tirto.id - Mei 2001 menjadi bulan yang penting bagi Terry Semel. Pada bulan itu, ia bergabung dengan perusahaan teknologi bernama Yahoo. Tak tanggung-tanggung, Semel diangkat jadi Chief Executive Officer di perusahaan pelopor mesin pencari itu. Tapi, tugasnya cukup berat: mengembalikan Yahoo kembali ke posisi paling puncak dunia per-website-an dunia.
Jerry Yang dan David Filo, pendiri Yahoo, memberi saran pada Semel untuk mengembalikan kejayaan mereka: membeli atau mengakuisisi Google.
Semel mengiyakan, ia lalu bertemu dengan Larry Page dan Sergey Brin. Pada pertemuan pertama, Semel menawarkan uang senilai $7 juta per tahun sebagai ganti atas penggunaan teknologi mesin pencarian Google oleh Yahoo. Page dan Brin menolak. Duo pendiri itu ingin Yahoo membayar $1 miliar tiap tahun atas teknologi mereka.
Pada pertemuan kedua, Semel kembali berupaya menggenggam Google. Kali ini, Semel setuju dengan angka $1 miliar. Tapi, bukan dalam bentuk iuran penggunaan teknologi Google, melainkan biaya membeli Google secara keseluruhan. Lagi-lagi, Page dan Brin menolak. Kedua pendiri itu lalu meminta Yahoo membayar $3 miliar tiap tahun jika Yahoo ingin menggunakan teknologi mereka.
“Saya tidak bisa dan tidak mampu membeli Google,” kata Semel pada CNET. “Lima miliar dolar, 7 miliar, 10 miliar, saya benar-benar tidak tahu berapa nilai mereka sesungguhnya,” ucap Semel sebagaimana diwartakan Wired.
Sejak 1998, nilai Google memang terus menanjak hingga sukar ditebak. Pada 19 Agustus 2004, saat pertama kali melantai di bursa, per lembar saham Google dijual seharga $85. Hari ini, harganya melonjak jadi $1.046,10 per lembar. Ada satu alasan kuat mengapa Google kian mahal dari waktu ke waktu: populer. Ia adalah situs terpopuler di dunia. Tepat saat ini, ada 3,5 miliar pencarian yang dilakukan Google tiap harinya oleh seluruh pengguna internet dunia.
Just Google it
Jan Brophy, peneliti pada City University London, dalam papernya berjudul “Is Google Enough? Comparison of an Internet Search Engine with Academic Library Resources” mengatakan bahwa Google memainkan peranan penting dalam perubahan cara orang mencari informasi. Google telah melahirkan infobesity, yakni menyamakan proses pencarian informasi di internet dengan fenomena masyarakat mengkonsumsi fast food. Google, dalam bahasa yang sederhana, menjadikan masyarakat dapat memperoleh informasi apapun secara cepat dan instan, mirip seperti fast food.
Sayangnya, hasil pencarian Google tidak menyertakan nilai kredibilitas. Hasil teratas, jika mengacu penjelasan di laman resmi Google, didapat karena halaman situsweb (webpage) tersebut dirujuk banyak situsweb lain (backlink). Mery E. Sorenson, peneliti dari University of Missouri, dalam papernya berjudul “Beyond the Google Search Bar: Evaluating Source Credibility in Contemporary Research” mengatakan secara tersirat bahwa masalah kredibilitas hasil pencarian ini merupakan hal yang cukup mengkhawatirkan, terutama bagi kalangan pelajar. Di papernya itu, Sorenson mengatakan bahwa pelajar “umumnya cenderung bergantung pada sumber yang muncul di bagian atas hasil pencarian, terlepas dari relevansi atau kredibilitasnya.”
Kelalaian kaum pelajar itu, masih menurut Sorenson, terjadi bukan tanpa sebab. Namun, terjadi karena para pelajar tidak diberi pengetahuan bagaimana melakukan pencarian yang baik dan benar memanfaatkan Google.
Dalam sebuah unggahan yang dilakukan University of Edinburg, ada beberapa tips bagaimana mencari informasi yang baik menggunakan mesin pencari, terutama Google. Secara umum, postingan tersebut menyuruh pengguna lebih mengutamakan memanfaatkan fitur Advanced Search yang dimiliki Google alih-alih langsung mengetik kata kunci di kolom pencarian. Advanced Search dianggap mampu menyajikan hasil pencarian yang lebih terperinci, semisal: hasil pencarian dengan dua kata kunci yang saling berhubungan, tanggal atau waktu yang spesifik, pencarian yang hanya mengacu pada dokumen terbatas, hingga membatasi ke hanya domain atau situsweb tertentu.
Sesungguhnya, keunggulan-keunggulan fitur Advanced Search bisa pula diterapkan dengan lebih mudah yakni dengan memasukkan kode-kode sederhana tertentu pada kolom pencarian Google. Mencari informasi menggunakan dua kata kunci misalnya, pengguna tinggal menambahkan “OR” di antara dua kata kunci yang hendak dimasukkan. Lalu, jika hanya ingin mencari informasi dari file-file berbentuk PDF (portable document format) pengguna tinggal memasukkan “filetype:pdf” di akhir kata kunci yang diinginkan. Kode tersebut, bisa diubah untuk hanya mencari informasi dari file Document (filetype:doc) maupun mencari informasi dari file presentasi (filetype:ppt).
Di dunia internet tidak semua media online memiliki reputasi yang setara. Situsweb The New York Times misalnya, tidak bisa dibandingkan dengan situsweb antah-berantah yang dibangun menggunakan Blogspot. Untuk mencari informasi hanya bersumber dari laman The New York Times, pengguna Google tinggal memasukkan kode “site:nytimes.com” di akhir kata kunci yang dikehendaki. Kode tersebut bisa diubah sesuai media yang dikehendaki, semisal “site:tirto.id” untuk mencari informasi hanya dari Tirto ataupun “site:wired.com untuk mencari informasi hanya dari Wired.
Selain kode-kode sederhana yang disebut di atas, Google punya beberapa kode lain seperti: “stocks: indf” (untuk memperoleh informasi saham perusahaan dengan kode emiten INDF alias Indofood), “weather:kebumen” (untuk memperoleh informasi cuaca di Kebumen), “cache:madzae.com” (untuk memperoleh file lampau dari blog bernama Madzae.com), hingga “sunrise:bandung” (untuk memperoleh informasi waktu terbitnya matahari di kota Bandung).
Google Scholar
Selain fitur Advanced Search ataupun dengan memasukkan kode tertentu, ada satu produk buatan Google yang dapat diandalkan, terutama bagi kalangan pelajar atau peneliti. Produk itu ialah Google Scholar, produk mesin pencari dari Google yang hanya meng-index atau menjadikan situsweb berdomain pendidikan (.edu, .ac.id, .ac.uk) jadi basis datanya. Ini berbeda dengan Google biasa yang meng-index semua situsweb yang ada di jagat maya. Dengan demikian, Google Scholar punya kredibilitas yang lebih baik dibandingkan Google biasa.
Vincas Grigas, dalam papernya berjudul “Just Google It: The Scope of Freely Available Information Sources for Doctoral Thesis Writing” mengatakan bahwa sejak Agustus 2010, Google Scholar memuat lebih dari 86 juta dokumen pendidikan/riset/publikasi ilmiah. Angka dokumen tersebut terus meningkat. Dokumen pendidikan berbahasa Inggris saja, per Bulan Mei 2014, ada 11,15 juta.
Salah satu keunggulan Google Scholar ialah termuatnya “grey literature” dan “peer-reviewed journal.”
Grey literature merupakan dokumen-dokuken penelitian/karya ilmiah yang belum dipublikasikan secara resmi oleh perguruan tinggi atau institusi penelitian. Sementara peer-reviewed journal ialah karya ilmiah peneliti yang dibuat sebagai pengecekan bagi rekan-rekan sesama peneliti. Dua jenis dokumen ini penting karena termuat kebaruan penelitian. Dari sisi si pemilik dokumen, ini berguna untuk mendapatkan umpan balik atau feedback dari komunitas pelajar atau peneliti dunia.
Melalui produk yang dihasilkannya Google membantu masyarakat mencari sesuatu di internet. Namun, ia pun sesungguhnya punya sisi negatif. Semisal membuat penggunanya lebih rasis, berpikir lambat, hingga penurunan daya ingat.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti