tirto.id - Kamis 13 April 1989 menjadi hari membahagiakan bagi Peter Carney. Ia dapat kabar: istrinya hamil. Momen ini sudah lama ditunggu oleh Peter, pria jelang 30 tahun yang bekerja di sebuah lembaga pengembangan anak muda.
Peter berharap kabar bahagia itu akan disusul oleh kabar bahagia lain: Liverpool menang melawan Nottingham Forrest. Keduanya akan bersua dalam laga semifinal FA Cup di Stadion Hillsborough, Owlerton, Sheffield, yang berjarak sekitar 120 kilometer dari kotanya, Kirkby, Merseyside.
Hari Sabtu pagi, 15 April, Peter masih rebahan karena flu. Padahal dia dan teman-temannya sudah janjian pergi ke Sheffield.
“Rencananya kami berempat pergi naik Fiesta, tapi temanku, Mick, telepon dan menawarkan diri buat nyetir dan naik mobilnya yang lebih besar, Mondeo. Jadi kami akhirnya naik mobil Mick,” ujar Peter dalam Voices of Hillsborough (2014).
Suasana di Owlerton sudah penuh. Maklum, ini pertandingan besar. Keduanya pernah jadi raja Inggris dan Eropa. Bahkan era 1980-an adalah era keemasan Liverpool yang sangat dominan, terutama di tanahnya sendiri. Tak heran kalau pertemuan dua tim ini mengundang kerumunan massa yang besar pula.
Peter dan rombongan tiba di akhir siang. Setelah parkir mobil di Penistone Road, mereka mencari toko. Peter belanja beberapa kudapan serta susu, duduk menikmati sisa matahari, sembari mengudap.
“Kami melihat para fans yang bersemangat, berjalan menuju stadion,” kata Peter.
Apa yang dilihat Peter sebagai rombongan suporter yang bersemangat itu, tak lama kemudian akan menjadi bagian dari salah satu tragedi terbesar dalam sejarah sepak bola.
Dalam pertandingan kali ini, suporter Liverpool diarahkan ke tribune Utara dan Barat, alias Leppings Lane. Di area itu, ada 23 pintu berputar (turnstile). Namun hari itu, hanya ada satu pintu masuk yang difungsikan. Ini menyebabkan terjadinya kerumunan dan pada akhirnya terjadi penumpukan seiring gelombang penonton yang makin banyak.
Pukul 2.46, komentator BBC, John Moston, sudah menangkap gelagat tak baik ini. Suporter Liverpool berkumpul di satu titik dan berdesakan hingga mereka seperti tampak terangkat dari tanah.
Melihat hal itu, polisi membuka Gate C yang merupakan pintu keluar. Begitu pula Gate A dan B. Melihat gerbang itu dibuka, sekira 2.000 penonton mulai membanjiri center pens (tribun berdiri, nomor 3 dan 4, tepat di belakang gawang) yang diberi pagar pembatas besi di perbatasan dengan lapangan. Penonton terus merangsek, menyebabkan penonton di depan terimpit.
Priiiit!
Kick-off dimulai tepat pada pukul 3 sore. Baru empat menit pertandingan berjalan, terdengar suara pagar roboh dari pens 3. Penonton berjatuhan dan saling menindih satu sama lain. Suasana kacau balau. Penonton berusaha memanjat pagar untuk kabur dari kerumunan. Polisi sempat mengira ada pitch invasion. Namun melihat banyak orang terluka dan panik, mereka tahu ada sesuatu yang tak beres.
Hari itu, 94 orang pendukung Liverpool tewas dalam kejadian yang dikenang dengan sebutan Tragedi Hillsborough.
Keesokannya, Lee Nicol (14) meninggal dunia di rumah sakit. Angka korban tewas bertambah satu ketika Tony Bland meninggal pada 1993, setelah nyaris empat tahun koma. Andrew Devine yang juga koma dan tetap hidup dengan alat bantu, meninggal pada Maret 1997. Dengan meninggalnya Devine, total korban tewas mencapai 97 jiwa.
Dari berbagai penyelidikan, diperkirakan central pens kala itu dipadati oleh lebih dari 3.000 orang, padahal kapasitas amannya hanya sekitar 1.600.
Polisi Berbohong dan Disambut Koran Kuning
Beberapa hari kemudian, Kepolisian Yorkshire Selatan, termasuk Peter Wright sang kepala, menuding hooliganisme dan para suporter Liverpool mabuk sebagai penyebab tragedi terburuk dalam sejarah sepak bola Inggris ini. Kala itu Kepolisian Yorkshire Selatan, punya pola jawaban: menyangkal kesalahan dari mereka, dan menuding para suporter sebagai penyebab tragedi.
Dalam Taylor Report, hasil investigasi yang dipimpin oleh Peter Murray Taylor, yang kala itu menjabat sebagai Lord Chief Justice of England, disebutkan dari 65 polisi yang memberi kesaksian, mereka tidak mau disalahkan. Polisi melempar kesalahan ke suporter yang mereka sebut “…terlambat datang dan mabuk”, serta klub yang tidak mengawasi pens.
“Kalau ada yang harus disalahkan, maka salahkan para suporter mabuk yang tak punya tiket,” ujar Wright.
Tuduhan itu lalu disambar oleh banyak media, terutama koran-koran kuning.
Daily Mail mengamini kesaksian polisi sembari ikut menuduh suporter Liverpool mabuk dan bertinda kasar. Sedangkan Daily Star terang-terangan menyebut para suporter mabuk menjarah barang para korban, tanpa ada bukti.
Yang paling kontroversial adalah The Sun yang memanjang judul “The Truth” yang jadi headline. Ada sub-judul yang menuding suporter bola yang mabuk dan melakukan tindakan kriminal sebagai penyebab tragedi ini. Tak cukup dengan itu, mereka turut memuji polisi dengan menyebut mereka sebagai “…pemberani.”
Dalam kolomnya, Kelvin MacKenzie yang jadi editor, menulis tragedi terjadi karena “…ribuan suporter, banyak yang tanpa tiket, berusaha masuk ke stadion sebelum kick off, baik dengan cara memaksa masuk, atau memeras para polisi untuk membuka gerbang.”
Headline The Sun yang dianggap berisi berita bohong ini memicu kemarahan para warga Liverpool dan Merseyside.
Sebuah demonstrasi di Kirkby, kampung halaman Peter, yang ditandai dengan seorang perempuan membakar satu eksemplar The Sun, menandai pemboikotan koran itu di Merseyside. Karena boikot ini, oplah mereka yang awalnya 55.000 eksemplar per hari, turun jadi hanya 12.000 eksemplar.
Koran kontroversial ini merugi sekitar 15 juta Poundsterling per bulan sejak merilis edisi The Truth itu. Lebih lanjut, The Sun juga tidak pernah lagi dapat akses wawancara di kandang Liverpool dan Everton, dua klub bola terbesar di Merseyside.
Kelak, baik dalam Taylor Reports maupun dalam pengadilan yang berlangsung selama 27 tahun, semua kebohongan itu terbongkar. Mereka sepakat bahwa tragedi ini terjadi karena kelalaian polisi. Baik Taylor Reports maupun juri di pengadilan sama-sama berpendapat: perilaku suporter sama sekali bukan penyebab tragedi Hillsborough.
Dalam kesaksian pengadilan medio 2015, 26 tahun setelah tragedi terjadi, David Duckenfield, komandan polisi yang bertugas ketika itu, mengakui kalau dirinya bertanggung jawab atas kematian 96 orang itu. Ia mengaku lalai dan "bengong" saat memutuskan membuka pintu keluar, dan gagal mengantisipasi adanya ribuan penggemar yang membanjiri jalur itu.
Ketika hakim bertanya apa kegagalan mengantisipasi gelombang penonton itu adalah penyebab kematian 96 orang itu, Duckenfield menjawab singkat: yes, sir.
Sedangkan nasib The Sun?
Kenny Dalglish, pelatih Liverpool ketika Tragedi Hillsborough terjadi, menulis di biografinya, bahwa MacKenzie menelponnya. Ia bertanya bagaimana cara memperbaiki reputasi The Sun setelah mereka diboikot di Merseyside.
“Tulis saja ‘Kami Berbohong’ di headline koran kalian,” ujar Dalglish.
Reformasi Keamanan di Sepak Bola Inggris
Tragedi Hillsborough mendorong penyelenggara sepak bola di Inggris berbenah. Bahkan dalam Soccer and Disaster: International Perspectives (2004), disebutkan bahwa perubahan dalam faktor keamanan ini termasuk radikal dan terjadi dalam skala besar.
“Hal itu dilakukan melalui pengenalan stadion yang semua penonton harus duduk (all-seater) di dua divisi liga teratas di Inggris, hal yang juga sejalan dengan rekomendasi Taylor Reports,” tulis buku ini.
Dalam catatan Owen Gibson untuk The Guardian, tragedi ini membuat sepak bola Inggris mati, lantas lahir kembali, sesuatu yang ia sebut sebagai kelahiran sepak bola modern. Sejak saat itu, sepak bola Inggris menekankan aspek keamanan.
Pagar besi yang membatasi tribune dengan lapangan, dilepas agar tak ada lagi tragedi serupa. CCTV juga dipasang. Pembeli tiket bisa diketahui data dirinya, dan jika melanggar peraturan sanksi bisa menanti.
Owen menulis, penyelenggara sepak bola Inggris perlahan memperlakukan penonton bukan lagi sebagai ancaman seperti yang selama ini terjadi—hooligan—melainkan sebagai konsumen yang rela membayar, mahal kalau perlu.
“Dalam laporan keuangan Manchester United, satu dari empat misi utama mereka adalah untuk ‘memperlakukan suporter sebagai konsumen’,” tulis Owen.
Sepak bola modern memang sudah terlanjur membesar. Perubahan yang terjadi tak hanya membawa kebaikan, tapi juga kebathilan yang senantiasa mengundang kritik, termasuk bagaimana klub-klub Premier League menganggap suporter sebagai konsumen dan karenanya harga tiket dipatok mahal dan naik terus setiap tahunnya.
Di luar itu, Tragedi Hillsborough mengajarkan banyak hal kepada para penyelenggara sepak bola. Bahwa aspek keamanan adalah garda depan sebuah event olahraga, dan ia bukan sesuatu yang sifatnya bisa ditawar. Bahwa kelalaian, juga arogansi aparat, bisa membahayakan serta melahirkan kabar bohong serta mengorbankan banyak nyawa.
Editor: Irfan Teguh Pribadi