Menuju konten utama

Cara Koalisi Nelayan Melawan Pencabutan Moratorium Reklamasi

Selain akan mengajukan gugatan ke PTUN, KSTJ juga akan melaporkan ke Ombudsman terkait pencabutan moratorium reklamasi di Teluk Jakarta.

Cara Koalisi Nelayan Melawan Pencabutan Moratorium Reklamasi
Sebuah kapal melintasi kawasan reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta, Senin (9/10/2017). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - Keputusan pemerintah mencabut moratorium reklamasi Pulau C, d dan G di Teluk Jakarta mendapat penolakan dari nelayan yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ). Koalisi aktivis nelayan ini bahkan telah menyiapkan sejumlah opsi sebagai bentuk perlawanan atas kebijakan itu.

Deputi Hukum dan Kebijakan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Tigor Hutapea mengatakan, salah satu opsi yang disiapkan KSTJ adalah menggugat Surat Keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kementerian LHK) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

“Kami menyesalkan keputusan Menteri KLHK di bawah Koordinator Kemenko Maritim. Dan kami sudah menduga kehadiran Luhut [Binsar Pandjaitan] akan memuluskan rencana pengembang,” kata Tigor yang menjadi bagian dari KSTJ kepada Tirto, Selasa (10/10/2017).

Selain itu, kata Tigor, koalisi juga akan meminta penjelasan kepada Kementerian LHK terkait keputusan tersebut. Apalagi, selama ini tidak pernah ada transparansi, baik dari pihak Kementerian LHK maupun Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman terkait sejauh mana syarat-syarat pencabutan moratorium itu dipenuhi pengembang.

Tigor menuturkan, hal itu dapat dilihat dari tertutupnya pembahasan kelanjutan reklamasi Teluk Jakarta. Dalam hal ini, kata Tigor, pemerintah tidak pernah melibatkan sejumlah pihak yang selama ini menolak reklamasi.

Tak hanya itu, bahkan berbagai surat penolakan serta upaya meminta keterbukaan informasi publik tidak pernah direspons oleh pemerintah. "Ini lah bentuk dan sikap negatif dari pemerintah kepada masyarakat,” kata Tigor.

Tigor menambahkan “sebagai pihak yang kontra, kami yang terdiri dari organisasi nelayan, akademisi, mahasiswa, perempuan dan aktivis lingkungan hidup ini merasa tidak pernah dilibatkan dan didengar pendapatnya.”

Reklamasi Pulau C, D dan G di Pantai Utara Jakarta akan terus berlanjut menyusul sejumlah persyaratan yang telah dipenuhi pengembang. Hal itu ditegaskan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, di kantornya, pada 13 September lalu.

“Minggu lalu kami rapat, jadi Pulau C dan D itu sudah selesai. Semua persyaratan pengembang yang diminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dimana ada 11 poin sudah dipenuhi. Jadi, tidak ada alasan berlama-lama,” kata Luhut.

Baca juga: Alasan Luhut Tetap Lanjutkan Reklamasi Pulau C, D dan G

Kemudian, pada 2 Oktober lalu, pemerintah juga sepakat mencabut moratorium Pulau G. Keputusan itu diambil setelah empat kementerian di bawah Kemenko Maritim menyepakati usulan atas penanganan permasalahan Pulau G yang dibahas oleh tim Teknis Kemenko Maritim pekan sebelumnya.

Empat kementerian itu antara lain Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Kementerian/Badan Perencanaan dan Pembangunan (Bappenas).

“Ya tadi sudah kami rapat, ya tidak ada lagi komplain mengenai Pulau G, dari Bu Siti [Menteri KLHK] maupun dari DKI, jadi sudah semua,” kata Luhut pada 2 Oktober lalu.

Baca juga: Moratorium Dicabut, KLHK Segera Panggil Pengembang Pulau G

Melapor ke Ombudsman

Selain berencana menggugat ke PTUN, KSTJ juga akan melanjutkan laporan dugaan maladministrasi terkait pencabutan moratorium reklamasi ke Ombudsman. Tigor menyatakan, laporan juga mencangkup soal pemberian sertifikat Hak Pengelolaan Lingkungan (HPL) dan Hak Guna Bangunan (HGB) untuk Pulau C dan D.

“Kami juga siapkan opsi itu dan sedang konsolidasi,” kata Tigor menambahkan.

Apalagi, kata Tigor, penerbitan dua sertifikat tersebut dianggap telah melanggar peraturan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. “Kan disebutkan bahwa selama ada moratorium, semua aktivitas, pemberian izin dihentikan untuk sementara. Nah, HPL dan HGB itu kan keluar saat masih moratorium KLHK,” kata Tigor.

Sebelumnya, kata Tigor, pihaknya juga telah mengajukan aduan tersebut ke Ombudsman. Namun, pihak Ombudsman meminta koalisi untuk terlebih dahulu mengajukan keberatan ke Kementerian ATR (Agraria dan Tata Ruang).

“Tapi akhirnya, kan, HPL diterbitkan juga. Makanya kami akan adukan ini [lagi] ke Ombudsman,” kata Tigor.

Dalam hal ini, Komisioner Ombudsman, Alamsyah telah mengatakan bahwa pihaknya hanya menunggu laporan dan tidak bisa bersikap proaktif soal adanya dugaan maladministrasi. Sebab, hal tersebut tidak menyangkut dengan kepentingan banyak pihak dan bersifat mendesak.

"Kami bisa proaktif kalau dia menyangkut kepentingan banyak orang seperti kasus beras [PT Indo Beras Unggul] atau Meikarta yang jelas sudah melakukan transaksi, jadi lebih seperti pencegahan,” kata Alamsyah.

Karena itu, Alamsyah berharap, nantinya setiap laporan terkait reklamasi yang dikirimkan ke Ombudsman dilengkapi berkas dan laporan yang cukup untuk ditindaklanjuti. “Karena kami enggak bisa menyebut dugaan maladministrasi kecuali ada laporan, kemudian ada potensi yang sudah kami akses,” kata Alamsyah.

Baca juga artikel terkait REKLAMASI TELUK JAKARTA atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz