Menuju konten utama

Busyro Muqqodas: Kasus Patrialis Bukan Soal Muhammadiyah

Busyro Muqoddas menyebut kasus yang menjerat Patrialis Akbar tak ada kaitannya dengan Muhammadiyah. Menurutnya, perkara itu merupakan bukti lemahnya pengawasan internal MK.

Busyro Muqqodas: Kasus Patrialis Bukan Soal Muhammadiyah
Mantan Plt Ketua KPK Busyro Muqoddas melambaikan tangan usai mengikuti rapat dengan pimpinan KPK, di gedung KPK, Jakarta, Senin (30/1). KPK meminta bantuan beberapa ahli dan tokoh masyarakat untuk menjadi panitia seleksi pemilihan penasihat KPK, antara lain Mahfud MD, Sosiolog Imam Prasodjo, Akademisi dan Praktisi Bisnis Rhenald Kasali. ANTARA FOTO/Rosa Panggabean.

tirto.id - Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) era Abraham Samad, Busyro Muqqodas menegaskan bahwa masalah kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) Patrialis Akbar tidak ada sangkut pautnya dengan organisasi Islam, Muhammadiyah. Busyro meyakini jika kasus perseorangan tidak bisa disamakan dengan kesalahan dari satu organisasi dimana ia bernaung.

“Ooo… Masalah Patrialis itu bukan urusannya kesamaan itu. Biar diproses KPK sesuai dengan fakta yang sudah ditemukan oleh KPK gitu aja,” tegas Bussyro Muqodas saat menyambangi Gedung KPK Jakarta, Senin (30/01/2017), seperti yang dilansir Tirto.id.

Mantan Ketua Komisi Yudisial itu sendiri menduga adanya kelonggaran dalam tubuh Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal di MK sendiri telah memiliki pengawas internal yang mampu menjaga tindak-tanduk hakim di MK. Pasalnya, jika mengacu pada pengalamannya dahulu di Komisi Yudisial (KY) memiliki tanggung jawab yang besar.

Hal tersebut karena kapasitas KY bukan saja mengawasi masalah etika dan moral saja, tapi juga mengamati kasus hukum yang sudah dilakukan oleh semua instansi yudisial. Lembaga yudisial yang dimaksud bukan saja di tubuh MK, melainkan merambah pada instansi Mahkamah Agung (MA).

Namun beberapa tahun setelahnya wewenang MK dibatasi dengan hanya mengawasi etika para hakim saja, semisal skandal percintaan, tidur saat persidangan, dan hal-hal yang lebih remeh-temeh. Sementara untuk masalah hukum yang lebih berat, baik korupsi, suap, maupun pemberian gratifikasi bernilai besar semisal pemberian berlian dan kalung emas, masuk kepada ranah pengawasan internal Mahkamah Agung.

“Ini bukti bahwa kualitas dan proses pengawasan internal MK sudah saatnya dilakukan perubahan dan sudah tidak bisa lagi menjadi kewenangan otonom MK saja. Sudah harus melibatkan unsur publik. Tentang sistem aturan maupun pengawasan internal, ternyata sudah dua kali bobol kan,” kata Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII).

Busyro pun menyarankan agar kedepannya KY harus lebih kooperatif memberikan masukan dan dorongan untuk pengembangan marwah yudisial di Indonesia. Terlebih, KY bisa dimasukan orang-orang dari luar yang lebih kompenten membenahi sistem yang sudah ada.

“KY masuk kemudian ada juga unsur luar yang kompeten. Yang punya pengalaman beinggi oleh integritas komitmen konstitusionalisme yang dijunjung tinggi oleh hakim MK. Termasuk kasus ini sebagai penistaan terhadap undang-undang,” tutur Busyro.

Terakhir, Busyro melihat peristiwa Patrialis dan Akil Mochtar adalah contoh kedua orang ini telah melakukan upaya penistaan terhadap Undang-Undang baik KUHP, KUHAP, dan UU Ketatanegaraan. Hal tersebut terkait dengan segala putusan dua hakim MK berdasarkan dengan pemahamannya di bidang hukum yang dia kuasai.

“Kasus ini penistaan undang-undang. Dan itu bukan tanggungjawab secara hak tersangka saja. Secara kelembagaan harus dijadikan pembelajaran yang terakhir oleh institusi MK,” jelas Busyro.

Seperti diketahui, Patrialis Akbar diduga menerima suap dari Direktur Utama PT Sumber Laut Perkasa dan PT Impexindo Pratama Basuki Hariman sebesar 20 ribu dolar AS atau 200 ribu dolar Singapura (sekitar Rp2,1 miliar) agar permohonan uji materil Perkara No 129/PUU-XIII/2015 tentang UU Nomor 41 Tahun 2014 Peternakan Dan Kesehatan Hewan dikabulkan MK.

Atas tindakan ini, Patrialis diancam pidana penjara paling lama seumur hidup dan denda paling banyak Rp1 miliar. Sementara itu, Basuki si pemberi dan sekretarisnya, Ng Fenny, terancam pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling kecil Rp150 juta.

Pada Senin (30/1/2017), Patrialis Akbar resmi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai buntut atas dugaan suap yang menjeratnya. Kabar ini dikonfirmasi oleh Ketua MK Arief Hidayat.

"MK baru saja menerima surat yang ditulis tangan dari rekan kita Pak Patrialis Akbar, yang menyatakan mengundurkan diri dari jabatan sebagai Hakim MK," ujar Arief sebagaimana dikutio dari Antara.

Dengan mundurnya Patrialis, kata Arief, MK akan segera melayangkan surat resmi kepada Presiden Joko Widodo untuk mengisi kekosongan jabatan hakim konstitusi dari unsur pemerintah di MK.

Baca juga artikel terkait OTT PATRIALIS AKBAR atau tulisan lainnya dari Yuliana Ratnasari

tirto.id - Hukum
Reporter: Dimeitry Marilyn
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari