tirto.id - Desember 2014, saat menjabat sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said pernah mengatakan kalau pemerintah akan menghapus bahan bakar minyak (BBM) jenis RON 88 atau yang lebih dikenal dengan nama 'Premium.'
Penghapusan RON 88 ini dinilai akan memberikan banyak manfaat bagi konsumen karena kualitas bahan bakar yang dijual di pasaran akan menjadi lebih baik. Ia pun mendesak Pertamina untuk membenahi kilang agar bisa memproduksi BBM di atas RON 88. Perusahaan pelat merah ini dikasih waktu dua tahun untuk merealisasikannya terhitung sejak 2015.
Pernyataan Sudirman tersebut senada dengan hasil kajian Tim Reformasi Tata Kelola Migas, yang salah satu rekomendasinya adalah soal penentuan harga BBM dalam negeri serta tata niaga dan pengadaan BBM.
Misalnya, dalam konteks pengadaan BBM ini, tim pimpinan Faisal Basri merekomendasikan agar pemerintah melalui Pertamina menghentikan impor RON 88 dan menggantinya dengan RON 92. Tim ini juga menyarankan agar Pertamina mengalihkan produksi kilang domestik dari bensin RON 88 menjadi RON 92.
Rekomendasi mengganti RON 88 menjadi RON 92 cukup masuk akal, mengingat RON 88 di banyak negara lain sudah tidak digunakan, bahkan di pasar global pun produk ini sudah langka. Selain itu, impor BBM yang dilakukan Pertamina masih harus di-blending agar menjadi RON 88.
Namun, tidak mudah menghapus Premium dalam waktu dua tahun seperti yang ditargetkan pemerintah. Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina, Ahmad Bambang mengatakan, rekomendasi penghapusan BBM jenis Premium harus dilakukan secara bertahap serta menyiapkan bahan bakar pengganti yang memiliki harga setara.
Karena jika Premium resmi dihilangkan dan belum ada penggantinya, maka akan memunculkan efek domino. Misalnya, kalau angkutan umum dipaksa menggunakan Pertamax, maka tarif angkutan pasti juga akan naik. Karena itu, ia meminta pemerintah mencari solusinya.
“Sekarang mau hilang atau tidak, itu kebijakan pemerintah kita [Pertamina] siap, tetapi yang harus dipikirkan adalah alternatif penggantinya yang setara,” ujarnya seperti dikutip Antara, pada Maret lalu.
Lalu, bagaimana dengan Pertalite yang diluncurkan Pertamina pada Juli 2015?
Direktur Utama Pertamina, Dwi Soetjipto memiliki jawaban sendiri. Menurut dia, peluncuran BBM jenis baru dengan RON 90 yang diberi nama Pertalite ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan BBM jenis Premium.
Peluncuran Pertalite ditujukan untuk memberikan pilihan berbeda kepada konsumen untuk memilih bahan bakar yang sesuai baik harga maupun kualitasnya. Ia pun berjanji, perusahaan yang dipimpinnya itu masih akan menyediakan pasokan Premium berapa pun jumlah yang dibutuhkan masyarakat.
“Sekali lagi kita tekankan ini bukan program untuk mengganti Premium. Pertalite untuk berikan pilihan lebih banyak ke masyarakat. Kalau tidak ingin beli Pertamax atau Premium, bisa beli Pertalite,” kata Dwi, Juli 2015 lalu.
Pertalite Geser Premium
Pertalite sejak awal memang tidak diproyeksikan menggantikan Premium. Namun, produk yang diluncurkan Pertamina pada Juli 2015 lalu itu, belakangan ini mendapat tempat di hati konsumen dan lambat laun menggeser Premium. Maka tidak mustahil kalau Pertalite ini justru menjadi jalan untuk memuluskan rencana pemerintah menghapus bensin RON 88 ini.
Hal tersebut dapat dilihat dari tren penjualan BBM non-subsidi Pertamina yang kian menunjukkan angka penjualan naik. Vice President Corporate Communication Pertamina, Wianda Pusponegoro mengatakan, tren penjualan bahan bakar non-subsidi Pertamina, yaitu Pertamax Series dan Pertalite semakin hari semakin meningkat.
Misalnya, jika pada semester I 2016 lalu rata-rata hanya sekitar 15 ribu kiloliter (KL) per hari atau 20 persen dari total permintaan BBM, namun pada 20 hari pertama September 2016 konsumsinya telah mencapai 40.837 KL per hari atau 45 persen dari total konsumsi BBM yang mencapai 91 ribu KL per hari.
“Perkembangan ini tentu sangat menggembirakan karena menunjukkan bahwa masyarakat konsumsi di tanah air sudah benar-benar bisa menerima inovasi produk yang dilakukan Pertamina. Kami akan terus meningkatkan ketersediaan Pertamax Series dan Pertalite di lebih banyak SPBU untuk memastikan pelayanan kepada masyarakat berjalan dengan baik,” ujarnya dikutip dari laman resmi Pertamina.
Berdasarkan statistik tren penjualan BBM oleh Pertamina, Pertalite mengalami lonjakan paling tinggi, di mana konsumsi pada September telah mencapai sekitar 25 ribu KL per hari. Pada semester I 2016 lalu rata-rata konsumsi Pertalite masih sekitar 6.500 KL per hari.
Adapun tren konsumsi Pertamax juga meningkat tajam dari semula rata-rata di kisaran 10 ribu KL per hari pada semester I 2016 menjadi sekitar 15 ribu KL per hari pada 20 hari pertama September ini. Pertamax Turbo yang baru diluncurkan pada awal Agustus juga terjadi lonjakan konsumsi sekitar 170 persen pada September 2016.
Meningkatnya konsumsi BBM non-subsidi tersebut berpengaruh pada konsumsi RON 88. Menurut data Pertamina, konsumsi Premium mengalami penurunan dari semula di kisaran 70 ribu KL per hari pada semester I 2016 menjadi hanya 55 per hari KL pada Agustus, dan 50 ribu KL per hari pada 20 hari pertama September.
Meskipun permintaan Premium menurun, namun Pertamina tetap berkomitmen untuk menjaga ketersediaan RON 88 ini. “Karena permintaan yang terus turun, stok Premium saat ini berada di atas 22 hari dari biasanya sekitar 18 hari,” ujarnya.
Namun, komitmen Pertamina untuk tetap menyediakan Premium sesuai permintaan pasar patut dipertanyakan. Fakta di lapangan justru banyak SPBU yang tidak lagi menyediakan bensin jenis Premium ini.
Tatang Alviansyah, salah satu warga yang biasa menggunakan RON 88 mengaku kesulitan mencari bensin jenis Premium ini. Menurut Tatang, beberapa SPBU di sekitar Magelang dan Yogyakarta sudah tidak lagi menyediakan produk tersebut. “Saat ini BBM Premium semakin langka, diganti Pertalite di sebagian SPBU,” ujarnya pada tirto.id
Hal yang sama juga dialami Ghafur. Menurut dia, beberapa SPBU di Yogyakarta sudah tidak lagi menyediakan bensin jenis Premium ini. Para penjualan eceran juga diarahkan membeli Pertalite. Mereka tidak diperbolehkan lagi membeli Premium dengan menggunakan jeriken. “Sekarang saya beralih ke Pertalite karena harganya tidak terlalu jauh dengan Premium,” ujarnya.
Namun di sejumlah SPBU yang menyediakan Premium, konsumen banyak juga yang sudah memilih Pertalite ataupun Pertamax. Mereka beralasan Pertalite lebih bagus dengan harga yang tidak jauh berbeda.
Melihat fakta di atas, maka dapat dipastikan tren penjualan BBM non-subsidi ini dapat memuluskan jalan rencana pemerintah menghapus bensin jenis Premium dengan RON 88 ini.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti