tirto.id - Kebijakan baru pemerintah agar Pertamina menyediakan BBM jenis premium di wilayah pulau Jawa, Madura, dan Bali, dinilai sebagai keputusan politik. Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara menyebutkan bahwa keputusan tersebut tidak dilandasi oleh pemikiran yang komprehensif.
"Banyak pertimbangan politik. Presiden menunjukkan keberpihakan dengan menunjukkan BBM dan juga listrik tidak naik, karena takut citranya jelek. Jadi, ditugaskanlah Pertamina untuk menjual harga BBM sama dengan harga pada 2016, meskipun harga minyak dunia sudah naik. Artinya itu jual rugi," terang Marwan kepada Tirto, Selasa (17/4/2018).
Kebijakan baru diikuti dengan revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM. Sebab, di dalam Perpres tersebut hanya mewajibkan Pertamina untuk mengamankan pasokan Premium di luar wilayah pulau Jawa, Madura, dan Bali (Jamali).
Meski Permen yang mengatur penugasan tersebut direvisi, tapi tetap saja kebijakan baru ini dikatakannya menabrak UU BUMN No.19/2003 Pasal 66, karena tidak memperhitungkan finansial perusahaan BUMN. Dia menjelaskan seharusnya pemerintah menyertakan subsidi energi yang disesuaikan dengan tren minyak mentah dunia yang naik.
"Kalau ada penugasan pemerintah kepada BUMN, misal tiket kereta api di Jabodetabek dijual Rp4 ribu, padahal biayanya sendiri Rp9 ribu. Selisihnya itu ditanggung pemerintah di APBN karena pemerintah menugaskan agar harganya enggak tinggi. Seharusnya sama begitu juga untuk BBM," paparnya.
Saat ini, harga minyak mentah dunia menurut WTI Crude Oil (Nymex) berada di level $66,58 per barel. Lalu, harga acuan minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price) terkahir pada Maret sebesar $61,87 per barel.
Ia menyebutkan sekitar 40-50 persen kebutuhan BBM sehari-hari dalam negeri berasal dari impor. Sehingga, Pertamina membelinya dengan harga internasional.
Kemudian dijual dengan harga lebih rendah. Premium untuk wilayah luar Jamali sebesar Rp6.450 per liter dan untuk wilayah Jamali sebesar Rp6.550 per liter.
Pembangunan Ketahanan Energi
Selama satu tahun ini, menurutnya pemerintah memaksa Pertamina untuk menanggung kerugian, dengan menjual harga di bawah keekonomian. Dampaknya kemudian terhadap pembangunan ketahanan energi menjadi tersendat, seperti proyek pembangunan kilang, pengembangan energi baru terbarukan (EBT).
"Sejak reformasi tidak pernah membangun kilang. Kilang itu kan zamannya Pak Harto, makanya kilang kita sudah tua perlu diupgrade atau dibangun yang baru. Uangnya enggak ada karena kepakai, kesedot atau untungnya berkurang untuk bangun, makanya mundur terus," ungkapnya.
Menurutnya, membangun ketahanan energi di dalam negeri adalah hal penting untuk menjaga ketersediaan energi di masa mendatang dengan tidak bergantung kepada negara lain. Sehingga, ia mengatakan masyarakat perlu dipahamkan juga bahwasanya harga BBM naik bukan semata karena pemerintah, tapi ada faktor dari luar negeri.
"Ada kebijakan yang memang harus menaikkan harga ya naikkan saja. Toh harga yang lebih tinggi dari sekarang pernah terjadi kok. Coba lihat saat Jokowi jadi presiden kan harga BBM naik di atas harga sekarang," ujarnya.
"Kenapa saya sangat memperhatikan BUMN kita ini baik Pertamina maupun PLN, karena saya mau BUMN kita tumbuh untuk mampu menyediakan energi secara berkelanjutan. Supaya ketahanan energi meningkat. Sekarang kita terpuruk di posisi 75 dari 120 negara di dunia karena aksesnya, ketidakadilannya, kita itu pada posisi yang jelek semua," pungkasnya.
Sementara itu, menurut Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Djoko Siswanto menyampaikan alasan revisi itu karena Premium merupakan jenis BBM termurah dibandingkan Pertalite dan Pertamax. Sehingga, menurutnya kebijakan itu paling memungkinkan untuk menjaga harga BBM dan daya beli masyarakat di tengah tren harga minyak mentah dunia yang meningkat.
"Untuk meringankan masyarakat ya gimana? Paling murah kan Premium ya masyarakat beli Premium. Kami harus utamakan kepentingan masyarakat. Kalau harga minyak naik masyarakat mau enggak mau nanti menerima dampaknya," terang Djoko menjawab pertanyaan soal alasan pemerintah merevisi Perpres tersebut, di Kompleks DPR Jakarta pada Selasa (10/4/2018).
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Maya Saputri