Menuju konten utama

Capaian Tak Jelas, Kenapa Revolusi Mental Dipertahankan Jokowi?

Meski banyak kurangnya, Revolusi Mental tetap dipertahankan dalam visi-misi Joko Widodo untuk pemilu 2019.

Capaian Tak Jelas, Kenapa Revolusi Mental Dipertahankan Jokowi?
Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, Joko Widodo (tengah kiri) dan Ma'ruf Amin (tengah kanan), memberi keterangan seusai menghadiri Pengundian dan Penetapan Nomor Urut Capres dan Cawapres Pemilu 2019 di Kantor KPU, Jakarta, Jumat (21/9). Pasangan Calon Presiden dan Wapres Joko Widodo-Ma'ruf Amin mendapatkan nomor urut 01, dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mendapat nomor urut 02. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/kye/18

tirto.id - Revolusi Mental kembali jadi salah satu program andalan Joko Widodo. Setelah dengan Jusuf Kalla, kini slogan itu diusung bersama Ma'ruf Amin dalam pemilihan presiden 2019.

Berdasarkan dokumen visi dan misi yang diterima Tirto, Rabu (26/9/2018), nama resmi program ini adalah Revitalisasi Revolusi Mental. Penjabaran programnya adalah sebagai berikut:

"Perubahan mental karakter bangsa dari mental karakter yang negatif ke mental karakter yang positif harus menjadi strategi pembangunan manusia dan kebudayaan yang terus-menerus diinternalisasi dalam sistem pembangunan, sehingga menjadi sistemik serta mengalami pembudayaan dalam perilaku sehari-hari."

Revitalisasi revolusi mental spesifik menyasar tiga bidang utama: pendidikan, tata kelola pemerintahan, dan budaya.

Tentu memasukkan kembali program ini atau tidak adalah kewenangan Jokowi dan tim sepenuhnya. Namun masalahnya, program ini berjalan tanpa indikator pencapaian yang jelas. Tanpa itu kita tak tahu apakah selama empat tahun ke belakang sebetulnya program ini berhasil atau tidak. Biaya jor-joran yang dikeluarkan buat iklan pun akan terlihat mubazir karenanya.

Seorang pejabat eselon III di institusi negara yang menggerakkan program Revolusi Mental Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) mengaku tak tahu apa yang sudah dicapai selama ini.

Salah satu turunan Revolusi Mental adalah Gerakan Indonesia Melayani, ditujukan khusus buat para birokrat. Tujuan dari gerakan ini mengubah perilaku buruk para pegawai negara, dari kebiasaan dilayani menjadi melayani.

Buat mengetahui penerapan program ini di lapangan, Tirto mengontak secara acak sejumlah PNS dari beberapa kementerian beberapa bulan yang lalu.

Hasilnya, seorang PNS yang telah bekerja selama 25 tahun mengaku belum pernah mengikuti sosialisasi atau pelatihan gerakan dari Kemenko PMK. Bahkan seorang pegawai dari Kementerian Keuangan mengaku tak tahu ada gerakan ini. Dia cuma tahu ada yang namanya Revolusi Mental, tak lebih dari itu.

Dampak revolusi mental bagi masyarakat juga belum efektif jika merujuk laporan Ombudsman RI soal Hasil Penilaian Kepatuhan Standar Pelayanan Publik 2016 (data terakhir yang diumumkan ke publik). Laporan itu mengungkap kepatuhan standar pelayanan publik belum maksimal.

Dengan kata lain, sebagian besar pelayanan publik di Indonesia masih belum ramah kepada masyarakat.

Meski 44 persen atau 11 kementerian yang masuk dalam zona hijau dengan predikat kepatuhan tinggi, namun yang masuk dalam zona kuning dengan predikat kepatuhan sedang lebih banyak, sekitar 48 persen atau 12 kementerian. Sisanya, 8 persen atau dua kementerian, masuk zona merah dengan predikat kepatuhan rendah.

(Laporan lengkap soal Revolusi Mental bisa dibaca di sini).

Biaya buat menyelenggarakan program ini juga besarnya tak main-main. Kementerian Puan menganggarkan Rp149 miliar pada tahun pertama (2015), yang sebagian besar untuk sosialisasi. Pada Desember 2015, kementerian kembali menggelontorkan duit iklan Rp92 miliar. Pada dua tahap ini Metro TV, yang dimiliki Surya Paloh, pendiri Nasdem dan mitra koalisi Jokowi, dapat "kue iklan" terbesar.

Kemenko PMK kembali menggelontorkan duit untuk sosialisasi pada Oktober 2016 senilai Rp22,5 miliar.

Pada program tahun kedua, uang lebih banyak digelontorkan untuk pelatihan. Berdasarkan data LKPP pada Mei 2016, Kementerian Dalam Negeri menyiapkan Rp1,2 miliar untuk menggelar sarasehan bertajuk "Revolusi Mental Menuju Good Governance." Beberapa kementerian lain juga melakukan hal yang sama.

Tahun 2017, uang buat Revolusi Mental juga dipakai buat membikin taman. Penelusuran Tirto pada situs LKKP, ada 48 lelang pembangunan RTP Revolusi Mental pada 2017. Biayanya bervariasi, antara Rp400 juta hingga Rp500 juta.

(Laporan lengkap soal biaya Revolusi Mental bisa dibaca di sini).

Infografik HL Indepth Revolusi Mental

Jadi, kenapa Revolusi Mental tetap dipertahankan?

Juru Bicara Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf Arya Sinulingga mengaku kalau memang ada target yang belum tercapai. Namun ia tak menyebut apa saja target yang disebutnya tak tercapai itu.

Arya hanya menyebut kalau Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf bakal merilis capaian dan target Revolusi Mental jilid I dalam waktu dekat. Katanya, "akan kami sampaikan capaian dan kegagalannya di mana."

Karena ada yang belum tercapai itulah Revolusi Mental harus tetap dilanjutkan.

Pendapat serupa disampaikan Wakil Ketua TKN Abdul Kadir Karding. Menurutnya lima tahun kurang buat mengubah mental masyarakat dan birokrat.

Meski belum sepenuhnya tercapai, Sekjen PKB itu mengklaim sudah banyak kemajuan yang muncul akibat Revolusi Mental jilid I. Pada bidang birokrasi, hasil yang ia klaim adalah makin transparannya pemerintah.

"Kemudian debirokrasi dibangun untuk efektivitas pembangunan," kata Karding.

Baca juga artikel terkait REVOLUSI MENTAL atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Politik
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Rio Apinino