tirto.id - Direktur Deteksi Ancaman Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Sulistyo mengatakan Indonesia kekurangan sensor pendeteksi serangan siber. Pasalnya, pemerintah baru memasangnya di enam dari total 34 provinsi di Indonesia atau setara dengan total 21 sensor aktif.
Dari sensor yang tergolong minim itu saja, BSSN sudah mendeteksi 12 juta lebih serangan siber. Sulistiyo pun menganalogikan situasi ini sebagai fenomena gunung es sebab jumlah itu masih bisa bertambah lagi.
Menurut Sulistiyo keberadaan sensor ini menjadi penting lantaran kegagalan pemerintah untuk mendeteksi bencana di ruang konvensional seperti tsunami tidak boleh terulang di ruang siber.
“Kemarin bencana alam Selat Sunda kita gagal mendeteksi dini bahaya tsunami. Di ruang siber pun kita harus berupaya agar dampak di ruang konvensional tidak terjadi di ruang siber,” ucap Sulistiyo dalam diskusi bertajuk “Darurat Ancaman Siber” di d’Consulate, Jakarta, Sabtu (9/2/2019).
Sulistiyo menjelaskan kehadiran sensor ini menjadi penting karena lembaganya dapat semakin mudah mendeteksi dan menginformasikan ancaman siber kepada publik. Karena itu ia menargetkan pada tahun 2019, seluruh provinsi di Indonesia akan terpasang sensor ini.
Pengamat Keamanan Siber, Charles Lim mengamini hal itu. Pasalnya Indonesia tertinggal jauh dari negara-negara lain. Ia mencontohkan Taiwan dengan luas daratan yang jauh lebih kecil dari Indonesia memiliki setidaknya 6.000 sensor. Lebih banyak dari Indonesia yang masih memiliki 21 sensor.
“Kita masih jauh tertinggal. Perlu dipercepat (pemasangan sensor),” ucap Charles dalam kesempatan yang sama dengan Sulistiyo.
Saat ini, BSSN telah menyediakan sarana pemantauan serangan siber yang terbuka pada publik dalam honeynet.bssn.go.id. Dalam situs itu, saat ini Indonesia menduduki peringkat kedua dengan jumlah serangan terbanyak 40.562 serangan pada pengamatan selama satu bulan.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Irwan Syambudi