tirto.id - "Ini yang paling menakutkan. Buruk buat demokrasi."
Pernyataan getir itu dilontarkan oleh peneliti Remotivi Muhamad Heychael kepada Tirto, tak lama setelah Erick Thohir ditahbiskan menjadi Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) pasangan capres dan cawapres Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Kecemasannya beralasan. Thohir adalah pemilik salah satu jaringan media terbesar di Indonesia. Di bawah panji Mahaka Group, Thohir menguasai empat media daring, empat media cetak, dan empat media berbasis broadcasting. Nama-nama seperti Jak TV, Gen FM, Harian Republika, Parents Indonesia, hingga republika.co.id adalah beberapa di antaranya.
Dengan bergabungnya Thohir, pasangan Jokowi-Ma’ruf terlihat lebih perkasa menjelang pemilu. Pasalnya, kubu Jokowi-Ma’ruf sudah memiliki bekingan kuat dari dua pemilik jaringan media raksasa, Hary Tanoesoedibjo dan Surya Paloh.
Tanoe menguasai jaringan MNC Media yang meliputi RCTI, Global TV, Koran Sindo, Okezone, INews TV. Sementara Paloh memiliki Media Group yang membawahi Media Indonesia dan Metro TV.
Menurut Heychael, kongsi penguasa dan gurita media saat ini dapat menciptakan ketimpangan informasi. Publik adalah pihak yang paling dirugikan, kata Heychael. Ia beralasan, di Indonesia, keberpihakan media acap kali hanya didasarkan kepentingan politik pemiliknya alih-alih nilai dan gagasan seperti halnya di Amerika Serikat, Inggris, atau Perancis.
"Di Indonesia kita tidak punya itu, yang ada kesetiaan murni pada pemilik yang terombang-ambing," jelasnya.
Komentar senada dilontarkan oleh Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan. Ia menambahkan, situasi saat ini dapat mengancam independensi perusahaan-perusahaan media serta kualitas produksi konten. Publik, tambah Manan, sebetulnya berhak untuk mendapatkan informasi yang berimbang dan akurat.
Independensi Semu
Setelah 32 tahun disetir rezim Orde Baru, sejak 1998 sampai hari ini sulit menemukan media di Indonesia yang benar-benar independen tiap pemilu. Pasalnya, semakin banyak pengusaha yang terlibat politik praktis dan memiliki bisnis media.
"Jika saya tidak dapat memakainya, apalagi yang dapat saya pakai? Jika ada jurnalis yang tidak setuju dengan situasi ini, mereka bebas keluar dari Metro [TV] atau Media Indonesia. Saya tidak mau hipokrit."
Pernyataan itu dilontarkan Surya Paloh ketika ia menggunakan lini bisnis media miliknya untuk meraup dukungan dari Golkar dalam konvensi capres jelang pemilu 2004, demikian catat Ross Tapsell dalam buku Media Power in Indonesia : Oligarchs, Citizens and the Digital Revolution (2017).
Pernyataan Paloh memberikan sekilas gambaran betapa rapuhnya independensi media tiap pemilu pasca-reformasi, khususnya dalam putaran pemilihan presiden.
Dalam risetnya berjudul "Media and Political Persuasion: The Role of Media in Indonesia Presidential Campaign 2001-2009", Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasito Raharjo Jati mencatat, media sebagai mesin propaganda politik memang sungguh-sungguh terjadi pascareformasi. Meski demikian, tambahnya, afiliasi antara media dengan politik dalam bersifat informal.
Ketika Gus Dur diangkat sebagai presiden pada 2001, misalnya, Kompas dan Jawa Pos memberitakannya secara positif. Jawa Pos mewartakan Gus Dur sebagai "presiden yang reformis yang didukung para tokoh NU maupun tokoh reformis lainnya", sementara bagi Kompas, Gus Dur adalah "presiden yang peduli dengan HAM dan demokrasi".
Meski demikian, pada periode ini Wasito mencatat bahwa dukungan media-media di Indonesia pada pemilu presiden masih sangat "erat dengan tendensi ideologis."
Pada pilpres 2004, lanskap media di Indonesia terbelah menjadi media partisan dan non-partisan. Istilah partisan di sini merujuk pada media yang digunakan partai politik untuk "mendukung sosialisasi kandidasi ke tangan pemilih". Sementara non-partisan berarti "tidak terafiliasi dengan kekuatan politik tertentu, tetapi berusaha mengidentifikasi pemberitaan kandidasi yang dianggap potensial guna mendongkrak rating pemirsa".
Ini ditegaskan oleh Effendi Gazali dkk dalam "Political Communication in Indonesia: Media Performance in Three Eras. Effendi dkk mencatat bahwa sebagian media gagal memberikan informasi berkualitas ke publik dan hanya fokus mengejar iklan pemilu dari partai-partai politik.
Selain itu, ada pula media yang jelas-jelas dirancang untuk mendukung salah satu calon kandidat. Mega Demokrat, misalnya, didirikan pada 2003 oleh almarhum Taufik Kiemas, suami ketua umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Media ini mengampanyekan Megawati dan partainya. Effendi juga mencatat Amien Rais yang juga menerbitkan medianya sendiri pada Agustus 2003.
Masih menurut Warsito, pada pemilu 2009, lanskap media berkembang jadi empat kategori: sebagai penonton, penjaga, pelayan dan penipu. Dalam hal ini, ada dua perusahaan jaringan media raksasa yang menjadi pelayan: Media Group milik Surya Paloh dan Viva Group milik Aburizal Bakrie.
Paloh memiliki kedekatan dengan Jusuf Kalla sebagai capres Golkar yang maju bersama Wiranto, sementara Aburizal dekat dengan pihak petahana Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sehingga mendukung pasangan calon SBY-Boediono, tulis Warsito.
Sepanjang 2009, Media Group melalui Metro TV dan Media Indonesia gencar memberitakan skandal bailout Bank Century yang menjadi noda pemerintahan SBY, sementara Viva News gencar memberitakan pencapaian ekonomi pemerintahan SBY dan beberapa kebijakan populis seperti bantuan langsung tunai dan anggaran pendidikan yang mencapai 20 persen, serta penurunan harga BBM.
Mengutip tulisan Tapsell, SBY juga menerbitkan media pada tahun 2006 bernama Jurnal Nasional yang berbasis di Jakarta. Tapsell mencatat, pada periode 2004-2009, media menjadi lebih partisan dan bos media punya kekuatan politik yang lebih besar.
Nezar Patria yang periode itu menjabat sebagai pemimpin redaksi Viva News pada tahun 2010 mengatakan bahwa fakta kepemilikan media oleh konglomerat politis "akan menguji sejauh apa profesionalisme [pekerja media]," kutip Tapsell.
Pada pemilu presiden 2014, keberpihakan media makin terlihat jelas. Dalam "Partisan Journalism: Review of the Behaviour of Mass Media in Legislative Election and Indonesia Presidential Election of 2014" (2016), Bambang Winarso menemukan eksploitasi terhadap media, baik online, cetak maupun elektronik (radio dan televisi) yang digunakan untuk memenangkan para kandidat presiden.
Baik Bambang maupun Tapsell sepakat, keberpihakan yang terang-terangan itu karena pasar media semakin oligarkis. Bambang menilai, situasi itu kemudian membuat para jurnalis bergerak sesuai kepentingan politik sang pemilik media yang berujung pada praktik jurnalisme partisan.
Ia mencatat, calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mendapatkan dukungan dari TVOne, AnTV, RCTI, MNC TV dan Global TV, serta koran Sindo, media online MNC Group dan tabloid kampanye hitam terhadap kandidat lainnya, Obor Rakyat.
Calon lainnya, Joko Widodo-Jusuf Kalla sementara itu mendapat dukungan dari media milik Surya Paloh termasuk Metro TV dan Media Indonesia, serta sejumlah media lain seperti Tempo dan The Jakarta Post. Nama terakhir secara jelas menyebutkan dukungan terhadap Jokowi-JK dalam editorialnya.
Sama dengan Amerika Serikat?
Ketika berebut kursi kepemimpinan partai Golkar dengan Paloh pada 2008, Aburizal mengatakan bahwa sikap partisan media terhadap calon presiden itu lumrah seperti halnya di AS.
"Sama seperti Fox mendukung partai Republik, CNN mendukung Demokrat. Saya berkompetisi dengan Surya untuk posisi ketua. TVOne mendukung saya tentu saja, dan Metro mendukung beliau, sama seperti CNN dan Fox," kata Aburizal, sebagaimana dikutip Tapsell.
Klaim Aburizal jelas tidak sepenuhnya tepat jika mengacu pada sejarah keberpihakan media yang disebutkan sebelumnya. Alih-alih, apa yang dikatakan Muhamad Heychael terkait nilai dan cita-cita politik media menjadi lebih nyata jika melihat keberpihakan media arus utama AS tiap pemilu.
USA Today, misalnya. Media berhaluan sentris ini memutuskan tidak mendukung Donald Trump dalam pemilu AS terakhir dengan sejumlah alasan logis setelah selama 34 tahun tidak pernah menyatakan dukungan. Mereka menyarankan pembacanya memilih kandidat selain Trump, entah itu Hillary maupun calon ketiga seperti Jill Stein.
Dukungan pun lebih luas tertuju pada kebijakan, terlepas dari siapa presidennya. New York Times, misalnya, mendukung Al Gore dalam pilpres 2000 yang dimenangkan oleh George W. Bush. Beberapa tahun kemudian, jajaran editor New York Times mendukung kebijakan perang di Irak di bawah Bush dan menurunkan artikel-artikel pro-perang.
Editorial TheEconomist, di sisi lain, menyatakan lebih menimbang kualitas individu daripada partai. Jika pada 2009 dan 2012 mereka mendukung Barack Obama dari Demokrat, pada pilpres tahun 2000 mereka mendukung George W. Bush dari Partai Republikan.
Jurnalis Felicity Barringer dalam esainya di The New York Times berjudul "Ideas & Trends: Taking a Stand; Why Newspapers Endorse Candidates" (2000) mengatakan, para editor media-media AS cenderung melihat dukungan kepada kandidat sebagai pernyataan sikap tentang "identitas media yang bersangkutan".
Sementara Fox News yang secara tradisional dikenal mendukung politik Republikan, rupanya meletakkan keberpihakannya ke ideologi konservatif hingga kanan jauh, alih-alih sekadar mengikuti titah pimpinan media.
Harvard Business Review dalam "Research: The Rise of Partisan Media Changed How Companies Make Decisions" (2017) mencatat bahwa Fox News didirikan karena para pemiliknya memandang bahwa media di AS terlalu condong ke kiri. Dus, Fox News lahir sebagai penyeimbang.
Di Indonesia, kendati telanjang, keberpihakan media lebih sering disangkal alih-alih diamini dalam editorial.
"Kita tidak pernah berpihak. Politik itu cuma lima tahun, sementara eksistensi media untuk jangka panjang," kata Suryopratomo, Direktur Utama Metro TV kepada Reuters.
Editor: Windu Jusuf