tirto.id - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menerbitkan keputusan Nomor HK.01.07/MENKES/446/2021 tentang penggunaan tes rapid antigen untuk diagnosis COVID-19 sebagaimana tes rantai reaksi polimerase (PCR). Kendati sudah dua pekan keputusan itu terbit, data penggunaannya belum tersedia.
Hingga 25 Februari kemarin, data yang tersedia masih hanya jumlah tes RT-PCR dan TCM dalam dokumen uji laboratorium yang selalu dikirimkan bersamaan dengan update kasus harian COVID-19.
Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adi Sasmito memastikan keputusan menteri tersebut sudah dijalankan, hanya saja tak menjawab kenapa datanya tak ada di update harian yang dilansir ke media massa. "Diagnosis yang dilakukan di puskesmas dan fasilitas layanan kesehatan tercatat dan dilaporkan ke pemerintah pusat dan daerah," kata Wiku kepada reporter Tirto, Kamis (25/2/2021).
Seorang petugas laboratorium di sebuah rumah sakit swasta di Jawa Barat pun mengakui sudah menggunakan tes rapid antigen untuk diagnosis, tetapi hasilnya tidak dilaporkan ke Allrecord TC 19 melainkan hanya jadi dokumentasi rumah sakit. Seorang petugas laboratorium lainnya mengatakan baru menjalani pelatihan entri data hasil pemeriksaan swab antigen pekan lalu.
Keputusan menteri ini dinilai krusial karena hasil tes PCR yang membutuhkan waktu berhari-hari membuat penyelidikan epidemiologis untuk mencari suspek atau kontak erat hampir menjadi tidak relevan lagi. Sementara hasil dari tes rapid antigen hanya 20-30 menit. Sensitivitas mengidentifikasi virus pun cukup tinggi, mencapai 80 persen. Dengan kemampuan tersebut diharapkan jumlah tes bisa ditingkatkan secara signifikan dan penelusuran kontak erat serta suspek bisa dilakukan segera.
Ada tiga kriteria penggunaan tes rapid antigen yang tertera dalam lampiran keputusan tersebut. Pertama, jika akses terhadap tes asam nukleat (salah satunya PCR) tersedia dan dapat dilakukan dengan cepat (waktu kirim ≤24 jam dan waktu tunggu ≤24 jam). Dalam kondisi ini, tes antigen diberikan terhadap orang tanpa gejala dan bukan kontak erat. Jika antigen non-reaktif maka langsung dinyatakan negatif COVID-19 dan jika reaktif maka harus dites ulang dalam 48 jam. Jika masih positif, baru dinyatakan terkonfirmasi.
Kriteria kedua adalah ketika tes asam nukleat tersedia tetapi tidak dapat dilakukan dalam waktu cepat. Tes antigen masih dilakukan terhadap orang tanpa gejala dan bukan kontak erat, tetapi kali ini jika hasil tes antigen reaktif, pasien langsung dinyatakan terkonfirmasi COVID-19 tanpa perlu tes ulang.
Kriteria ketiga, tidak ada tes asam nukleat. Dalam kondisi ini, jika orang bergejala atau kontak erat dinyatakan reaktif tes antigen, maka ia langsung dinyatakan terkonfirmasi, dan jika hasilnya negatif maka dilakukan tes ulang dalam rentang waktu kurang dari 48 jam. Sementara terhadap orang tanpa gejala dan bukan kontak erat, jika hasilnya reaktif maka langsung dinyatakan terkonfirmasi COVID-19 dan sebaliknya.
"Jadi kebijakan dengan menggunakan antigen itu kebijakan yang paling akurat. Kalau hanya mengandalkan PCR itu bisa banyak antrean dan memakan waktu lama. Padahal testing ini adalah bagian dari surveilans penyakit menular," kata epidemiolog dari Universitas Indonesia Pandu Riono kepada reporter Tirto, Kamis.
Pandu bilang keputusan itu memang harus didukung oleh laporan kepada publik. Laporan mulai dari jumlah tes antigen yang dilakukan hingga jumlah orang yang dilacak dari penemuan kasus dan kontak erat yang diisolasi dari pelacakan tersebut. Tujuannya tidak lain untuk mengukur kinerja penanganan pandemi.
Jika data tes antigen tidak dilaporkan, maka tidak ada tolok ukur kinerja yang akurat, baik itu untuk publik maupun pemerintah. Ada kemungkinan positivity rate tinggi karena pasien yang dikonfirmasi melalui tes antigen dimasukkan ke data kumulatif tetapi data tes yang ditunjukkan hanya tes PCR, atau kemungkinan lain ialah orang yang terkonfirmasi melalui tes rapid antigen masih harus menjalani tes PCR agar bisa tercatat yang itu sama saja dengan membuang-buang sumber daya.
"Sistem pelaporannya masih belum diperbaiki. Kalau resmi pasti ada laporannya," kata Pandu.
Co-founder KawalCovid-19 Elina Ciptadi pun mendorong pemerintah segera membuka data harian tes antigen. Kebijakan serupa dilakukan oleh India dan Malaysia dan dua negara itu juga memasukkan data tes antigen ke dalam update harian.
Menurutnya semestinya tidak ada kendala bagi Kementerian Kesehatan untuk melakukan itu. "Kalau ada niat, pedoman, dan sistem, ya, harusnya bisa saja," kata Elina kepada reporter Tirto, Kamis.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino