Menuju konten utama

Brutalitas Polisi Tangani Demonstran May Day

Penangkapan massa May Day menunjukkan betapa represifnya polisi, kata aktivis.

Brutalitas Polisi Tangani Demonstran May Day
Seorang mahasiswi melihat keluar jendela truk usai aparat membubarkan secara paksa dan menangkap sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam aksi damai May Day 2021 pada Sabtu (1/5/21) di Jakarta. Tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - Peringatan hari buruh internasional (may day) pada Sabtu 1 Mei 2021 di Jakarta kembali dinodai oleh penangkapan demonstran oleh polisi. Hal ini menurut para aktivis menunjukkan betapa represifnya pemerintahan era Presiden Joko Widodo.

Pendamping hukum para demonstran dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Teo Reffelsen mengatakan “yang ditangkap sekitar 150-an orang, terdiri dari pelajar, mahasiswa, buruh”. Sementara rilis dari BEM UI menyebut angka yang lebih spesifik, 168 orang, yang 28 di antaranya adalah mahasiswa UI. Lalu Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) menyebut angka 300an.

Terlepas dari berapa jumlah persisnya, penangkapan ini disertai pemukulan, penyeretan, dan bentuk kekerasan lainnya. “Ada beberapa mengalami luka dan sakit karena mengalami kekerasan,” ujar Teo kepada reporter Tirto, Senin (3/5/2021). Rilis dari BEM UI menyebut “terdapat satu mahasiswa UI dibawa ke UGD”. Menurut Teo, tim advokasi juga mengalami kekerasan, intimidasi, dan perampasan ponsel ketika mendampingi.

Teo mengatakan saat itu aksi berjalan dengan damai. Hal ini sejalan dengan rilis kronologi dari BEM UI. Awalnya massa dari mahasiswa hendak bergabung bersama aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak), tapi dipisahkan oleh polisi. Jadi posisinya massa dari mahasiswa, pelajar, dan pemuda terpisah dari massa buruh. Mahasiswa setuju untuk mundur teratur secara mandiri setelah asar, tapi polisi memaksa mereka naik mobil polisi. Sekitar pukul 15.30 penangkapan terjadi.

Penangkapan sewenang-wenang ini merupakan bentuk pelanggaran yang berdampak pada pembatasan HAM, kata Teo. Teo mengingatkan karena pelanggaran seperti ini terus berulang, Divisi Profesi dan Pengamanan Polri semestinya memeriksa dan memberikan sanksi pidana seluruh personel yang terlibat.

Dalam siaran pers koalisi masyarakat sipil, dijelaskan bahwa massa digiring ke Polda Metro Jaya--padahal mereka awalnya mengatakan akan mengantar massa kembali ke titik awal aksi, yaitu kantor ILO. Di Polda Metro Jaya, polisi memeriksa identitas demonstran, memaksa tes antigen, serta memeriksa ponsel milik massa.

Mereka dibebaskan sekitar pukul 18.00, kecuali delapan peserta aksi yakni mahasiswa yang menjadi orator dan koordinator lapangan, serta 22 orang yang dituduh polisi sebagai anarko.

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan ada enam hal di pemerintahan Presiden Joko Widodo yang membuktikan ada pengebirian hak demonstrasi warga negara. Pertama, menganggap bahwa orasi adalah sebuah kesalahan. Dalam kasus kemarin, misalnya, yang terakhir kali dibebaskan oleh polisi adalah "orator". Kedua, demonstrasi harus sesuai identitas: mahasiswa tidak boleh ikut serta dalam aksi buruh.

Ketiga, yang mesti menaati protokol kesehatan adalah masyarakat, sementara polisi, partai politik, pun presiden, kebal dengan aturan itu. Keempat, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 ihwal Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, memang mengatur bahwa jika ada pelanggaran maka aksi dibubarkan. Namun di era Jokowi, “[massa] dipukul,” kata Asfinawati kepada reporter Tirto, Senin.

Kelima, akses bantuan hukum dibatasi, Keenam, pendamping hukum diancam, dipukul, dan diintimidasi. Dia melanjutkan, selama Jokowi memimpin negara, demonstran tak bisa lagi dilakukan di depan Istana.

“Yang terakhir adalah memisahkan massa aksi, ada tendensi mengadu domba. Padahal jelas sekali di lapangan pimpinan serikat buruh dan koordinator lapangan memperjuangkan mahasiswa tetap bersama barisan buruh dan masyarakat lain.”

Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Pol Hengki Haryadi mengatakan apa yang mereka lakukan bukan penangkapan, tapi penyekatan dan pengamanan. “Karena diimbau berkali kali tetap tidak bisa menjaga jarak. Inilah langkah diskresi kami, kami berdasarkan hukum untuk kepentingan yang lebih luas,” katanya, Sabtu.

Pada hari yang sama Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus mengatakan ada juga penangkapan terhadap 15 mahasiswa asal Papua dengan alasan “tanpa surat izin pemberitahuan”. Alasan yang sama dipakai saat mereka mengangkuti para mahasiswa. Rilis BEM UI menyebut surat pemberitahuan mereka atas nama Gebrak diabaikan karena dianggap tak mewakili mahasiswa, padahal “di dalam surat tersebut sudah memasukkan KRPI dan BEM SI (kelompok mahasiswa) yang tergabung dalam aliansi Gebrak.”

Sementara mengapa 'anarko' ditangkap, semata karena prediksi: bahwa “mereka ada indikasi buat kerusuhan.”

Kriminolog dari Universitas Indonesia Leopold Sudaryono menjelaskan aksi represi ini dapat terjadi dan berulang karena ada satu agenda reformasi yang belum diselesaikan: yaitu wewenang Polri yang cukup besar tak disertai dengan mekanisme pengawasan--baik internal maupun eksternal--yang mumpuni.

“Itu seharusnya dilakukan pada gelombang kedua, yaitu dengan cara memperkuat UU Kepolisian dalam bentuk revisi undang-undang, sehingga ada mekanisme pengawasan internal dan eksternal,” kata Leopold kepada reporter Tirto, Senin.

Aspek lainnya adalah revisi terhadap KUHAP. “Di situ diatur mengenai hak-hak tersangka, pembatasan kewenangan penegak hukum. Janganlah reformasi sudah berjalan tapi masih menggunakan KUHAP produk otoriter,” imbuh dia.

Baca juga artikel terkait MAY DAY 2021 atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino