Menuju konten utama

Buro Happold, JIS, dan Pelajaran dari Kanada

Salah satu tantangan membangun stadion yang dialami Buro Happold adalah kuasa di luar ranah arsitektural. Misalnya konflik kepentingan di tubuh pemerintah.

Buro Happold, JIS, dan Pelajaran dari Kanada
Header Mozaik Buro Happold Stadium. tirto.id/Ecun

tirto.id - “Saya sering berpikir bahwa bangunan seharusnya seperti pohon,” tulis Peter Davey dalam Engineering for a Finite Planet (2009).

Ia menjelaskan, maksudnya bukan berarti harus terlihat seperti pohon, melainkan harus berperilaku seperti pohon, konstruksinya terintegrasi dengan alam yang membuatnya tak luntur oleh perubahan musim.

Dunia, bagi Davey, membutuhkan bangunan berarsitektur organik dalam arti sebenarnya, bukan sebatas gaya.

Dalam buku yang ditulis sebagai biografi firma arsitektur gagasan Sir Edmund Happold pada 1976, Buro Happold--firma yang didirikan dan dijadikan subjek biografi--menurut Davey adalah jawaban untuk menghadirkan bangunan-bangunan berarsitektur organik.

Buro Happold memulai langkah pertamanya di dunia arsitektur di tempat yang sangat keras terhadap bangunan dan tidak dapat berintegrasi dengan alam, yakni Arab Saudi. Mereka merancang kompleks bangunan di Riyadh sebagai tempat Raja, Dewan Menteri, dan Majelis Al-Shura atau Dewan Permusyawaratan bekerja.

Dalam pembangunannya, Buro Happold mengembangkan kelongsong marmer tembus cahaya demi berdamai dengan kondisi iklim Jazirah Arab yang sangat panas di siang hari dan menggigil di sepanjang malam.

Setelah itu, mereka membangun Pusat Olahraga Universitas King Abdul Aziz di Jeddah pada 1979. Buro Happold dengan cerdik mengembangkan tenda “super” pertama dengan memanfaatkan gelembung sabun dalam menciptakan semacam kain baru yang dapat menyesuaikan diri secara otomatis dengan cahaya yang intens dan angin serta badai gurun yang kuat.

Perlahan, dengan pendekatan serupa, yakni berdamai dengan alam, karya mereka semakin banyak, di antaranya: Tuwaiq Palace (dibangun pada 1986 di Riyadh, Arab Saudi); Velmead Infants School (1986, Fleet, Inggris); Westminster Lodge (1988, Dorset, Inggris); Royal Armouries Museum (1996, Leeds, Inggris); Building Research Establishment (1996, Gersten, Inggris).

Selain itu, ada juga Berrill Environmental Building (1996, Milton, Inggris); Wessex Water Operation Center (2000, Bath, Inggris); Al Faisaliah Center (2000, Riyadh, Arab Saudi); Genzyme Headquarter (2003, Cambridge, Amerika Serikat); BBC Media Village (2004, London, Inggris); The Egg (2005, Bath, Inggris); dan Aras Chill Dara (2006, Naas, Irlandia).

"[Buro Happold akhirnya] menjadi firma arsitektur pertama di dunia yang sukses membaurkan disiplin arsitektur tradisional dengan alam,” terang Davey.

Tantangan Membangun Stadion

Namun, ini bukan satu-satunya aspek utama. Dalam Stadium Planning in Today’s Townscapes (bab dalam buku Stadia, Arenas and Grandstands, 1998), M. Dickson, peneliti cum arsitek Buro Happold menegaskan, bangunan yang tak bisa dirancang hanya bermodal pendekatan alam adalah stadion.

"Stadion merupakan entitas kompleks [...] Memperoleh perhatian besar masyarakat dalam bentuk kunjungan besar, yang mengakibatkan, dalam efek langsungnya, dampak lalu-lintas, ekonomi, dan lingkungan [...] Stadion pun dijadikan semacam ‘prestige’ masyarakat lokal, klub sepakbola dan pemerintah setempat sebagai pemiliknya,” ungkap Dickson.

Terlebih, dipengaruhi insiden atau tragedi yang menyelimuti dunia olahraga, seperti Tragedi Hillsborough, pembangunan stadion diselimuti aturan ketat, seperti Planning Policy Guidance (PPG). Aturan ini diwajibkan Pemerintah Inggris sejak 1980-an.

Aturan ini kemudian diperbarui dengan Sport and Recreation Guide (PPG17) sejak awal 1990-an. Serta aturan-aturan lain yang ditetapkan Fédération Internationale de Football Association atau FIFA, jika stadion yang dibangun adalah stadion sepakbola.

Dalam salah satu aturannya tentang stadion, FIFA mewajibkan penggunaan reinforced grass atau rumput yang diperkuat bagi stadion berkategori 1 atau stadion berkapasitas penonton minimum 40.000 orang. Dalam aturan yang dipublikasikan, FIFA tak menjelaskan alasannya.

Namun, merujuk studi yang dilakukan F. Lulli dalam "An Innovative Hybrid Natural-artificial Sports Pitch Construction System" (Journal of Sports Engineering and Technology, 2011), reinforced grass dijadikan patokan tertinggi soal rumput lapangan sepak bola.

"Terletak pada ketahanan aus yang tinggi, kemudahan perawatan, dan karakteristiknya yang seperti rumput alami yang konstan dan dapat bertahan dengan baik dalam kondisi cuaca atau iklim buruk sekalipun,” tulis Lulli.

Reinforced grass adalah buah dari manipulasi ilmuwan menciptakan rumput dengan serat polyethylene monofilament yang dicampur dengan bahan organik serta anorganik seperti serat kelapa, butiran gabus, karet termoplastik, dan pasir silika.

Dengan keunikan atau kerumitan pembangunan stadion, Buro Happold terlibat dalam pembangunan Education City Stadium di Ar-Rayyan, Qatar; Tottenham Hotspur Stadium, Emirates Stadium, London Stadium di London, Inggris; Aviva Stadium di Dublin, Irlandia; Fisht Olympic Stadium di Sochi, Rusia; Philippine Arena di Santa Maria Filipina; dan dalam tataran terbatas, Jakarta International Stadium di Jakarta, Indonesia.

Menurut Dickson, Buro Happold selalu tergoda untuk dapat mengeksplorasi peluang hubungan baik dengan masyarakat lokal. Masyarakat yang dalam pondasinya merupakan ruh atau spirit stadion.

Lebih lanjut, Dickson menulis bahwa dalam pembangunan stadion, kegagalan sangat mungkin terjadi. Musababnya, selain karena stadion merupakan perkara kompleks dalam sisi arsitektur, juga terdapat kuasa di luar ranah arsitektural.

"Ketidaktahuan klub soal perencanaan (pembangunan) dan masalah perkotaan. [Juga] kualitas pemerintah daerah dalam mengelola pembangunan tidak baik [...] sering pula terjadi konflik kepentingan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat,” imbuhnya.

JIS dan Pelajaran dari Kanada

Hal inilah yang jadi pokok utama mengapa Jakarta International Stadium kiwari jadi polemik. Direncanakan untuk dipakai dalam gelaran Piala Dunia U-17, stadion ini digembar-gemborkan tak memenuhi syarat dari FIFA, terutama soal rumput lapangan.

Padahal, melihat usia stadion dan firma yang merancangnya, polemik ini seharusnya tak terjadi. Terlebih, usai dicopot FIFA sebagai tuan rumah gelaran Piala Dunia U-21 awal 2023 lalu, Piala Dunia U-17 sangat penting bagi Indonesia dalam menatap masa depan di dunia sepak bola, juga di mata internasional secara umum.

Infografik Mozaik Buro Happold Stadium

Infografik Mozaik Buro Happold Stadium. tirto.di/Ecun

Ini, misalnya, dapat dilihat dari suksesnya Kanada yang dipercaya menjadi tuan rumah Piala Dunia 2026 (bersama Amerika Serikat dan Meksiko) usai menggelar Piala Dunia Wanita U-20.

Dipaparkan Becca Leopkey dalam "Sport Event Hosting Capacity as Event Legacy" (Sport, Business and Management, 2019), kesuksesan Kanada dimulai dari kesadaran bahwa mereka tak terlalu paham soal sepak bola dan tidak memiliki pengalaman mumpuni mengurus turnamen dunia.

Namun, mereka mau berbenah. Akhirnya, tak hendak mempermalukan diri dengan langsung mencalonkan sebagai tuan rumah Piala Dunia 2026, Kanada memilih mengajukan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia Wanita U-20 yang mereka anggap “lebih mungkin dilaksanakan dengan kapasitas kita saat ini.”

Lewat gelaran "kapasitas kita saat ini" itulah infrastruktur sepak bola yang mumpuni mulai dibangun.

“Kanada mengalami perubahan dalam budaya olahraga lokal (termasuk kesadaran dan partisipasi), berhasil perlahan-lahan modifikasi administrasi olahraga dan struktur tata kelolanya, sukses melakukan pengembangan dan perluasan olahraga amatir dan profesional, serta, pada akhirnya, memiliki kemampuan penyelenggaraan acara olahraga yang lebih baik,” tulis Becca.

Piala Dunia Wanita U-20 juga berhasil menggelorakan minat sepak bola di Kanada menjadi lebih besar.

Jika Indonesia ingin membenahi dunia sepak bola dan mempertahankan mimpi menyelenggarakan Piala Dunia utama, maka wajib "berlatih" dulu lewat Piala Dunia U-17, yang kini justru diwarnai polemik Jakarta International Stadium.

Baca juga artikel terkait BURO HAPPOLD atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Olahraga
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi