tirto.id - Komposisi ini punya panjang durasi sekitar 17 menit. Direkam secara live di Taman Ismail Marzuki pada 30-31 Mei 1976. Ada tiga instrumen musik yang mendominasi selama komposisi dimainkan: drum, bass, dan piano.
Posisi drum dipegang oleh Benny Mustapha. Sejak mula, gebukannya bertenaga dan liar, cenderung ke gaya rock and roll. Untuk instrumen bass, dimainkan oleh Jack Lesmana. Ia tak sekadar piawai menjaga tempo lagu, tetapi juga mampu mengeluarkan nada-nada melodius. Sementara di piano, ada Bubi Chen, yang begitu mahir mengolah jemarinya di tuts piano dengan tenang, penuh presisi, dan menghanyutkan.
Kredit tersendiri kiranya harus diberikan kepada nama terakhir. Pasalnya, aksi solo yang ia tawarkan berhasil memberi warna yang unik ke dalam lagu sekaligus membikin nomor berjudul “Silence for the Buffalo” tersebut terdengar sangat bernas.
Deskripsi di atas nyatanya hanya secuil contoh tentang kualitas Bubi. Jauh sebelum Joey Alexander disebut-sebut sebagai “jazz prodigy” beberapa dekade silam, status itu lebih dulu hinggap pada sosok Bubi, yang pada hari ini, tepat tujuh tahun yang lalu, meninggal dunia.
Jazz Adalah Dunianya
Sejak kecil, Bubi sudah tumbuh dengan musik. Ia belajar piano ketika usianya masih lima tahun. Bubi menimba ilmu bersama Di Lucia, pianis kebangsaan Italia yang kala itu menetap di Surabaya.
Motivasi Bubi untuk mempelajari musik kian besar tatkala ia menyaksikan kedua saudaranya, Jopie dan Teddy Chen, mulai mahir bermain piano. Di fase ini, Bubi lebih banyak mengulik teknik dasar piano.
Proses pembelajaran Bubi terus berlangsung. Kali ini, ia dibimbing Yosef Bodmer, pianis berdarah Swiss. Musik yang ia pelajari pun turut meluas. Tak cuma klasik, ia juga masuk ke ranah jazz. Potensi Bubi tersebut dicium oleh Yosef yang lantas meminta Bubi lebih giat mendalami jazz.
Masukan Yosef kemudian diterapkan dengan baik oleh Bubi. Hari demi hari ia lewati dengan menyelami jazz beserta tetek bengeknya. Hasilnya tokcer. Ketika usianya belum genap 15 tahun, Bubi sudah mampu mengaransemen karya-karya komposer klasik macam Beethoven, Chopin, dan Mozart dengan irama jazz.
Bubi memutuskan untuk menyeriusi jazz. Pada 1955, ia berangkat ke Amerika Serikat guna mengikuti kursus di Wesco School of Music, New York. Di sana, ia diampu, salah satunya, oleh Teddy Wilson, murid dari Benny Goodman, yang acapkali disebut sebagai “Father of Swing.”
Sepulangnya dari AS, jalan karier Bubi makin terbuka lebar. Ia, misalnya, diajak bergabung Jack Lesmana, ke dalam grup bernama Indonesian All Stars. Proyek Indonesian All Stars ini bukan kolaborasi pertama antara Bubi dan Jack. Sebelumnya, pada 1959, mereka membikin album yang direkam di Lokananta dan diberi tajuk Bubi Chen with Strings.
Album tersebut, tak dinyana, ditanggapi dengan baik oleh pasar dan para kritikus. Ia, ambil contoh, pernah diputar Voice of America. Willis Conover, penyiar VoA cum pegiat jazz ternama AS, bahkan menyebut Bubi sebagai “The Best Pianist of Asia.”
Tak kalah menarik, pada 1968, majalah jazz AS, Down Beat, dalam jajak pendapatnya menyertakan nama Bubi ke dalam 10 pianis jazz berpengaruh di dunia, bersanding dengan Bill Evans, Oscar Peterson, Art Tatum, dan juga Herbie Hancock.
Di Indonesian All Star, Bubi bergabung dengan Benny Mustapha (drum), Maryono (flute), dan Jopie Chen (bass). Tak butuh lama bagi proyek ini untuk menarik perhatian publik. Salah satunya dari Tony Scott, peniup klarinet jazz asal Amerika. Scott, yang pada dekade 1960-an berada di Jakarta, mengajak mereka untuk membuat rekaman kolaborasi. Mereka pun setuju bekerjasama.
Maka, terciptalah album Djanger Bali yang berisikan gubahan ulang empat repertoir tradisional Indonesia seperti “Ilir-Ilir,” “Burung Kakatua,” “Gambang Suling,” dan “Djanger Bali.” Djanger Bali digarap di Jerman pada akhir Oktober 1967. Album tersebut pula yang membuka kesempatan Indonesian All Stars bermain di Australia, AS, sampai Jerman.
Karier Bubi di dunia jazz tambah moncer setelahnya. Pada 1984, ia, dibantu musisi jazz dari AS seperti John Heard, Albert Heath, dan Paul Langosh, membuat album Bubi di Amerika. Selain itu, ia juga sempat membikin album jazz eksperimental, dengan memasukkan banyak unsur tradisi, bersama Jack dan Benny Likumahuwa.
Total, selama berkarier, Bubi telah menghasilkan lebih dari 30 album studio: dari Kedamaian (1989), Bubi Chen and his friends (1990), Bubi Chen - Virtuoso (1995), Jazz The Two of Us (1996), hingga All I Am (1997).
“He is the king of the piano players from Asia,” terang Richard Pattiselano, musisi jazz dalam negeri yang kini tinggal di Belanda, kepada Kompas.
Visi yang Jelas
Yang membikin Bubi Chen istimewa ialah karena ia merupakan pianis jazz dengan kemampuan yang lengkap. Ia punya kualitas bermain yang mumpuni, jempolan mengaransemen komposisi, serta piawai menyatukan harmoni-harmoni yang dihasilkan dari deru improvisasi. Ia adalah komposer yang andal.
Berbicara soal kemampuannya tersebut, Anda bisa melihat dalam beberapa karyanya seperti yang tertera pada Virtuoso (1995). Di album itu, Bubi berhasil menyodorkan aransemen lounge-jazz yang mengalir, sendu, dan sekaligus nikmat. Coba putar track berjudul “Frog Walk” yang menampilkan kemampuan Bubi mengolah melodi yang seketika seperti mengisi ruang-ruang kosong.
Rasanya, “Frog Walk” cocok didengarkan dengan wine dan sebatang rokok di tangan sembari membebaskan pikiran dari belenggu kejamnya ibukota.
Jazz, di tangan Bubi, muncul dengan cara yang segar. Gaya bermusik Bubi memiliki karakter disonansi yang renyah, kuat, dan kaya ritme. Di samping itu, lagu-lagunya mudah diingat, memikat penggemar musik kontemporer, jazz puritan, sampai yang abangan.
Kendati banyak dipuji dan seringkali disebut sebagai musisi jazz legendaris, Bubi tetap merendah. Baginya, musik adalah rasa maupun karsa yang diberikan semesta.
“Saya tidak pernah merasa diri saya menjadi legenda. Saya hanya orang biasa yang menerima banyak cinta kasih dari Tuhan,” katanya suatu waktu.
Editor: Nuran Wibisono