasi mahasiswa di Kendari Sulawesi Tenggara pada Sabtu 26 September lalu dibubarkan polisi dengan cara tidak biasa. Mereka mengerahkan helikopter yang diterbangkan rendah.
Ratusan mahasiswa dari berbagai kampus berdemonstrasi untuk memperingati setahun kematian Muh Yusuf Kardawi dan Immawan Randi, dua mahasiswa Universitas Halu Oleo yang tewas dalam aksi #ReformasiDikorupsi tahun lalu. Keduanya diduga ditembak polisi.
Demonstrasi dilangsungkan di Mapolda Sultra, dengan tuntutan agar polisi segera menuntaskan perkara kematian dua pemuda. Para mahasiswa memulai long march pada pukul 11 dan tiba di markas polisi satu jam kemudian. Demonstrasi dan teatrikal segera dilakukan.
Saat itulah helikopter berkelir putih-biru-merah terbang rendah.
Seorang mahasiswa UHO, Dirga, nama samaran, bersaksi helikopter itu “terbang rendah di atas kerumunan massa.” Karena kelewat rendah, baling-baling membuat “jalanan tertutup debu.” Cara ini untuk sementara berhasil membubarkan massa.
“Berhasil membuat barisan mahasiswa kocar-kacir,” katanya ketika dihubungi reporter Tirto, Minggu (27/9/2020).
Disebut sementara karena massa datang lagi ke markas. Sekarang bukan lagi helikopter yang menghalau, tapi aparat, dengan tembakan gas air mata dan mobil penyemprot. Dirga bilang bentrok terjadi hingga magrib.
Ia bilang bentrok membuat beberapa mahasiswa babak belur. “Kabarnya banyak yang ditahan, mereka babak belur. Sampai ada warga yang cedera karena dipukul polisi. Korban salah sasaran, dia kuli bangunan,” kata Dirga.
Sekira 17 demonstran ditangkap polisi, namun kini telah dibebaskan, katanya.
Dirga juga mengatakan aparat menyisir daerah setempat hingga tengah malam.
Melanggar
Kabid Humas Polda Sultra Kombes Pol Ferry Walintukan mengatakan memang ada helikopter polisi di saat kejadian. Namun ia menggarisbawahi pimpinan tidak menginstruksikannya. Dengan kata lain, semata ulah oknum.
“Dia manuver sendiri. Saat ini pilot masih dalam pemeriksaan karena tindakan tersebut,” aku dia ketika dihubungi reporter Tirto, Senin (28/9/2020.
Satu pilot dan empat kru helikopter tengah diperiksa Propam Polda Sultra. Belum ada vonis mereka melanggar atau tidak.
Pasal yang mengatur operasionalisasi helikopter di polda diatur dalam Peraturan Direktur Kepolisian Udara Baharkam Polri Nomor 56 Tahun 2014 tentang Penggunaan Unsur Operasi Kepolisian Udara. Pasal 5 menyebut penanggung jawab pelaksanaan Bawah Kendali Operasi di tingkat polda berada di bawah kapolda; sementara pelaksanaan, pengawasan, dan pengendalian sehari-hari di bawah kepala biro operasi (karo ops) polda.
Pasal 7 huruf a mengatur penerbangan di wilayah hukum polda harus melalui karo ops; huruf b menyebutkan penerbangan yang sifatnya dukungan kegiatan operasional, penerbangan di luar konteks operasi kepolisian, juga harus dan atas izin karo ops.
Dengan mempertimbangkan peraturan itu, Kepala Ombudsman Perwakilan Sulawesi Tenggara Mastri Susilo tak percaya begitu saja dengan keterangan bahwa pilot bermanuver sendiri. Ombudsman sebagai lembaga negara tengah melakukan evaluasi. Jika disimpulkan kepolisian betul melanggar regulasi, maka Ombudsman akan memberikan saran untuk ditindaklanjuti oleh Polri.
“Patut diduga terjadi kesalahan prosedur dalam penanganan aksi unjuk rasa,” katanya, Senin.
Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan polisi “jelas menyalahi prosedur penanganan aksi unjuk rasa atau penyampaian pendapat dan terdapat indikasi penggunaan kekuatan yang berlebihan”--termasuk di dalamnya menggunakan helikopter.
Prosedur yang dilanggar salah satunya adalah Peraturan Kapolri Nomor 2 Tahun 2019 tentang Penindakan Huru-Hara, kata Muhammad Haedir, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Makassar. Di sana sama sekali tak ada peraturan penggunaan helikopter untuk membubarkan demonstrasi. “Jika aksi anarkis (rusuh) pun ada mekanisme pembubaran,” katanya, Senin.
“Cara itu jelas melanggar HAM, karena ini aksi damai,” katanya menegaskan.
Terlepas dari ada atau tidaknya instruksi, Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti mengatakan kasus ini mencerminkan penyalahgunaan kekuasaan yang tak sejalan dengan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Menurut Fatia, kasus ini, dengan melihat pula kasus-kasus kekerasan oleh polisi yang lain lain, “menunjukkan bahwa negara ini memang menuju police state, kepolisian bisa semena-mena mengeluarkan kekuatannya untuk berhadapan dengan masyarakat umum.”
Kontras menyebut pada periode Juni 2019-Mei 2020 terjadi 62 kasus penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya. 48 kasus di antaranya dilakukan oleh polisi. Jumlah korban mencapai 220 orang (199 luka-luka, 21 tewas). Sebaran praktik penyiksaan tertinggi terjadi di Sulawesi Selatan (9 kasus), DKI Jakarta (8), dan Nusa Tenggara Timur (6).
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino