Menuju konten utama

Capim KPK Nurul Gufron: SP3 Hal Yang Alami, Sesuai Pancasila

Kewenangan SP3 bagi KPK menurut Gufron tetap harus dengan syarat-syarat tertentu.

Capim KPK Nurul Gufron: SP3 Hal Yang Alami, Sesuai Pancasila
Calon Pimpinan KPK Nurul Ghufron (kiri) berjabat tangan dengan Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin (kanan) disaksikan Wakil Ketua Komisi III DPR Demond Junaidi Mahesa dan Erma Suryani Ranik, usai menerima amplop berisi tema makalah yang harus dibuat, saat uji kelayakan dan kepatuhan calon pimpinan KPK di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin (9/9/2019). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/ama.

tirto.id - Salah satu calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (capim KPK), Nurul Gufron mengaku setuju dengan adanya kewenangan KPK dalam mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

Hal ini pun ia tuangkan dalam makalah yang ia dapatkan dengan tema kewenangan pemberian surat perintah penghentian penyidikan ( SP3) sebagai bentuk perwujudan asas keseimbangan, profesionalisme, keadilan, dan kepastian hukum dalam penegakan hukum oleh KPK.

Dalam makalah yang ia buat dalam waktu 90 menit itu, Gufron menuliskan mekanisme penghentian penyidikan merupakan hal yang alami dalam lembaga penegak hukum. Menurutnya, tak semua penyidikan menghasilkan berkas perkara berupa tuntutan dan pemeriksaan di persidangan.

Meski setuju, kewenangan SP3 bagi KPK menurut Gufron tetap harus dengan syarat-syarat tertentu. Contohnya, apabila seseorang ditetapkan sebagai tersangka, tetapi penyidik tak punya cukup bukti dalam membuktikan kasusnya, maka seumur hidup status tersangka itu sulit untuk dicabut.

"Maka menurut saya penghentian penyidikan adalah hal yang alami, sesuai dengan landasan hukum negara kita yang berlandaskan Pancasila," ucap Gufron di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (9/9/2019).

Selanjutnya, Gufron mengatakan, setiap perbuatan pasti tak luput dari kesalahan. Begitu pula dengan proses penegakan hukum, khususnya dalam penyidikan bisa saja ada kesalahan yang terjadi, sehingga sudah sewajarnya SP3 diterapkan dalam kerja KPK.

"Sehingga di hadapan kami SP3 atau penghentian penyidikan itu adalah sistem yang niscaya, karena sistem peradilan pidana kita adalah sistem yang berbasis Pancasila, yang religus," ucapnya.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember ini menambahkan dengan pemberian mekanisme SP3 maka hal-hal yang bersifat keliru dalam kinerja KPK dapat diperbaiki.

"Tidak semuanya menghasilkan kebenaran, maka untuk hal-hal yang bersifat kesalahan memungkinkan perlu dihentikan," tuturnya.

Kewenangan KPK dalam mengeluarkan SP3 dituangkan dalam draf revisi UU KPK. KPK diharuskan menerbitkan SP3 bagi perkara korupsi yang tak selesai dalam jangka waktu satu tahun.

Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 40 ayat 1: "Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun."

Dijelaskan lebih lanjut dalam ayat 2, penghentian penyidikan dan penuntutan nantinya harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas KPK. Laporan ini harus dilakukan dalam jangka waktu satu minggu terhitung sejak dikeluarkannya SP3.

Namun demikian, jika ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan atau berdasarkan putusan praperadilan, Pimpinan KPK dapat mencabut surat SP3 tersebut.

Baca juga artikel terkait CAPIM KPK atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Hukum
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Irwan Syambudi