tirto.id - Pemerintah akan merevisi Perpres No. 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM. Dengan revisi ini, PT Pertamina (Persero) diwajibkan menjaga pasokan Premium di seluruh Indonesia, tidak terbatas wilayah luar Jawa, Madura, dan Bali (Jamali) seperti regulasi sebelumnya. Namun demikian, harga Premium tetap diatur oleh pemerintah.
Pemerintah saat ini menetapkan harga Premium di wilayah Jamali sebesar Rp6.550 per liter, sedangkan di luar wilayah Jamali dijual dengan harga subsidi seharga Rp6.450 per liter.
Dirjen Migas Kementerian ESDM, Djoko Siswanto beralasan rencana revisi ini dilakukan karena Premium merupakan jenis BBM termurah dibandingkan Pertalite dan Pertamax. Menurutnya, kebijakan itu paling memungkinkan untuk menjaga harga BBM dan daya beli masyarakat di tengah tren harga minyak mentah dunia yang meningkat.
“Paling murah, kan, Premium ya masyarakat beli Premium. Kami harus utamakan kepentingan masyarakat. Kalau harga minyak naik masyarakat mau enggak mau nanti menerima dampaknya,” kata Djoko menjawab pertanyaan soal alasan pemerintah akan merevisi Perpres 191/2014, di Kompleks DPR Jakarta, 10 April 2018.
Namun demikian, hingga saat ini keinginan pemerintah untuk kembali menyediakan BBM jenis Premium di seluruh SPBU wilayah Jamali masih terkendala teknis serta revisi Perpres 191/2014 yang akan menjadi payung hukumnya belum juga diteken oleh Jokowi.
Djoko Siswanto mengatakan, proses revisi Perpres 191/2014 dapat rampung sebelum Lebaran tahun ini. “Seminggu sebelum Lebaran itu sudah semua. Tunggu Perpres sebentar lagi. Habis itu langsung secara bertahap, kan, perlu waktu [perluasan penyaluran Premium]” kata Djoko, di Jakarta, Selasa (15/5/2018).
Terkait urusan teknis, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati menyebutkan, saat ini masih ada sekitar 1.926 SPBU di Jamali yang belum menyediakan Premium. Hal ini terjadi karena selama ini perusahaan pelat merah itu secara perlahan-lahan mengurangi distribusi RON 88 untuk wilayah Jamali.
“Ada 1.926 yang hari ini tidak menjual Premium. Dari angka itu sebetulnya ada yang segera kami isi karena memiliki tangki timbun lebih dari 1, ada sekitar 600 SPBU yang [secara] bertahap bisa kami isi. Sisanya akan kami mapping lagi tahap yang akan kami lakukan untuk pengisian SPBU,” kata Nicke, di kantor BPH Migas Jakarta, Rabu (16/5/2018).
Direktur Supply Chain, Logistik, dan Infrastruktur Pertamina Gandhi Sriwidodo mengatakan bahwa menyiapkan perluasan penyaluran Premium tidak mudah. Ia mencontohkan tangki di SPBU ada 3, yaitu untuk Pertamax, Pertalite, dan Solar. Untuk mengubah salah satunya menjadi tangki Premium itu butuh proses.
“Tangkinya harus dikuras dulu, setting harganya juga harus diubah,” kata Gandhi, di Kantor Pertamina Jakarta, Rabu (16/5/2018).
Akan tetapi, Gandhi mengatakan yang paling penting adalah Pertamina telah menambah volume penyaluran BBM Premium secara nasional, baik di wilayah Jamali atau luar Jamali, khususnya menjelang Ramadan dan Lebaran 2018.
“Dalam rangka Satgas Ramadan dan Lebaran juga kami perkirakan naik, kami tambah 7 persen dari 24 ribu kiloliter (KL) menjadi 26 ribu KL,” kata Gandhi.
Namun, kata Gandhi, hingga saat ini pemerintah belum menetapkan kuota tambahan untuk Premium yang harus disediakan oleh Pertamina. Menurut Gandhi, pihaknya mengusulkan ada tambahan kuota sebesar 5,1 juta KL.
Menurut Gandhi, kuota Premium Pertamina pada tahun ini sebanyak 7,5 juta kiloliter. Kuota ini lebih kecil dibandingkan tahun lalu yang mencapai 12,5 juta kiloliter. “Walaupun kuota tambahan belum ada, tapi kami sudah menambah penyaluran Premium, baik itu di Jamali atau luar Jamali,” kata dia.
Inkonsistensi Kebijakan
Mantan Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas (Tim Anti Mafia Migas), Fahmy Radhi menyatakan, dirinya menangkap sinyalemen ketidakkonsistenan dari kebijakan Premium yang diambil pemerintah dengan salah satu rekomendasi tim yang pernah dibentuk Presiden Jokowi, pada November 2014 untuk mengkaji kebijakan energi.
Menurut Fahmy, salah satu rekomendasi tim itu agar pemerintah melalui Pertamina menghentikan impor RON 88 dan menggantinya dengan RON 92. Tim ini juga menyarankan agar Pertamina mengalihkan produksi kilang domestik dari bensin RON 88 menjadi RON 92.
Rekomendasi mengganti RON 88 menjadi RON 92 cukup masuk akal, mengingat RON 88 di banyak negara lain sudah tidak digunakan, bahkan di pasar global pun produk ini sudah langka. Selain itu, impor BBM yang dilakukan Pertamina masih harus di-blending agar menjadi RON 88.
Fahmy berkata, targetnya adalah penghapusan Premium dalam jangka waktu tertentu sejak rekomendasi dikeluarkan pada 13 Mei 2015. “Rekomendasi untuk menghapus Premium waktu itu Pertamina sanggup menghapus dalam waktu dua tahun [2017]. Tapi, persiapan-persiapan yang harus dilalui ternyata tidak dilakukan Pertamina,” kata Fahmy kepada Tirto, Rabu kemarin.
Selain soal RON 88, kata Fahmy, ada beberapa rekomendasi lain sebagai pertimbangan pemerintah dalam memberantas mafia migas. Salah satunya adalah meminta pemerintah agar membubarkan anak perusahaan Pertamina, yaitu PT Pertamina Energy Trading Ltd atau Petral yang diduga merupakan sarang mafia migas dalam pengadaan BBM impor.
“Itu sudah direkomendasikan dan [pemerintah Jokowi] sudah membubarkan [Petral]” kata Fahmy.
Rekomendasi lain yang telah dilaksanakan, kata Fahmy, adalah mengurangi subsidi energi. Dalam konteks ini, pemerintah telah menghentikan pemberian subsidi BBM jenis Premium. Akan tetapi, untuk solar dan minyak tanah tetap diberikan subsidi. Akibatnya, ketika harga minyak dunia menunjukkan tren naik seperti saat ini, secara otomatis Pertamina harus menanggung potential loss.
“Pada saat harga tinggi seperti sekarang, memang Pertamina menanggung potential loss yang tadinya [Premium] disubsidi, tapi kemudian dihilangkan,” kata Fahmy.
Meski Fahmy menilai ada sinyalemen ketidakkonsistenan terkait kebijakan pemerintah dalam upaya menghapus RON 88, ia mendukung keputusan Jokowi merevisi Perpres 191/2014 yang salah satunya kembali mengharuskan Pertamina mendistribusikan BBM jenis Premium di wilayah Jamali.
Kepentingan Politik
Selain Pertamina belum siap, Fahmy mengatakan inkonsistensi dalam kebijakan BBM jenis Premium juga tidak bisa terlepas dari kepentingan politik Presiden Jokowi yang tidak akan menaikkan harga BBM hingga 2019.
Menurut Fahmy, orang awam saja bisa membaca kepentingan tersebut di tahun politik ini. “Saya kira memang tidak bisa disangkal, tidak naiknya harga sampai 2019 itu, orang awam pun pasti mengaitkan ini dengan tahun politik. Pasti mengaitkan dengan tingkat elektabilitas dari Jokowi,” kata Fahmy.
Pernyataan Fahmy ini cukup beralasan mengingat kenaikkan BBM ini memiliki pengaruh signifikan terhadap inflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) misalnya, pada 2 Mei merilis andil BBM terhadap inflasi triwulan I/2018 sebesar 0,04 dari total inflasi 0,10.
“Dan zaman Pak Soeharto itu, beliau jatuh kan setelah kenaikan harga BBM. Berdasarkan pengalaman tersebut, saya kira benar sekali tidak bisa dipisahkan inkonsistensi [pemerintah] dengan tahun politik. Untuk meningkatkan tingkat elektabilitas itu pasti,” kata Fahmy.
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM ini mengatakan gejolak harga BBM memberikan multi player effect yang negatif terhadap masyarakat, khususnya masyarakat ekonomi rendah. Harga BBM yang tinggi secara langsung menaikkan biaya transportasi dan distribusi logistik, sehingga kebutuhan pokok pun akan menjadi mahal.
“Kalau kemudian ada yang mengaitkan itu dengan tahun politik untuk menaikkan tingkat elektabilitas, itu enggak bisa disangkal. Tapi, kalau saya lebih setuju karena ada kepentingan lebih besar, yakni menjaga daya beli rakyat dan mengendalikan inflasi,” kata Fahmy.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz